blank
MT Arifin bersama aktivis seni budaya Kebumen di Rumah Budaya Bumi Bimasakti Kauman.(Foto:SB/Ist)

MENGENANG kiprah, karya hingga wacana kebudayaan pengamat sosial politik berlatar sejarawan Mohammad Taufiq Arifin (MT Arifin), banyak hal mengesankan. Uniknya, di setiap panggung diskusi itu pak MT selalu menyampaikan kajian budaya secara akademis sekaligus diselingi guyon maton.

Bahkan teori sosial budaya hingga politik aliran yang ia kupas selalu dipadu dengan sense of humour atau diselingi guyon maton bernas. Dengan intonasi jelas dan nada suara besar, menambah daya wacana yang dia sampaikan pada seminar, dialog atau wawancara menjadi berbobot dan selalu menarik.

Kedalaman analisa teori dan sikap kritis itu menjadi nilai lebih pak MT.  Sebab sejak muda lelaki yang gemar merokok ini sebagai aktivis kampus dan doyan membaca. Bahkan perpustakaan pribadinya di rumah Jalan Teratai Mangkubumen Solo, menunjukkan kuatnya literasi beliau. Saat diundang menjadi pembicara, dengan disiplin sehari dua hari sebelum hari H makalah atau paper yang dia ketik rapi minimal 10-15 halaman sudah terkirim.

Adapun selingan guyon maton tersebut menurut hemat penulis sebenarnya bagian dari sikap kritis yang ia kemas khas budaya Jawa sebagai pasemon. Nyindir tanpa menyakiti. Kritik disampaikan dengan bahasa ringan. Guyon namun sebenarnya menohok.

Itulah gaya khas yang dimiliki lelaki kelahiran Desa Sarwogadung, Kecamatan Mirit, Kebumen, yang semasa hidupnya pernah menjadi Kepala Puslit UMS Solo dan staf ahli Pangdam IV/Diponegoro. Karangan bunga di rumah duka dari Presiden Joko Widodo, Gubernur Ganjar Pranowo, Wali Kota dan Wakil Wakil Kota Solo, tentu satu bukti ketokohan dan kiprah Pak MT.

Tak heran bagi Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kebumen Pekik Sat Siswo Nirmolo alias Ki Pekik dan teman-teman di Kebumen yang konsen pada gerakan budaya, kepergian MT Arifin menyisakan duka mendalam dan rasa kehilangan tak tergantikan.

Bersahaja

Menurut Pekik, pak MT sosok budayawan berkelas nasional yang sangat bersahaja. Keringanannya berbagi ilmu dan pengetahuan budaya dengan teman-teman di Kebumen baginya  sangat mengesankan.

blank
MT Arifin berdiskusi diselingi tertawa dengan para pelaku seni dan aktivis di rumah Pekik Sat Siswo RSS Jatimulyo, Alian, Kebumen,(Foto:SB/Ist)

Apalagi dengan keluasan wawasan tentang sejarah, budaya, tentang tosan aji (keris dan pusaka Jawa), sangat memberikan pencerahan bagi teman-teman di Kebumen. Ilmu dan wacana budaya itu ia bagi di seiap kesempatan bertemu,  baik di acara resmi di panggung seminar dan sarasehan, atau sekadar ngobrol di rumah Pekik di RSS Jatmulyo, Kecamatan Alian, atau di rumah budaya Bumi Bimasakti di Kauman, Kebumen.

“Pangkat Kopral tapi seperti jenderal. Itu wejangan motivasi dari beliau yang masih saya ingat. Artinya, meskipun teman-teman menjadi bagian kecil dari sistem yang demikian kompleks, tetap bisa berperan dalam beragam penentuan arah kebijaksanaan pemerintah,”ujar Pekik .

Pekik yang juga guru di SMPN2 Kutowinangun itu memuji sikap pak MT sebagai putra daerah yang meskipun telah melesat menjadi tokoh nasional, masih memiliki ikatan emosi dan kepedulian besar pada daerah asalnya.

Kepergian pak MT juga kehilangn dan menimbulkan empati bagi aktivis sosial budaya di Gombong Sigit Asmodiwongso. Menurut peneliti dan penulis buku sejarah  kota Gombong era Kolonial itu, dirinya pertama mengenal Pak MT justru lewat tulisannya di Harian Solo Pos.”Waktu itu saya tidak tahu kalau beliau asli Kebumen,”tukas Sigit.

Menurut lelaki yang juga mantan wartawan media di Yogyakarta itu, tak banyak budayawan berlatar belakang akademis yang memberi perhatian pada Kebumen. Sekalipun telah merambah panggung nasional, Kebumen tak pernah bergeser dari perhatian Pak MT.

Sigit pun mengenang secara pribadi paper-papernya tentang sejarah dan kebudayaan Kebumen menjadi pintu masuk dia dalam mencoba lebih menyelami Kebumen.”Beliau juga entengan meladeni pertanyaan-pertanyaan dari pembelajar seperti saya. Hormat dan doa untuk Pak MT,”ucap Sigit.

Bahkan lelaki yang pernah aktif di Roemah Budaya Marta Tilaar (RMT) itu mengungakapkan, tahun 2014 pak MT menjadi pembicara dalam sebuah dialog budaya di RMT  Gombong, ketika tempat itu belum lagi diresmikan.

Menurut Sigit, di situlah Pak MT menyisipkan pesan dan amanah agar RMT juga berkiprah sebagai salah satu simpul budaya di Kebumen. Sebuah amanat yang Insya Allah akan selalu diingat dan dilakukan oleh pelaku seni budaya. Sugeng kondur kanthi damai pak MT.  

Komper Wardopo, wartawan Suara baru.id dan staf pengajar Fakultas Tarbiyah IAINU Kebumen