blank

blank

MANUSIA dilahirkan sudah memiliki “stempel-awal” dan nanti akan berperan sebagai apa dalam kehidupan ini. Orang Jawa membagi manusia dalam tiga “trah” yaitu: Pandhita, Ratu, dan Kawula. Seseorang itu nantinya akan kebagian peran sebagai apa, dapat dilihat dari kehidupan masa kanak-kanaknya.

Trah Pandhita: Tandanya sejak usia kanak-kanak, anak itu sering mengalami peristiwa metafisis, misalnya merasa mendatangi suatu tempat, padahal dia baru pertama kali mendatanginya (dejavu?), berbicara tidak sengaja namun kemudian benar-benar terjadi, pintar mengobati secara alamiah dan impiannya sering menjadi kenyataan.

Yang disebut trah Pandhita itu bukan hanya spiritualis atau para suhu saja. Orang yang mencari nafkah melalui keilmuannya, misalnya dosen, guru, trainer, bahkan dukun sekalipun bisa masuk dalam kategori pandhita, dengan catatan dia memiliki sifat menjaga, memberi, dan dari sisi kemanusiaan mudah tersentuh.

Kelemahan tipe pandhita ini kurang atau bahkan tidak memiliki jiwa bisnis. Solusinya, tipe ini sebaiknya berperan sebagai investor, dan yang menjalankan bisnisnya dari kalangan kawula.

Trah Ratu: Anak tersebut memiliki karisma dan wibawa secara alamiah. Ke mana pun dia pergi selalu diikuti teman-teman sebayanya bahkan termasuk juga teman-teman yang lebih dewasa usianya. Ketika dia memerintah pun dipatuhi.

Intinya pada usia dini itu dia sudah memiliki “anak buah” yang prosesnya almiah, dan bukan karena pengaruh materi (uang) atau makanan.

Trah Kawula: Anak yang memiliki trah ini, tanda-tandanya dalam pergaulan sehari-hari dengan sesama temannya, dia lebih sering diposisikan sebagai “anak buah” yang tugasnya bagian yang disuruh-suruh. Dan anak itu melakukan perintah itu dengan senang hati.

Bagi Tugas

Konsep ini bukan berarti membagi kelas dalam pengertian “derajat” atau keunggulan sebagai sesama, melainkan lebih kepada “bagi tugas” dalam kehidupan.

Ibarat sebuah perusahaan, secara alamiah ada yang berperan sebagai bos atau pimpinan yang mengatur, ada karyawan yang bekerja, ada Satpam yang  menjaga keamanan para pekerja, dan ada juga spiritualis yang berdoa untuk ketenteraman, keselamatan dan keberkahan mereka yang bekerja.

Nah, apakah trah atau cap ini bisa diubah? Ada keyakinan, trah itu sudah ada catatan di langit.

Kalau dalam konsep tradisional bahwa antara nasip dengan takdir itu berbeda. Nasip, dimaknai sebagai  ketentuan Tuhan yang bisa dirubah dengan usaha, sedangkan takdir tidak dapat diubah. Dalam istilah agama, takdir dibagi  dua. Mubram, yang mutlak tidak dapat diubah, dan muallaq, yang bisa dirubah melalui doa atau usaha.

Karena itu, orang yang ahli bertapa (riyadhah), jika keinginannya terkabul, maka keturunannya memiliki bakat dibidang metafisika layaknya leluhurnya. Namun, untuk itu dia harus mengasah dirinya.

Jika tidak, maka “yoni”-nya bisa redup atau bahkan padam. Artinya, walau dia itu trahing kusuma rembesing madu, bisa saja dia kalah dengan anak orang biasa yang rajin menempa dirinya.

Misalnya, di Pati dikenal tokoh Saridin atau biasa dipanggil Syeh Jangkung, yang pernah berguru kepada Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus itu dari kalangan orang biasa. Namun karena tekatnya kuat dalam mengolah diri, dia pun kemudian menjadi tokoh sakti.

Sebaliknya, banyak orang yang punya trah bagus, tapi dalam kehidupan prestasinya biasa-biasa saja, disebabkan dia tidak menjalani lelaku batin.

Berbeda dengan Soeharto, misalnya, Presiden kedua Republik Indonesia ini anak dari wanita desa bernama Sukirah, namun karena kuatnya laku prihatin yang dijalani Sang Ibu, dan Pak Harto juga sejak remaja rajin menjalani laku prihatin, maka  derajatnya pun terjunjung.

Nah, kalau empu atau seniman masuk kategori yang mana? Kedua profesi ini harus dilihat dulu pribadinya. Yaitu, bagian mana yang lebih dominan padanya. Karena banyak seniman yang juga sekaligus pengusaha, bahkan ada juga yang merangkap sebagai pelaku metafisika.

Bagaimana dengan petani? Jika dia itu pemilik lahan dan tidak dimodali orang lain, maka dia termasuk dalam kelompok ratu, karena dia berkuasa penuh atas lahannya, sedangkan buruh tani masuk dalam kelompok kawula.

Para entertainer, magician atau pesulap, masuk kelompok ratu, karena dia memainkan profesinya dengan kemampuan teknik dan skill murninya. Bagaimana dengan artis?

Jika aktingnya bagus (pemain watak) intelektual, dia termasuk kelompok Ratu, namun jika hanya bermodal tampang, agak sulit menjawabnya, karena dia juga tidak termasuk ketiga kelompok: Pandhita, Ratu, maupun Kawula.

Bagaimana dengan politikus? Karena politikus itu pada umumnya kombinasi dua golongan. Yaitu, di hadapan pendukung atau pemilihnya dia masuk kelompok ratu, namun di hadapan ketua partainya, dia menjadi kawula.

Terapi 40 Hari

Kalau dalam tradisi Jawa – Islam, untuk laku junjung derajat layaknya mengubah “ulat menjadi kupu” itu dilakukan dengan riyadhah atau laku batin matang-puluh  mengolah batin minimal 40 hari dengan menjaga diri mencegah perilaku atau kebiasaan buruk. Dan pada saat bersamaan dia memperbanyak melakukan kebajikan.

Menurut para ahli hikmah dan para sesepuh, menjalankan laku itu diibaratkan sedang ngenthung (menjadi kepompong). Bertapa dalam gua belatung yang mampu mengubah yang semula ulat gatal dan “menjijikkan” berubah menjadi kupu yang indah, bahkan bisa terbang tinggi.

Menurut para ahli hikmah, seseorang yang zuhud selama  40 hari, insya Allah dapat ilmu laduni.  Selama 40 hari tidak makan haram, mendapatkan hikmah, dan  40 hari ikhlas beramal, mendapat cahaya hati.

Jika hal itu dilakukan, banyak hikmah yang didapatkan. Karena upaya mengekang hawa nafsu untuk memperbaiki diri itu lebih utama dibanding upaya mencari keramat atau kemasyhuran.

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati