blank
Para seniman melarung dua buah wayang yang dipersonifikasikan sebagai setan-setan anak buah Bethari Durga yang sering mengganggu manusia dalam wujud bencana alam, pagebluk dan membuat kisruh di bumi,.  Foto: Widiyas Cahyono

MAGELANG( SUARABARU.ID)- Pandemi covid-19 yang belum ada tanda-tanda berakhir ditambah lagi dengan dengan meningkatnya aktivitas vulkanik Merapi.

Keprihatinan ini menggerakkan sejumlah seniman dari Komunitas Lima Gunung berkolaborasi dengan seniman dari Sanggar Arum Sari dari Kota Magelang, Srikandi dan Sasana  Pamardi Budaya menggelar ritual larung sengkala, Rabu (25/11).

Prosesi larung sengkala tersebut dilakukan di pinggiran Sungai Progo tersebut diawali jejeran  wayang kulit oleh Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto .

Pada jejeran wayang  yang singkat tersebut, menceritakan  pertemuan antara tokoh Semar dengan Bethari Durga. Yakni Semar yang menjelma sebagai manusia meminta agar para setan segera pulang ke asalnya, dan tidak mengganggu kehidupan di bumi.

Pada ritual tersebut, mereka membawa dua buah wayang yang dipersonifikasikan sebagai setan, dhemit dan lainnya yang merupakan anak buah dari Bethari Durga dan Bathara Kala di atas tandu kecil.

Dengan diiringi alunan tembang Jawa dan tetabuhan dari bende (gong kecil), mereka berjalan dari Pendapa Sasana Pamardi Budaya yang ada di Kampung Meteseh Lor  RT 03 RW 13, Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, menuju Sungai Progo,

Sesampainya di sungai yang berhulu di Jumprit, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung tersebut, mereka  berekpresi menari dan sebagainya di atas batuan sungai.

Pada ritual tersebut, Ki Susilo Anggoro, pimpinan Sasana Pamardi Budaya   memotong rambut  bajang  dari lima gadis remaja. Potongan rambut dari lima gadis remaja, kemudian dimasukkan ke dalam kendhil kecil dan dilarung ke sungai.

Selain melarung rambut bajang dari lima gadis  tersebut, mereka juga melarung  dua buah wayang yang sebagai personifikasi dari setan-setan sang angkara murka.

“Tujuan dari ritual Larung Sengkala ini, tersebut agar mereka (setan, demit) yang merupakan anak buah dari Bethari Durga dan Bathara Kala yang sering merusak tatanan kehidupan manusia,  untuk segera pulang ke alamnya,” kata Susilo.

Menurutnya,   larung sukerta yang tersebut  dilaksanakan para seniman Kota Magelang bersama dengan para seniman dari Lima Gunung tersebut, berawal dari keprihatinan  terhadap adanya pagebluk ( bencana) yang saat ini terjadi di Indonesia.

“Kegiatan ini wujud keprihatinan dari para seniman, atas adanya pagebluk Covid-19 yang kian hari kian bertambah banyak,” kata Susilo.

Ia menambahkan, selain adanya pandemi covid-19, saat ini  Gunung Merapi juga aktivitasnya meningkat.

Menurutnya, para seniman  melakukan ritual larung sengkala dengan tujuan  agar semua persoalan bangsan  mulai  bencana alam dan bencana nonalam (covid -19) dan lainnya  segera berlalu.

Susilo menjelaskan, pandemi, bencana alam dan kekrisuhan di dunia politik yang ada di Indonesia tersebut, merupakan  “ ulah “ dari  anak buah Bethari Durga dan Bathara Kala yang bertujuan merusak bumi dan seisinya.

Pria yang menjabat Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia Magelang tersebut menjelaskan, dipilihnya Sungai Progo sebagai tempat  untuk melarung “setan-setan” tersebut, karena sungai yang berhulu dari mata air Jumprit, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung tersebut langsung lurus ke Laut Selatan.

Harapannya, para “setan-setan” yang menganggu kehidupan manusia tersebut, bisa sampai di Laut Selatan Pulau Jawa.

Widiyas Cahyono-trs