blank
Gapura masuk desa Kiyangkongrejo. Foto: Ist

PURWOREJO (SUARABARU.ID) -Tugas dan fungsi bendahara desa atau Kaur Keuangan, masih dipandang sebagai pegawai pembubuh stempel (tukang cap) pertanggungjawaban keuangan. Padahal ia memiliki peran penting dalam alur keuangan desa.

Seperti yang terjadi di Desa Kiyangkongrejo, Kecamatan Kutoarjo. Dugaan kekurangtransparanan penggunaan anggaran yang bersumber dari bantuan-bantuan pemerintah membuat warga bergejolak.

Bahkan, perangkat desa pun dipanggil inspektorat untuk dikklarifikasi pada esok Senin (23/11). Keadaan itu pun ‘memaksa’ Kaur Keuangan Desa Kiyangkingrejo, Muhammad Taukhid Kaur Keuangan Desa Kiyangkongrejo angkat bicara.

blank
Kaur Keuangan Desa Kiyangkongrejo, Muhammad Taukhid. Foto: Taletha

“Sejak saya bertugas sekira tahun 1995 lalu, tugas saya hanya mengambil uang, sesuai Surat Perintah Pencairan (SPP). Lalu uangnya saya serahkan kepada Pak Kades. Ada juga yang saya serahkan ke Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Pengadaan Barang/Jasa. Kalau uang bantuan, saya sendiri yang menyalurkan dan selalu clear,” jelas Muhammad Taukhid saat ditemui di Desa Kiyangkongrejo, Sabtu malam (21/11).

Taukhid menjelaskan bahwa, selama ia menjadi bendahara desa, tidak  pernah menyimpan uang. Semua uang proyek infrastruktur diserahkan kepada Kades Akhmad Asmudi. Padahal, menurut dia, alur yang benar dalam keuangan adalah Kaur keuangan mengeluarkan uang hanya sebesar kuitansi yang diserahkan oleh TPK.

 

“Saya hanya dapat perintah pimpinan untuk menyelesaikan administrasi pertanggungjawaban keuangan. Urusan belanja barang, saya  tidak pernah diajak karena bukan tupoksi saya. Biasanya dibelanjakan oleh Kades sendiri, saya hanya mengambil uang untuk pajak,” kata Taukhid.

Pria berkacamata ini juga mengakui bahwa, dalam aturan tidak dibenarkan semua uang diserahkan kepada Kades. Penyerahan uang harus setelah ada kuitansi dari TPK. “Saya berkali-kali menegur Pak Kades soal alur keuangan, tapi tidak diindahkan. Bahkan pendamping desa dan pendamping kecamatan juga beberapa kali menegur. Tapi akhir-akhir ini sudah agak berubah,” kata Taukhid.

Tunggu Audit Inspektorat

Dalam membuat SPJ pun, menurut Taukhid, stempel toko material dibuat sendiri, atas seizin toko tersebut. “Bukan saya yang membuat stempel, saya hanya terima dari Pak Kades. Tadi malam (Jumat, 20/11) sudah saya kembalikan ke beliau. Saya juga disuruh menandatangani kuitansi material, ya saya manut saja, saya ini nggak paham urusan hukum yang saya tahu hanya mengikuti perintah atasan,” tambah Taukhid.

Sementara itu, Kades Kiyangkongrejo, Akhmad Asmudi menolak untuk berkomentar. “Saya tidak mau menjawab, takut salah. Sekarang desa kami sedang diaudit oleh Inspektorat, tunggu hasilnya saja. Biar Inspektorat yang menentukan salah atau tidak,” kata Asmudi melalui sambungan telepon, Munggu pagi (22/11).

Bisa jadi, Desa Kiyangkongrejo hanya satu dari desa-desa lain yang belum menerapkan transparansi anggaran dan membuat SPJ hanya untuk formalitas. Sudah saatnya perangkat desa lebih memperhatikan kebenaran dari SPJ yang dibuatnya.

TALETHA-trs