blank
Ilustrasi (klikhukum.id)

Oleh: Budi Susanto

blank
Budi Susanto

Meski sudah dibantah oleh Mendikbud Nadiem Makarim, tapi salah satu materi rancangan penyederhanaan kurikulum terkait penghapusan mata pelajaran sejarah di sekolah, terlanjur ramai jadi pergunjingan publik.

Berbagai pihak, tak kurang anggota DPR, bahkan Ketua MPR, telah menyatakan penolakannya. pihak, tak kurang anggota DPR, bahkan Ketua MPR, telah menyatakan penolakannya. Penafsirannya pun bisa berkembang kemana-mana.

Bukan cuma membuat gaduh, tapi bisa menimbulkan dampak politik yang rawan. Bisa dimengerti jika muncul reaksi dan kekhawatiran banyak pihak. Entah dari mana datangnya rancangan itu.

Pendidikan kita memang masih memerlukan banyak perbaikan atau penyempurnaan. Karena itu sering muncul satire, ganti menteri ganti kebijakan. Bisa banyak diambil contoh tentang ini. Namun perbaikan itu seringkali hanya bersifat bongkar pasang dan mengulang-ulang kembali apa yang pernah dilakukan, untuk tidak dikatakan jalan di tempat.

Sebelumnya dalam banyak kesempatan, Nadiem juga sering mengemukakan tentang konsep “link and match” sebagai visi dari kementrian yang dipimpinnya dalam bidang pendidikan, demi menyongsong masa depan.

Institusi pendidikan akan melakukan perubahan agar para lulusannya kelak bisa masuk dan sesuai (link and match) dengan kebutuhan dunia industri. Nadiem pun dengan yakin mengatakan, sebagai satu-satunya anggota kabinet yang mewakili generasi milenial, dirinya sangat mengerti tentang masa depan. Tak urung, pernyataan itu pun menuai banyak tanggapan.

Dua hal di atas rupanya membuat banyak pihak terusik. Sejak pengangkatannya menjadi Mendikbud pun, Nadiem memang telah memancing banyak polemik. Menteri paling muda ini akan mengemban tugas berat dalam bidang yang –oleh sebagian orang– dianggap tak mengalami perubahan berarti ketika dipegang oleh generasi yang lebih tua sebelumnya.

Dengan dipegang oleh menteri berusia muda, diharapkan akan terjadi perubahan signifikan untuk membangun kualitas generasi masa depan bangsa.

Tapi sebelum berbicara tentang masa depan, ada baiknya kita tengok sekilas peristiwa yang terjadi pada zaman kolonial, hampir satu abad yang lalu. Peristiwa sejarah, tentu saja.

Tersebutlah pada 22 Juni 1927, seorang anggota Volksraad (DPR zaman kolonial) berkebangsaan Belanda, bernama Meyer Rannef, berpidato dan mengatakan:”….Kita harus bertanya kepada diri sendiri, apakah pendidikan kita sudah berada di jalan yang benar…?

Pendidikan barulah berguna bilamana ia mampu memperkuat kehidupan bisnis dengan menghasilkan tenaga-tenaga pribumi untuk memegang setiap jenis pekerjaan di dalam industri, perdagangan, dan perkapalan atas peri yang sama seperti orang Eropa.

Karena itu kita harus menghubungkan pendidikan dengan kehidupan praktis dan menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi negeri ini…” (Chr LM Penders/Ed, Indonesia Selected Documents on Colonialism and Nationalism).

Itulah konsep link and match yang dikemukakan oleh seorang bangsa penjajah mengenai pendidikan di Hindia Belanda, jauh sebelum negara Indonesia merdeka lahir.

Pergulatan Sejarah

Jika ditarik lebih jauh lagi, akan terlihat betapa panjang pergulatan sejarah pendidikan kita. Berbagai aksi protes, demo, penangkapan, hingga pengasingan, terjadi di sana sini.

Namun sejarah pendidikan bagi rakyat memang terbangun dan diselenggarakan bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan industri, bisnis dan pasar, kecuali pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial.

Pendidikan bagi rakyat saat itu, merupakan salah satu sarana perjuangan bangsa menuju manusia dan negara merdeka. Para peserta didik ditempa, bukan cuma agar menjadi pintar dan cerdas, tapi juga memiliki karakter manusia pejuang demi membebaskan diri dari penjajahan.

Seorang guru bukan hanya pandai mengajar, tapi guru pejuang. Seorang dokter bukan hanya pandai mengobati orang sakit, tapi dokter pejuang. Bukan hanya insinyur yang pintar membangun gedung, tapi insinyur pejuang.

Ekonom pejuang, pengusaha pejuang, dsb. Pendidikan rakyat saat itu bukan mendidik untuk menjadi manusia pemburu rente yang mencari keuntungan diri, tapi manusia pejuang yang membangun karakter bangsa menuju kemerdekaan.

