blank
Foto ilustrasi, saat tenaga kesehatan mulai mengenakan pita hitam sebab ada rekan sekerja yang gugur.

Oleh : Hadi Priyanto

Karena tugas profesi dan kemanusiaan yang disandangnya, tenaga kesehatan di Jepara sampai saat ini masih tetap setia berada di garda terdepan dalam peperangan melawan Virus Corona Disease 2019.

Namun sebagai manusia, ada juga terbersit perasaan takut dan  cemas menghadapi peperangan melawan virus yang tak kasat mata ini. Apalagi empat  tenaga kesehatan telah gugur dalam peperangan ini dan sekitar 59 orang terkonfirmasi terpapar covid-19.

Baca Juga: Hendro Martojo: Pimpinan Daerah di Jepara Harus Awasi ‘Extra Ordinary Diseases’

Peraasaan cemas sebenarnya telah muncul menjelang lebaran, saat terjadi arus mudik para pekerja urban secara besar-besaran pasca meledaknya Covid-19 di Jakarta. Sementara ibu kota telah terjangkit dan menjadi daerah transmisi lokal di tanah air.

Dintara mereka yang pulang, pasti terdapat pemudik yang telah mejadi inang virus yang memiliki cara penyebaran yang cepat dan mudah ini. Sementara skrening di pintu masuk Jepara untuk melakukan pemeriksaan awal nyaris tidak dilakukan.

Kecemasan ini semakin bertambah, sebab dalam peperangan ini mereka tidak dilengkapi dengan zirah, pakaian pelindung  bagi prajurit jaman kuno ketika mereka masuk dalam sebuah peperangan.

Dalam peperangan melawan virus corona yang memiliki ukuran 120 – 160 nanometer,  sangat kecil hingga tidak terlihat dengan mikroskop cahaya ini semestinya mereka sejak awal dilindungi dengan zirah yang kemudian dikenal dengan nama Alat Pelindung Diri (APD). Baju  yang sulit didapat ini mestinya dapat melindungan tenaga kesehatan saat mereka melayani orang yang ditolongannya.

Tidak adanya road map atau peta jalan dalam percepatan penanganan covid-19 juga dinilai banyak kalangan sebagai sikap gagap penanganan covid 19 di Jepara. Ujungnya terjadi ketidakpaduan  langkah dalam  tindakan promotif,  preventif, curatif dan rehabilitatif atau langkah promosi kesehatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan.

Akibatnya angka covid-19 terus naik di Jepara sebab ada ketidakpaduan langkah para pemangku kepentingan. Ini menempatkan tenaga  kesehatan pada posisi yang sulit dan terjepit dalam peperangan. Sebab tenaga kesehatan  ditempatkan sebagai pemadam kebakaran, namun sumber apinya yang menjadi kewenangan pemangku kepentingan lain  tidak pernah dipadamkan.

Tempat Isolasi

Karena penanganan yang tidak integratif ini, kemudian Jepara sulit menghentikan laju peningkatan angka pesien covid-19. Ironisnya masih saja ada yang beranggapan bahwa penemuan kasus covid-19 baru adalah sebuah prestasi sebagai hasil rapid test masal agreasif yang dilakukan gugus tugas,

Hipotesis itu menjadi bisa menjadi pemahaman yang menyesatkan, jika kemudian tidak ada langkah lanjutan untuk memutus mata rantai penularan covid-19 tidak pernah dipikirkan.

Sebab karena keterbatasan daya tampung rumah sakit serta ketiadaan tempat isolasi yang representastif untuk merawat pasien dan sekaligus mengisolasi nya agar tidak menularkan kepada anggota keluarga yang lain, dilakukan isolasi mandiri di rumah penderita.

Padahal  sebagian besar rumah penderita  kurang memenuhi syarat. Akhirnya  tidak  bisa dihindari interksi dengan  anggota keluarga yang lain hingga tertular juga.

Karena itu para pemangku kepentingan  perlu memikirkan  karantina bersama yang lebih representatif untuk semua pasien covid positif meskipun tanpa gejala. Tujuannya untuk mencegah terbentuknya klaster baru berbasis keluarga dan tetangga dekat  seperti yang terjadi dibeberapa kasus.

Padahal untuk menemukan satu pasien positif covid-19 diperlukan tenaga, waktu dan biaya. Dari satu pasien covid-19 yang ditemukan kemudian dilakukan tracing kontak erat. Hasilnya bisa puluhan bahkan ada yang mencapai 100 orang. Kemudian dengan keterbatasannya, Puskesmas melakukan swab atau rapid test.

Di antara kontak erat ada juga tenaga kesehatan, dan  ada pula yang akhirnya benar-benar tertular. Banyaknya tenaga kesehatan yang terdampak sedikit banyak mempengaruhi pelayanan. Belum lagi energi untuk menyelesaikannya stigma negatif di masyarakat  hingga menolak pemakaman jenazah, menolak karantina dan menolak pemeriksaan.

Namun demikian, tenaga kesehatan tidak boleh berhenti di tengah-tengah peperangan walaupun raga dan jiwanya semakin lemah. Semoga profesionalitas dan panggilan kemanusiaan terus ada didada 2500 tenaga kesehatan yang ada di Jepara. Oleh karenanya perlu dilakukan usaha sungguh-sungguh  untuk menghentikan penyebaran virus ini.

Salah satu kunci adalah mendisiplinkan masyarakat terhadap protokol kesehatan melalui tindakan yang tegas. Karena itu perlu revisi terhadap Peraturan Bupati dengan memberikan sangsi yang lebih jelas dan tegas. Paraturan itu kemudian disosialisasikan dan ditegakkan bukan dibiarkan pada ranah yang abu-abu tanpa kepastian. Semoga. (*)

Hadi Priyanto, Wartawan SUARABARU.ID Jepara