blank
Ilustrasi bentuk negara. Foto : SB/dok

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

کل محل قدر مسلم ساکن به علی الامتناع من الحربیین فی زمان من الازمان یصیر دار اسلام تجری علیه احکامه فی ذالک الزمان وما بعده ۔
Artinya: Setiap bumi yang didiami orang Islam yang ia mampu bertahan dari musuh-musuh yang memeranginya dalam suatu masa, maka bumi itu disebut “Dar al-Islam” karena pernah berlaku hukum-hukum Islam pada waktu itu maupun setelahnya.

فعلم ان ارض بتاوی بل وغالب ارض جاوه دار اسلام لاستیلاء المسلمین سابقا قبل الکفار
Artinya: Berarti tanah Betawi (istilah waktu itu=Jakarta) bahkan Jawa (istilah waktu itu=Indonesia) adalah negara Islam, karena pernah dikuasai oleh orang Islam sebelum dikuasai oleh orang- oranng kafir.
(Mufti Hadhramaut, Sayid Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, hlm. 160).

Islam tidak menentukan bentuk negara dan pemerintahan, kecuali memberikan prinsip-prinsipnya. Al-Qur’an dan Hadits mengintroduksi terma “Khalifah” sebagai jabatan penguasa bumi (QS. Al-Baqarah 30), disamping terma “Imam” (Al-Furqan 74), sebagai pemimpin orang bertakwa dan bukan bentuk negara atau pemerintahan.

Hal ini bisa dibuktikan dari bentuk negara dan pemerintahan sepanjang sejarah kaum muslimin yang selalu berubah. Dan setiap perubahan direspons oleh para ulama ahli fiqh dengan menggunakan standar dan kaidah fiqhiyah yang elegan dan solutif.

Para ahli politik Islam-pun sering berbeda pendapat dalam pengkategorian bentuk negara dan pemerintahan sepanjang tradisi Islam.

Nomenklatur yang diutarakan para ahli terhadap bentuk negara dan pemerintahan Nabi saw. saja berbeda. Abdul Wahhab Effendi menyebut pemerintahan tanpa negara.

Amin Rais menjelang reformasi mengkategorikan negara federasi. Muhammad Asad menyebut yang pasti bukan kerajaan monarchi dls.

Dalam telaah perpolitikan, sistem kenegaraan bisa dibagi dalam bentuk negara (hubungan pusat-daerah secara vertikal) dan bentuk pemerintahan (hubungan horizontal antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Bentuk negara dibagi menjadi negara kesatuan dan negara serikat atau federal. Negara kesatuan (tidak memiliki negara bagian) seperti NKRI, Brunai dsb. Negara federal (memiliki negara bagian) seperti Malaisia dan lain-lain.

Kekuasaan Tunggal

blank
Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Mukhotob Hamzah, MM. Foto : Muharno Zarka

Sedangkan bentuk pemerintahan ada bentuk otokrasi (kekuasaan tunggal=raja, seperti Saudi), oligarchi (kelompok tertentu, Afgan), monarchi (raja atau kaisar turun temurun, Saudi Arabia), dan republik (demokratis, Indonesia), dsb.

Negara era Nabi saw. jelas tidak menggunakan nomenkkatur negara Islam, tetapi Al-Madinah a–Munawarah dengan karakter : Pertama, konstitusional berupa Piagam Madinah, dengan konten sepuluh bab dan empat puluh tujuh pasal menurut Montgomety Watt.

Kedua, berbasis syura. Ketiga, kelonggaran mengatur kaidah sosial komunitasnya yang sejalan dengan piagam. Keempat, mendahulukan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama.

Kelima, saling membantu menegakkan dan membela negara. Keenam, silang sengketa antar warga dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Negara era khulafa’ rasyidin yang sering disebut negara khilafah memliki sistem syura dan mekanisme estafet kepemimpinan yang variatif.

Negara era Muawiyah dan dinastinya adalah negara kerajaan, demikian pula dinasti Abasiyah, Fathimiyah, Utsmaniyah dst. Kerajaan ini oleh al-Hafidz As-Suyuthi dilabeli Khalifah dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa’.

Negara muslim era modern banyak yang memodifikasi bentuk negara dan pemerintahan barat seperti kerajaan berparlemen, republik demokrasi berketuhanan dan sebagainya.

Kembali ke kutipan Sayid Ba’lawi, maka rasanya tepat jika diasumsikan bahwa para Founding Fathers NKRI mereferens dan memadukan Piagam Madinah dengan fatwa tersebut dalam merumuskan Pancasila dan UUD 45.

Kritik sementara orang bahwa nasionalisme Indonesia termasuk “Ashabiyah=Chaufinistik”, tidak relevan karena sila kedua bersifat universal.
Wallaahu A’lam!

Penulis Dr KH Mukhotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo