blank
Operasi penegakan protokol kesehatan Covid-19 terus dilakukan di Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

Oleh Dr H Jaelan Sulat SKp MKes

“Apakah benar tingginya kasus Covid-19 di Wonosobo disebabkan karena tingginya pemeriksaan swab?” tanya seorang rekan reporter harian terkemuka nasional melalui telepon tadi malam.

Seperti diketahui pada hari Sabtu (28/11) kita mencatat lonjakan dahsyat. Dari 761 hasil swab yang keluar, 263 (35 persen!) terkonfirmasi positif. Sehari kemudian, Minggu (29/11), jumlahnya bertambah 39 dari 148 (26 persen) orang yang diperiksa.

Dan mengawali Desember pada Selasa (1/12) bertambah lagi sebanyak 73 dari 261 (28 persen). Total kasus konfirmasi kita pada hari ini menjadi 3161 dengan 159 (5 persen) kematian. Penambahan 3000 kasus lebih hanya terjadi dalam kurun empat bulan.

Kita bisa langsung menjawab, “Iya, benar,” untuk pertanyaan di atas.
Logika sederhananya masuk. Mana mungkin mendapatkan angka segede itu tanpa upaya pelacakan kontak dan pemeriksaan swab secara besar-besaran.

Sejak awal, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pemkab Wonosobo mengambil kebijakan berbeda dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 413/2020. Bahwa pelacakan kontak erat dengan pemeriksaan swab dilakukan pada semua kontak erat, tanpa melihat apakah sudah bergejala ataupun tanpa gejala.

Hasilnya dapat dilihat dari capaian kinerja pemeriksaan swab yang selalu melampaui target seperseribu jumlah penduduk setiap minggu sebagaimana ditetapkan Pemerintah Pusat dan Provinsi Jawa Tengah.

blankDari umpan balik pelaksanaan PCR (polymerase chain reaction; pemeriksaan sampel swab untuk mendeteksi Covid-19) yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, bisa dilihat realisasi kita di minggu ke- 43 sebanyak 1829 (231 persem), minggu ke-44 meningkat menjadi 1962 (247 persen), dan minggu ke- 45 menjadi 2392 (302 persen) dari target yang ditetapkan sebanyak 793 per minggu.

Sampai saat ini total kita melakukan pemeriksaan swab sebanyak 15.691 warga berisiko dengan hasil konfirmasi positif sebanyak 3161 (20 persen).

Tetapi kita sepakat bahwa substansinya bukan di situ. Jumlah kasus yang tinggi di wilayah kita –juga di wilayah-wilayah lain– jelas disebabkan karena proses penularan yang berlangsung masif di tengah-tengah masyarakat. Dengan atau tanpa pelacakan dan pemeriksaan swab.

Bedanya, dengan pelacakan dan pemeriksaan kontak erat sebanyak-banyaknya maka akan diketahui jumlah kasus di masyarakat yang mendekati jumlah sebenarnya.

Sebaliknya, tanpa dilakukan upaya pelacakan dan penemuan secara aktif, maka jumlah kasus yang diketahui seolah-seolah hanya sedikit. Namun jumlah yang tidak diketahui dapat dipastikan jauh lebih besar. Seperti fenomena gunung es.

Sebagian kalangan ada yang merasa lebih senang jika kasus di wilayahnya ‘tampak’ sedikit. Lalu mengendorkan upaya pelacakan dan pemeriksaan swab. Tetapi langkah ini ibarat menyimpan bom waktu.

Bom Waktu

blank
Dr H Jaelan SKp MKes, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DKK Wonosobo. Foto : SB/dok

Di satu sisi kasus positif yang tidak tampak akan menjadi sumber penularan terus menerus dan di sisi lain, seiring waktu, kasus-kasus tersebut akan berkembang dari stadium tanpa gejala memasuki stadium klinis dengan gejala, mulai dari tingkat ringan, sedang, berat, bahkan berakhir fatal.

Memang benar sebagian kasus tanpa gejala akan sembuh sendiri. Tetapi ia akan terus menularkannya pada orang lain di sekitarnya.
Dan jika yang tertular adalah kelompok rentan, misalnya lanjut usia atau yang memiliki penyakit sebelumnya, maka pemburukan berlangsung lebih cepat yang seringkali tidak tertolong.

Data yang ada malah menunjukkan bahwa semakin banyak kasus kematian berasal dari kelompok usia lebih muda dengan/atau tanpa penyakit lain. Kluster sosial, rumah tangga, dan perkantoran yang mendominasi belakangan ini kiranya dapat menjelaskan dan membuktikan cepatnya proses penularan pada kasus-kasus tanpa gejala.

Upaya pelacakan dan pemeriksaan swab yang dikelompokkan sebagai upaya tengah bukanlah satu-satunya upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19.

Tetapi dengannya memungkinkan kita menemukan kasus secara lebih dini dan menjadi pintu masuk pada upaya hilir, yaitu tatalaksana secara lebih dini pula.