Inilah ruh dan karakter pendidikan kita yang hendak diwariskan/dilestarikan bagi generasi penerus. Tanpa karakter pejuang, para lulusan barangkali akan lebih menjadi buruh dan operator dunia industri dari sistem ekonomi yang sepenuhnya dikuasai dan diatur kaum kolonial.

Itulah kutipan singkat peristiwa sejarah pendidikan kita. Namun kutipan singkat itu menjadi menarik, ketika hampir satu abad kemudian (2020), disadari atau tidak, soal yang sama seakan terulang kembali dan menjadi perdebatan yang tak kunjung menemukan jawab.

Bedanya, sekarang bukan dikemukakan oleh seorang bangsa kolonial, melainkan oleh seorang generasi milenial yang sedang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Perubahan

75 Tahun sudah Indonesia merdeka secara politik. Gelombang perubahan di era disrupsi revolusi industri 4.0 saat ini, disadari atau tidak, telah membawa perubahan luar biasa dan nilai-nilai baru bagi masyarakat. Di tengah derasnya arus ini, sambil terbata seolah kita mengulang kembali perdebatan lama tentang program link and match di zaman kolonial.

Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini kita masih galau tentang sistem pendidikan yang mesti dilaksanakan di negeri ini. Berulang-ulang dibahas tentang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan industri, tentang standar kelulusan peserta didik, tentang sertifikasi guru dsb.

Namun di tengah kerumitan pembahasan soal teknis pendidikan, kadang kita lupa bertanya, untuk siapa sebenarnya pendidikan itu diselenggarakan? Untuk apa sebenarnya sebuah sekolah dan universitas didirikan?

Di sinilah sering muncul kritik yang menyatakan bhw pendidikan yang dilaksanakan sekarang lebih merupakan pengajaran. Pengajaran tentang keahlian, tentang ketrampilan atau tentang pengetahuan, namum bukan pendidikan yang mencerdaskan.

Bukan pendidikan yang nampu membentuk karakter anak bangsa. Lembaga pendidikan seolah dibentuk menjadi pabrik pengolah tenaga kerja, dan menjadi pemasok bagi kebutuhan pasar dan industri.

Peserta didik disiapkan untuk menjadi sarjana tukang. Mereka kaya hafalan, tapi miskin penalaran. Mereka lebih suka mengutip definisi dan teori, tapi gagap untuk membangun kreasi dan inovasi.

Bagaimanapun pendidikan adalah lembaga yang sarat dengan beban kesejarahan. Membahas pendidikan menuntut kejujuran dan kejelasan tentang masa lalu, pemenuhan kebutuhan mendesak masa kini, serta cita-cita dan harapan tentang masa depan bangsa.

Melalui pendidikanlah masyarakat akan melestarikan nilai-nilai budaya, etika dan kekuatan spiritual yang tercerna dalam sejarah, dengan harapan akan melanggengkan eksistensi masyarakat di masa depan.

Melalui pendidikan pula dilakukan penyiapan sumber daya manusia, perencanaan di berbagai bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik guna memenuhi kebutuhan masa kini. Itulah tiga dimensi kesejarahan dunia pendidikan.

Namun sulit dipungkiri, masih jelas terlihat carut marut wawasan sejarah kita, dan belum mampu bersikap jujur dalam melihat masa lalu. Berbagai kepentingan masih menimbulkan pertentangan hingga kini.

Pancasila sebagai landasan idiil bangsa, masih tampak indah dalam ucapan dan di atas kertas, tapi samar dalam tindakan. Di depan cermin sejarah yang masih buram ini, memang tak mudah membangun landasan filsafat dan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa.

Semangat Pejuang

Tanpa semangat dan karakter pejuang yang dibangun di masa lalu, barangkali kita masih menjadi bangsa terjajah. Kita tidak berharap, generasi milenial masa kini (tanpa sadar) memiliki karakter dan pola pikir yang mirip dengan penjajah zaman kolonial, karena tak memahami sejarah bangsanya sendiri.

Meraih masa depan, memang menjadi tujuan. Tapi tanpa pemahaman terhadap masa lalu, sangat mungkin akan kesulitan menentukan arah. Karena itu pendidikan sejarah bukannya perlu dihapuskan, melainkan justru perlu diperbaiki dan disempurnakan, agar peserta didik bukan cuma menghapal urutan peristiwa masa lalu, melainkan memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Tanpa pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa, bisa saja dihasilkan banyak sarjana terampil dan bergelar tinggi, tapi berkarakter manusia terjajah; dan puas menjadi buruh dan operator di zaman revolusi industri 4.0 yang dikuasai negara-negara maju dan pemilik modal. Apalagi jika ditambah mentalitas korup di kalangan para petinggi yang sangat menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemahaman terhadap sejarah sekurangnya akan makin memperluas wawasan berpikir agar tidak terjebak pada sikap sempit hitam putih, salah benar, dsb. Bangsa yang tak mampu belajar dari sejarah, akan dikutuk mengulang kembali pengalaman sejarah.

Budi Susanto, Alumni Pascasarjana F Hukum & FISIP Undip