blank

Oleh: Umi Nadliroh

blankRANGKAIAN tahapan lanjutan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020, semakin mendekati hari pemungutan suara. Karena hajatan demokrasi tingkat lokal yang dilakukan secara serentak ini, akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Tahapan demi tahapan telah dilalui dengan lancar, di tengah pandemi covid-19. Pada 4-6 September 2020, merupakan tahapan penting dalam Pilkada kali ini, yaitu tahapan pendaftaran calon kepala daerah. Di mana bakal calon, baik yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dan calon perseorangan, didaftarkan dan mendaftaran diri ke Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten/Kota.

Di tahapan inilah, masyarakat terfokus, menanti, menyaksikan dan bertanya-tanya siapa para bakal calon kepala daerah yang akan mendaftarkan diri ke KPU Provinsi dan Kabupaten atau Kota, baik yang diusung Partai politik atau gabungan partai politik dan perseorangan.

Sesuai ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, bahwa pada tanggal 23 September 2020 nanti, KPU Provinsi dan kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada, akan menetapkan para pasangan calon Kepala Daerah yang telah memenuhi persyaratan.

Dari 270 daerah yang melakukan Pilkada tahun 2020, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota ini, terdapat 738 pasangan calon yang mendaftar di KPU Provinsi dan Kabupaten /Kota.

Dalam Konstitusi, telah memberikan ruang bagi calon perseorangan dalam kontestasi Pilkada. Ketentuan dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota menjelaskan, peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, serta bisa diikuti calon perseorangan yang didukung sejumlah orang.

Namun faktanya, jalur partai politik sepertinya lebih diminati sekelompok orang, daripada jalur perseorangan. Apakah hal ini disebabkan karena rumitnya syarat yang harus dipenuhi calon dari jalur perseorangan (harus mengumpulkan sekian dokumen dukungan, berupa fotokopi KTP dan syarat lain yang dinilai memberatkan), atau ada faktor lain?

Berkualitas
Pemilu atau Pilkada disamping memiliki fungsi kedaulatan rakyat, juga memiliki fungsi sebagai salah satu ajang seleksi politik atau rekruitmen politik. Karena, dalam Pilkada ini, akan dipilih figur terbaik yang dilakukan partai politik ataupun melalui perseorangan, sebelum para pasangan calon ini mendaftar ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Menurut Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu Politik (2007), bahwa rekruitmen politik merupakan seleksi dan pemilihan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah tugas, dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.

Dan proses ini memiliki makna untuk mencari serta menyeleksi kandidat yang berkualitas, yang memiliki kecakapan, kejujuran dan kemahiran dalam pemerintahan di tingkat lokal, yang kesemuanya dilakukan dalam tahapan penjaringan bakal calon yang dilakukan partai politik.

Dari rekruitmen politik ini, partai politik memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk memilih, menyeleksi dan menentukan calon dan figur pemimpin yang berkualitas serta sesuai dengan harapan rakyat. Dan dalam negara demokratis, proses rekruitmen politik harus mensyaratkan adanya interaksi partai politik dalam mewarnai suksesi kepemimpinan Nasional maupun lokal.

Sehingga kehadiran partai politik bisa dilihat dari kemampuan partai tersebut untuk melaksanakan salah satu fungsinya, yaitu melakukan rekruitmen politik.

Tidak hanya merekrut orang-orang tertentu, tetapi memilih orang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas, elektabilitas serta memiliki karakter yang baik, jujur melalui proses penjaringan yang terbuka dan transparan. Yang akhirnya bakal calon yang dibawa dan yang didaftarkan ke KPU dalam perhelatan dan kontestasi Pilkada, merupakan calon yang layak jual dan layak dipilih rakyat.

Dalam ketentuan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, khususnya yang mengatur tentang pencalonan, sudah mengatur sedekian rupa tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi bakal calon. Baik yang diusung partai politik atau gabungan partai politik atau bakal calon dari perseorangan. Misalnya terkait dengan syarat, bahwa bakal calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Syarat ini sesuai dengn ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016. Dan yang dimaksud dengan perbuatan tercela dalam Undang-Undang adalah mabuk, judi dan pemakaian narkoba. Ini sebagai upaya dan membatasi bahwa syarat yang diajukan sebagai calon adalah, orang yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Peran dan kesempatan bagi partai politik untuk menunjukkan kepada masyarakat, bahwa partai telah benar-benar menyeleksi dan memilih calon yang memiliki kapabilitas dan juga memiliki integritas. Sehingga kelak nanti saat terpilih, akan menjadi Kepala Daerah yang jujur, bersih dan mampu memajukan daerahnya.

Deal-deal Politik
Namun dalam faktanya, seleksi yang tidak tepat dalam fase rekruitmen politik yang dilakukan partai politik ini, menghasilkan “calon yang itu-itu saja” dan “calon yang begitu-begitu saja”. Rakyat hanya disuguhi sedikit pilihan, bahkan tak ada pilihan sama sekali.

Bahwasanya, dalam ketentuan Undang-Undang terkait dengan rekruitmen politik, partai politik dalam melakukan penjaringan bakal calon dilakukan secara terbuka dan transparan. Namun hal ini sering diabaikan partai politik, sehingga dalam praktik seleksi dan rekruitmen politik, sering terjadi ‘deal-deal politik’.

Hal inilah yang sangat merusak tatanan demokrasi di negeri ini, dan akan tetap melanggengkan praktik nepotisme politik, dan permintaaan mahar politik dalam Pilkada, terutama saat merebutkan rekomendasi dari partai politik di pusat. Ini juga semakin menajamkan oligarki partai.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 khususnya Pasal 47 ayat (1) telah jelas-jelas melarang partai politik atau gabungan partai politik, untuk menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Pemilihan Kepala Daerah yang seyogyanya sebagai ajang untuk memilih kepala daerah yang memiliki kompetensi, kapabilitas dan integritas yang tinggi, selamanya tidak akan pernah terwujud, selama partai politik tidak melakukan perannya dengan baik. Yaitu melakukan rekruitmen dan memilih orang-orang yang akan menduduki jabatan sebagai kepala daerah adalah orang-orang yang baik dan bersih, yang memiliki kualitas, kapabilitas dan integritas.

Tokoh yang demikianlah yang seharusnya dipilih dan didaftarkan ke KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dan rakyat akan selalu mengevaluasi salah satu kinerja dari partai politik, dalam menentukan calon kepala daerah dalam setiap Pilkada.

Sudah saatnya sistem rekruitmen politik dalam partai politik diatur secara rinci dan detail, yang mencerminkan keterbukaan dan transparansi. Termasuk melibatkan partisipasi publik dan menerima masukan dari masyarakat, agar calon yang diajukan partai politik benar-benar tokoh yang berkualitas, memiliki kapabilitas serta berintegritas.

Bila itu telah dilakukan partai politik, niscaya rakyat akan mempercayai partai politik tersebut, dan meyakini partai politik mampu membawa ke arah perubahan yang lebih baik. Bukan malah sebaliknya, kepala daerah terpilih yang diajukan partai politik malah tersandung banyak kasus korupsi dan kasus lainnya. Yah, entahlah.

Umi Nadliroh, Anggota KPU Pati 2008-2018, Dosen PKN STAI Pati