Melalui upaya tengah ini kita mengupayakan sebagian besar kasus ditemukan dalam stadium dini tanpa gejala, untuk segera dipisahkan dari lingkungan keluarga dan masyarakat –semaksimal mungkin dengan isolasi terpusat, dan segera pula dirawat dan diobati agar sembuh tanpa sempat memasuki stadium klinis dengan gejala.

Harapan kita hanya sebagian kecil saja kasus yang lolos dan ditemukan dalam stadium bergejala yang jumlahnya semaksimal mungkin tidak melebihi kapasitas ruang perawatan rumah sakit.

Dengan demikian kita dapat memutus rantai penularan dan menekan jumlah kasus dengan gejala sedang dan berat yang pada muaranya akan menekan pula jumlah kematian.

Untuk mengerem laju penularan, penambahan kasus dan kematian, kata kuncinya tetap pada penguatan upaya hulu, yaitu kepatuhan melaksanakan protokol kesehatan yang sudah sama-sama kita kenal dengan istilah 3M: memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

Sekadar mengingatkan bahwa sesuai dengan tahap alamiah perkembangan penyakit, maka upaya pencegahan dan pengendalian dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu hulu, tengah, dan hilir.

Upaya hulu berkaitan dengan kepatuhan kita menerapkan protokol kesehatan 3M. Penanggung jawab sekaligus pelaksananya adalah warga masyarakat secara keseluruhan, tanpa kecuali.

Upaya tengah mencakup penapisan, pelacakan, dan pemeriksaan untuk mendeteksi kasus secara dini. Pengampunya adalah aparat dan tenaga kesehatan dengan dukungan dan peran serta seluruh warga.

Upaya Hilir

Sedangkan upaya hilir merupakan upaya tatalaksana yang meliputi perawatan, pengobatan, termasuk isolasi bagi warga yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Tatalaksana kasus tanpa gejala dan gejala ringan kita lakukan di lima gedung pusat karantina yang disediakan Pemkab Wonosobo. Sementara tatalaksana kasus dengan gejala sedang sampai berat kita lakukan di tiga rumah sakit dengan penanganan spesialis. Sebagian yang tidak mampu ditangani kita rujuk ke rumah sakit lini satu di luar kota.

Apa yang kita dapatkan sangat tergantung pada seberapa kuat upaya yang kita lakukan.
Jika upaya hulu, tengah, dan hilir semuanya kuat, maka dalam jangka pendek penemuan kasus tanpa gejala dan gejala ringan akan meningkat tinggi.

Sementara penemuan kasus dengan gejala sedang dan berat rendah; sehingga angka kesembuhan tinggi, angka kematian rendah, dan proses penularan berhenti.

Jika upaya hulu lemah, sedangkan upaya tengah dan hilir kuat, maka kemungkinan penemuan kasus (baik tanpa gejala, gejala ringan, sedang, atau berat) akan tinggi.

Sehingga diperkirakan gedung pusat karantina dan rumah sakit tidak mampu menampung jumlah kasus konfirmasi, angka kesembuhan cenderung stagnan, angka kematian meningkat, dan proses penularan di masyarakat cenderung masiv dan mulai sulit dikendalikan.

Jika upaya hulu dan tengah lemah, sementara hanya hilir yang kuat, maka dalam jangka pendek situasi ‘seolah-olah’ baik-baik saja: penemuan kasus tanpa gejala dan gejala ringan cenderung rendah; namun dalam jangka menengah dan jangka panjang akan diikuti dengan meledaknya kasus bergejala sedang dan berat. Warga datang ke rumah sakit dalam keadaan sakit yang tidak mampu dikompensasi dengan perawatan mandiri di rumah.

Berikutnya angka kesembuhan menjadi rendah, sebaliknya angka kematian meningkat, dan rumah sakit pelan-pelan kolaps karena kelebihan kapasitas. Rumah sakit akan kelelahan di samping banyak personilnya yang tertular. Secara otomatis proses penularan di masyarakat semakin sulit dikendalikan.

Jika semua upaya –hulu, tengah, hilir– lemah, maka cepat atau lambat kita semua akan seperti penumpang roller coaster yang meluncur sangat cepat tetapi tanpa kita sadari tali baja penahannya telah putus. Persis seperti skenario kekebalan massal alamiah tanpa imunisasi yang pernah mengemuka di awal-awal pandemi.

Di atas semua itu kita mempunyai pilihan terbaik, memperkuat kembali upaya hulu. Jika upaya ini kuat maka boleh jadi tidak diperlukan lagi upaya tengah dan upaya hulu yang biayanya sangat mahal.

Dua minggu misalnya, atau syukur bertahan empat minggu (dua kali masa inkubasi virus), kita semua patuh memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan maka kemungkinan besar virus akan kelabakan, tidak mendapatkan inang untuk hidup, dan akhirnya binasa untuk selama-lamanya.

Siapa tahu melalui upaya yang sederhana dan sangat murah ini kita bakal mendapatkan kehidupan normal kembali seperti sedia kala. Mari kita coba.

(Penulis Dr H Jaelan SKp MKes, Koordinator Bidang Data dan Informasi Satgas Penanganan Covid-19 dan Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Wonosobo)

Editor: mul