blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 KEHIDUPAN ini sering diibaratkan bahtera di tengah samodra, menuju ke sebuah tujuan, sebutlah pelabuhan. Layaknya berada di tengah laut, bahtera pasti sesekali terasa tenang-nyaman, namun sesekali pasti diterpa angin, entah angin itu dari arah depan, belakang, atau samping.

Pada saat-saat semacam itu, yakni di saat sedang ada badai, kata kunci utama bagi semua orang yang berada di dalam bahtera adalah bahu-membahu saling bekerja sama, saling membantu menghadapi badai. Terlalu naïf kalau bahtera diterjang badai, tetapi ada saja orang yang berada di  bahtera itu justru menjadi komandan untuk  menyalah-salahkan siapa pun, nahkoda salah, tukang sekoci salah.

Jangankan perjalanan di laut, di daratan pun tidak mustahil perjalanan itu menghadapi hambatan, apa pun bentuk hambatan itu. Itulah yang disebut sarik dalan  yakni bebendu, hambatan, bahkan bahaya atau ancaman; dan untuk mengingatkan  semua pihak, leluhur Jawa mengajarkan sebuah  paribasan (peribahasa) terkait hal itu, bunyinya: Sarik dalan nyandhung watang.

Konteks Sekarang

Perjalanan kehidupan sebagaimana disebut-sebut di atas, perlu dimaknai secara lebih luas, khususnya terkait dengan perjalanan kehidupan bernegara dan berbangsa yang di dalamnya ada seribu satu pembagian kekuasaan dan peran.

Baca Juga: Wani Angas

Kehidupan bernegara dan berbangsa dalam konteks Republik Indonesia berada di bawah pimpinan Presiden; tetapi secara konstitusional pemerintahan Presiden dikontrol namun juga ditopang  oleh sejumlah lembaga (tinggi) negara.

Dalam menjalankan roda pemerintahan inilah Presiden diingatkan lewat paribasan Sarik dalan nyandhung watang tadi, yakni hati-hatilah, perjalanan pemerintahan tidak pernah tidak akan sepi dari adanya perkara sing angel sarta bebayani.  

Inilah arti dan ajaran paribasan itu, yaitu siapa pun yang berada dalam roda pemerintahan, terutama presiden, hendaklah selalu menyadari akan adanya perkara yang begitu sulit dan berbahaya; perjalanannya diganggu, masih lagi ada ranjau-ranjau di sana-sini sengaja dipasang agar ada yang tersandung.

Bagaikan bahtera tadi, dapat terjadi tiba-tiba diterjang oleh badai yang ganas-kuat yang tentu saja membawa serta kesulitan dan bahaya; namun dalam kondisi seperti itu mungkin saja justru ada orang memasang watang, yaitu palang-palang, agar ada orang terantuk kalau tidak hati-hati.

Covid-19

Covid 19 tentu saja menjadi salah satu contoh menarik terkait sarik dalan nyandung watang itu. Banyak sekali pihak yang tergerak hatinya untuk – di bawah komando Presiden – berupaya dan membantu dengan berbagai kemampuan yang dimiliki; namun begitu ada saja lho yang pasang watang di mana-mana.

Apa saja watang yang dipasang itu? Macam-macam, mulai dari kata-kata sampai tindakan; mulai dari cibiran sampai tuduhan sarkastis. Kepada siapa watang-watang itu dipasang dengan harapan agar ada yang tersandung? Kepada siapa saja.

RUU HIP yang sudah dinyatakan tidak berlanjut pun di sana-sini masih dijadikan isu seolah-olah belum selesai; dan lagi-lagi siapa pun hendaknya berhati-hati untuk menanggapinya, jangan justru menjadi Sarik dalan nyandung watang secara baru.

Mari Move On

Ada penggalan lagu dangdut yang saya hafal hanya pada kata ini saja: teganya…teganya;  dan kata-kata itu tertuju kepada orang yang suka pasang watang. Kenapa Anda tega berbuat begitu pada saat ada “badai?” Marilah move on menatap masa depan dengan semangat yang sama: “Badai pasti berlalu.”

Letak bahaya dalam konteks Sarik dalan nyandhung watang sebenarnya ada pada mereka yang secara sengaja pasang watang tadi. Artinya, tidak mustahil, orang yang memasang perangkap justru akan terperangkap sendiri; orang yang suka pasang ranjau bisa jadi akan terkena ranjaunya sendiri. Maka dari itu, marilah move on, badai akan berlalu.

Kahlil Gibran (dalam Sang Nabi) memberi motivasi untuk move on sebagai berikut:

Salah seorang tetua kota datang kemudian

Memohon padanya suatu uraian

Masalah kebaikan serta kejahatan,

Dan memperoleh jawaban:

Tentang kebaikan manusia akan bisa bicara,

Namun tidak mengenai kejahatannya.

Sebab pada kejahatan itu, selain kebaikan jua

Yang tersisa oleh oleh lapar dan hausnya sendiri?

Sebenarnya, jika kebaikan itu menanggung kelaparan

Dia mencari makanan walau sampai ke lorong gelap pun.

Dan pabila dahaga, dia akan minum, walau yang direguknya air beracun.

Engkau benar, pabila engkau satu dengan dirimu.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)