blank
Diogo Jota. Foto: liverpool.com

blank

Oleh: Amir Machmud NS

//…ia datang dari negeri para pendekar// mengayun pedang di kerasnya pertarungan// tanpa kecanggungan// anfield gang, aku datang…// simaklah sorak penyambutan// : jota-ku, jota-mu, jota kita…// (Sajak “Diogo Jota”, 2020)

DARI negeri sarang pendekar, akan terus lahir jagoan. Dari tangan seorang guru besar, terbentuk murid-murid pilihan.

Portugal mengirim berderet talenta yang bagai tak berjeda. Dari “Black Panther” Eusebio da Silva Ferreira, Luis Figo, Cristiano Ronaldo, Joao Felix, Bernardo Silva, Bruno Fernandes, dan kini yang mengapung sensasional: Diogo Jota!

Sang striker menjadi bukti kesekian kali kejelian Juergen Klopp dalam naluri perekrutan pemain. “Empu” Liverpool itu mendatangkannya dari Wolverhampton Wanderers, padahal bukankah dia sudah punya trio maut Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah? Pun masih ada sang pelapis Divock Origi dan Takumi Minamino.

Terbuktilah Diogo Jose Teixeira da Silva menjadi “mainan baru” yang mengasyikkan bagi Klopp, walaupun karenanya “mainan lama” Firmino harus lebih sering menepi di bangku cadangan. Produktivitas Jota melengkapi ketajaman Salah dan Mane, memperkuat kedalaman skuad Liverpool di barisan penyerang.

Pada awal petualangannya bersama The Anfield Gang, Diogo Jota menjelma menjadi sosok malaikatul maut. Juergen Klopp telah menghadirkan racikan dahsyat baru, justru ketika pada awalnya dia men-setting kehadiran Timo Werner yang akhirnya berlabuh ke Chelsea, juga Jadon Sancho yang memilih bertahan bersama Borussia Dortmund.

Para pandit memuji performa awal Jota yang sangat atraktif. Fans Liverpool memberi julukan “monster kecil”. Legenda Arsenal, Ian Wright menyebut harga 41 juta paun saat dilepas oleh The Wolves menjadi tidak terasa mahal. Kontribusi tujuh gol dari 10 laga di semua ajang memperlihatkan kualitas Jota yang terlihat matang pada usia 23.

Perkembangan selanjutnya dari racikan taktik Klopp, yang antara lain juga melibatkan kehadiran gelandang kreatif anyar Thiago Alcantara tentu menarik ditunggu; seperti apa nantinya skema baru itu memanjakan para penyerang Liverpool.

* * *

LIGA Primer musim ini seperti mengalihkan fokus dari kondisi pandemi covid-19 yang membuat tribune-tribune stadion serasa senyap. Di tengah kondisi ekonomi yang terdampak pandemi, kehadiran bintang-bintang baru yang menyebar di sejumlah klub menjadi ceritera baru.

Liverpool melengkapi tim dengan rekrutan hebat pada bursa transfer musim panas lalu. Manchester United dikritik lebih seperti “dewa mabuk” dalam formasi transfer, antara lain ketika mendatangkan secara cuma-cuma Edinson Cavani dari Paris St Germain, lalu membuat lini tengah penuh sesak lantaran transfer Danny van de Beek dari Ajax.

Chelsea terlihat paling ugal-ugalan. Dua produk transfernya menjadi sorotan, yakni Timo Warner dan Kai Havertz. Frank Lampard sukses mendatangkan pemain berjaminan kualitas seperti Thiago Silva, Hakim Ziyech, Christian Pulisic, Ben Chilwell, dan kiper Eduard Mendy. Padahal The Blues punya sederet young guns bertalenta hebat seperti Mason Mount dan Tammy Abraham. Seperti Manchester Merah, jika berada dalam trek manajerial yang konsisten Chelsea diperkirakan bakal menjadi kandidat juara pada satu-dua musim ke depan.

Diogo Jota adalah satu di antara permata yang berkilau di awal musim 2020-2021 ini. Skema taktik Klopp dengan tiga penyerang seperti yang memuncak dalam tiga musim belakangan, dipertahankan sebagai filosofi gegenpressing Liverpool.

Risiko kehadiran Jota memang dirasakan oleh Bobby Firmino dan jatah jam terbang Minamino, namun rotasi yang dibutuhkan dengan kedalaman skuad untuk event lain, justru bakal memudahkan taktikus asal Jerman itu dalam menyusun skema.

Masa depan Firmino menjadi yang paling disorot. Bagaimana mungkin, pemain kunci yang selama ini disebut sebagai “penghubung”, serta pembuka ruang untuk Mo Salah dan Mane, tiba-tiba harus menepi karena kehadiran orang baru yang terbukti lebih menjanjikan ketajaman?

Juergen Klopp mencoba menenangkan anak asuhnya itu. Dia menegaskan tak pernah sepatah kata pun menyatakan sesuatu mengenai Firmino, dan telah terbukti betapa penting pemain asal Brazil itu untuk Liverpool. Bagi Klopp, Firmino adalah sang pembeda tanpa harus dibuktikan dengan mencetak gol.

Realitas awal menunjukkan, Diogo Jota memang produktif, tapi Firmino diakui lebih kreatif. Jota unggul dalam kecepatan dan naluri gol, akan tetapi Firmino tak tergantikan dalam mengkreasi serangan dengan visi sebagai pembuka ruang.

Suatu saat bukan tidak mungkin pemain kelahiran Porto itu akan berada dalam satu skema taktik bersama Firmino, apabila Mane atau Salah berhalangan. Bahkan bisa saja keempatnya dimainkan dalam satu paket. Taktik Klopp justru bakal makin fleksibel walaupun pasti ada risiko menit bermain yang berkurang bagi satu atau dua penyerangnya.

Klub sepak bola sekarang tak lepas dari kebutuhan rotasi untuk tidak memaksakan beban tampil para pemainnya di semua ajang. Menjaga kebugaran dan psikologi pemain antara lain dilakukan dengan memperbanyak jumlah pemain cadangan.

Persaingan berebut tempat dalam skema bermain selalu menjadi bagian dari perbincangan menarik, ketika muncul sumberdaya baru seperti Jota atau Bruno Fernandes.

Simak pulalah di Manchester City, striker sekaliber Gabriel Jesus tak selalu mendapat tempat pertama. Keberadaan Sergio Aguero, Raheem Sterling, dan Ryad Mahrez menciptakan persaingan rotasi. Kita juga melihat, seorang Edinson Cavani mesti bersabar menunggu kesempatan karena kebertumpukan stok penyerang United mulai dari Anthony Martial, Marcus Rashford, Mason Greenwood, hingga Odion Ighalo.

Diogo Jota telah menciptakan kegembiraan baru bagi komunitas Anfield. Dengan gairah dan gol-golnya, dia telah merebakkan kegairahan: Jota-ku, Jota-mu, Jota kita…

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng