blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 MATA pelajaran adalah subyek dan sebuah (atau lebih) ilmu pengetahuan yang tentunya dikuasai terutama oleh guru untuk secara bertahap dipelajari oleh dan bersama peserta didik, selama kurun waktu tertentu sebagaimana diatur.

Jam pembelajarannya sendiri disebut jam tatap muka, dihitung dengan frekuensinya dua kali tatap muka, atau tiga kali, bahkan ada yang empat kali tatap muka untuk setiap mata pelajaran itu,  di bawah satuan semester durasi waktunya.

Guru menguasai mata pelajaran yang diampunya tentulah suatu keniscayaan, kendati mungkin saja penguasaan itu , -selorohnya- , hanya menang satu malam saja. Idealnya guru mata pelajaran apa pun alangkah baiknya menguasai ilmu pengetahuan lainnya, lebih-lebih ilmu pengetahuan yang dapat “menyuburkan” mata pelajaran yang diampunya.

Bukan tidak mustahil, dan peserta didik pasti akan acung jempol,  ketika seorang guru mata pelajaran Pendidikan Agama memiliki penguasaan ilmu pengetahuan lain secara bagus; sehingga contoh-contohnya tepat mengena. Ketika menerangkan kuasa Allah Mahabesar  menciptakan dunia dan seisinya misalnya, guru Pendidikan Agama dapat mengaitkannya dengan menyebutkan urutan delapan planet besar mulai dari Merkurius sampai Uranus atau sebaliknya.

Sinergis

Maknanya, dewasa ini, sebutlah hari gini, seorang guru akan kepontal-pontal (Jawa) kalau hanya menguasai bahkan terkungkung satu mata pelajaran, apalagi tidak terbuka dan tidak mau untuk belajar ilmu pengetahuan lainnya.

Kemajuan zaman yang notebene identik dengan kemajuan teknologi, telah membuktikan betapa hampir semua yang dikerjakan oleh manusia di dunia ini akan berlangsung baik jika dilaksanakan secara sinergis atas berbagai hal.

Tidak ada hal yang tunggal, atau mampu berdiri sendiri seolah-olah tanpa memerlukan hal lain. Paling ideal untuk zaman now tentulah sinergitas atau pun keterpaduan, karena justru dengan saling terpadu itu siapa pun dan apa pun akan semakin diperkaya.

Tidak terkecuali mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik oleh para guru: Tidak ada satu mata pelajaran pun yang tidak membutuhkan sinergi dengan mata pelajaran lainnya, termasuk mata pelajaran Pendidikan Agama sekali pun.

Mata pelajaran ini justru sangat membutuhkan mata pelajaran lain bahkan bagaikan laboratorium atau alat peraganya sehingga Pendidikan Agama tidak semata-mata diterima secara abstrak belaka oleh peserta didik, melainkan nyata.

Dan mata pelajaran lain yang sangat memungkinan untuk menjadi laboratorium maupun alat peraga Pendidikan Agama adalah mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewargannegaraan (PPKn). Mengapa? Masing-masing guru agama (pengajar Pendidikan Agama sering dipanggil guru agama, bukan?), sebutlah guru agama Katolik, dengan sangat konkrit dapat mengait-eratkan semua materi pembelajaran agama Katolik dengan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.

Ketika guru menerangkan Sepuluh Perintah Allah, sebut sejak mulai perintah pertama “Janganlah menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu;” sang guru agama Katolik itu dapat sangat leluasa mengait-eratkan berbakti dan mencintai Tuhan Allah sepenuhnya,  seraya menerapkan sila-sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Tak Terdegradasi

Dengan cara memadukan seperti itu, materi agama tidak terdegradasi sedikit pun, bahkan peserta didik dapat secara langsung memahami dan memraktikkan bagaimana berbakti dan mencintai Tuhan Allah bersama teman-teman sekelas dan se sekolahannya.

Dalam konteks menemukan sinergitas yang tepat inilah, guru agama memiliki posisi sangat strategis untuk menjabarkan kandungan luhur agama ke dalam mata pelajaran apa pun. Jangankan sinergi dengan mata pelajaran PPKn sebagaimana contoh di atas telah menegaskan :kemudahannya,” bahkan dengan mata pelajaran apa pun Pendidikan Agama pasti dapat disinergikan.

Allah adalah segala-galanya, dan segala-galanya itu datang dari Allah semata. Titik perpaduan atau sinerginya di situ; dan pasti dengan memadukan semacam itu tidak ada yang terdegradasi sedikit pun dari apa saja yang terkandung dalam Pendidikan Agama.

Di samping guru agama memiliki dan pegang peran strategis untuk sinergitas ini, memang harus diakui betapa guru agama harus selangkah lebih maju dibanding dengan guru-guru lainnya, terutama dalam hal meningkatkan kreativitasnya sebagai pengajar.

Memadukan hal-hal yang Illahi dengan hal-hal yang duniawi, atau hal-hal yang rohaniah dengan hal-hal yang jasmaniah, membutuhkan daya kreasi dan imajinasi prima bagi guru agama. Namun sesulit apa pun tantangan melakukan sinergi itu, jika tahapan awal sudah dapat dilalui, yakinlah tahapan lanjutan tinggal meneruskannya.

Apa yang dimaksud dengan tahapan awal sinergitas? Keberanian dalam kerendahan hati!

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)