blank
PENSIL GAUL- Dengan sentuhan seni tangan Purwanto, warga Jalan Tirto nomor 1, Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, alat tulis pensil yang dikenal dengan nama“Pensil Gaul” selain lebih indah juga meningkatkan harga jual pensil tersebut. Foto:Suarabaru.Id/ Yon

MAGELANG,(SUARABARU.ID)– Alat tulis pensil bagi sebagian besar orang tidak barang asing lagi. Karena, salah satu alat tulis ini dikenal oleh semua umur, baik anak-anak, muda maupun orangtua.

Namun, bagi Purwanto, warga Jalan Tirto nomor 1, Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, alat tulis tersebut menjadi sumber penghidupan keluarganya. Karena,
ditangannya pensil tersebut menjadi lebih indah dan harga jualnya bisa menjadi dua hingga empat kali lipat daripada biasanya.

Dengan sedikit sentuhan seni, pensil-pensil biasa tersebut di salah satu ujungnya dihiasi dengan biji buah nyamplung (inuphilum) dan dibalut dengan perca kain sehingga membentuk karakter wajah boneka maupun binatang.

Pensil yang sudah dihias tersebut dan diberi nama “pensil gaul” tersebut menjadi semakin digemari tidak hanya anak-anak kecil melainkan juga wisatawan yang sedang berwisata di kawasan Candi Borobudur.

Purwanto menuturkan, usaha pembuatan pensil gaul tersebut dilakukan sejak 1997 silam, setelah dirinya menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di salah satu hotel berbintang di kawasan Candi Borobudur.

Meskipun di-PHK, tidak membuat pria yang akrab dipanggil Ipung ini menyerah begitu saja, melainkan tetap berusaha dan berkarya. Pada awal mulanya pria lulusan SMA di Kabupaten Brebes ini menggeluti usaha kerajinan dari limbah kayu.

Aneka kerajinan dari kayu dibuatnya seperti mobil-mobilan, gantungan kunci, gangsing, dan lainnya. Hingga akhirnya ia menggeluti kerajinan pensil.

“Di awal produksi tidaklah banyak, hanya sekitar 1000 buah aneka kerajinan per bulan. Pemasaran masih terbatas di Borobudur saja. Alhamdulillah perkembangannya cukup pesat hingga sekarang mampu memproduksi 5.000-10.000 buah per bulan,” ujar pemilik show room “Rik -Rok” yang ada di Jalan Tirto
nomor 1, Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Ditolak

blank
Purwanto, pengelola dan pemilik show room “Rik -Rok” Dusun Tingal, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Foto:Suarabaru.Id/ Yon

Lambat laun, usahanya mulai berkembang dan menembus pasar hingga Yogyakarta dan Pulau Bali. Selang beberapa tahun, sejumlah hotel berbintang di sekitar kawasan Candi Borobudur dan Magelang pun tertarik dengan pensil gaul buatannya.

Namun, untuk menembus pangsa pasar hotel berbintang tidak semulus yang diimpikan, beberapa kali pensil gaul produksinya ditolak dengan berbagai macam alasan. Selain itu, ia juga pernah harus rela menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kepastian produknya diterima dari manajemen hotel.

“Pernah saya harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kepastian dari manajemen salah satu hotel berbintang dan saya nyaris putus asa,” kenangnya.

Pengalaman lainnya, yakni dirinya juga pernah dikemplang oleh mitra kerja yang mengambil barang untuk dijual kembali, tetapi tidak pernah ada hasilnya dan barang yang telah dikirim tersebut tidak kembali.

Meskipun beberapa kali mengalami kerugian baik materi maupun moril, namun hal itu dianggap sebagai suatu pelajaran dalam berbisnis. “Artinya, dari situ ia belajar bagaimana caranya agar ke depan tidak tertipu atau merugi lagi,” imbuhnya.

Purwanto menjelaskan, untuk mencukupi kebutuhan buah biji nyamplung yang digunakan untuk salah satu bahan baku pembuatan pensil gaul, dirinya harus mencari hingga wilayah Yogyakarta. Karena , di wilayah tersebut bahan baku tersebut masih tersedia cukup banyak.

Sedangkan, bahan baku dari sekitar tempat tinggalnya tersebut masih dianggap kurang banyak. “ Kalau untuk bahan baku kain perca, saya mengambil dari sejumlah pengusaha konveksi atau tukang jahit yang ada di sekitaran Borobudur ini,” ujarnya.

Dirinya juga menggunakan bahan-bahan yang tidak berbahaya bagi para konsumennya, terutama bagi kalangan anak-anak dengan menggunakan bahan-bahan pewarna alami. Untuk warna coklat menggunakan kayu jati, kayu sonokeling untuk pewarna kuning dan warna putih diambilkan dari pohon damar.

Selain itu, untuk menggurangi sampah plastik, dirinya juga membungkus hasil karyanya tersebut menggunakan pembungkus dari kertas atau tas yang terbuat dari kertas. Hal itu dikarenakan, calon konsumennya terutama wisatawan asing lebih senang menggunakan pembungkus dari kertas.

Ia mengungkapkan, saat terjadi bencana alam seperti erupsi Gunung Merapi yang terjadi beberapa tahun lalu, pemasukan dari usahanya juga mengalami sedikit penurunan. Hal itu disebabkan, kunjungan wisatawan asing ke sejumlah daerah yang menjadi daerah pemasaran karya-karyanya juga mengalami penurunan.

“Kalau isu-isu bahaya terorisme di beberapa daerah di Indonesia, tidak begitu mempengaruhi pemasaran ,” ujarnya.

Yon