blank
Tangkapan layar Biksu Wihara Mendut Kabupaten Magelang Bante Sri Pannyavaro Mahathera dalam acara "Doa Kebangsaan dan Kemanusiaan" terkait pandemi COVID-19 melalui video konferensi dan siaran langsung televisi, Kamis (14/5/2020). Antara

MAGELANG (SUARABARU.ID) – Di titik tengah Pendopo Padepokan Tjito Boedoyo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi, Gus Yusuf bercerita tentang sejumlah santri yang berat hati ketika harus tetap tinggal di pondok supaya tidak ikut-ikutan memperparah pandemi COVID-19.

Para pengasuh dan kiai pondok pesantren di Tegalrejo Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, tidak mudah mengambil keputusan terbaik untuk sekitar 1.000 di antara total 8.000 santri dan santriwati yang belum pulang ke daerah masing-masing agar tetap tinggal.

Kiai Haji Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) memimpin Ponpes Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, salah satu tempat bagi K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) muda berguru kepada pendirinya, K.H. Chudlori.

Para santri di berbagai ponpes di Tegalrejo berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang waktu itu telah menjadi daerah gawat virus corona jenis baru itu.

Begitu mendengar pengumuman para santri harus tetap tinggal di ponpes, beberapa di antara mereka ada yang melempar-lempar ember sebagai tanda kecewa. Bisa dipahami hal tersebut sebagai ungkapan emosional karena usia mereka yang relatif masih remaja.

Para pengasuh dan petinggi ponpes dengan sabar dan tawakal menyentuh nurani para santri untuk memperteguh diri dan menetapkan hati tidak mudik, supaya tidak menghadapi kesulitan atau bahkan memperparah situasi pandemi.

Tentu saja para santri bergulat dengan ego untuk sampai kepada ketetapan hati bertahan di pondok dan menjadi bagian nilai penting dari keterlibatan bersama menangani pandemi.

Kesadaran pribadi

Pertimbangan pihak ponpes bukan sekadar pelajaran agama dan khususnya Al Quran yang digeluti para santri selama ini menjadi terputus cukup lama, karena mereka bisa berbulan-bulan di rumah dengan ketidakpastian kapan rampung pandemi sehingga tidak bisa segera kembali ke pondok.

Akan tetapi, juga supaya hadir kesadaran pribadi mulia setiap santri akan keterlibatan mereka dalam menahan laju penularan dan memutus mata rantai penyebaran virus.

Terlebih Ponpes API Tegalrejo sebagai barometer, terutama di Magelang dan sekitarnya, kehidupan pondok dan santrinya dalam menyikapi berbagai perkembangan keadaan terkini, sebagaimana saat ini terkait dengan pandemi COVID-19.

“Akhirnya bisa memahami. Sampai sekarang para santri tetap waras semua, berjamaah ‘ngaji’ (mengaji). Kami ingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan, tidak ada yang menjenguk. Sebelum wudu harus cuci tangan dulu dengan sabun. Kami siapkan,” katanya siang itu.

Kisah Gus Yusuf lainnya ketika pertemuan terbatas antara lain dengan budayawan Magelang Sutanto Mendut, seniman kawasan Gunung Merapi Ismanto, dan pimpinan padepokan seni budaya itu, Sitras Anjilin serta sejumlah seniman petani setempat lainnya, menyangkut keputusan para kiai di kawasan itu melakukan penundaan halalbihalal masyarakat saat Lebaran mendatang, termasuk peniadaan tradisi tahlilan serta selawatan.

Demikian juga soal pertanyaan banyak warga kepada dirinya tentang keharusan shalat berjamaah di berbagai mushalla dan masjid desa-desa di tengah suasana pandemi yang telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban meninggal dunia, warga terduga virus, dan pasien positif COVID-19 di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Perbaharui wawasan

Pandemi COVID-19 memang tidak hanya menyerang kesehatan manusia, tetapi juga berdampak terhadap semua aspek kehidupan, termasuk keagamaan. Pandemi juga menuntut manusia dengan segala kekuatan dan kebersamaannya terus-menerus belajar dan memperbarui pengetahuan yang telah direguk selama ini.

“Dengan COVID-19, wawasan agama dan sosial harus di-upgrade (diperbarui). Bagaimana pun agama ini betul-betul agama kemanusiaan. Agama untuk manusia bukan untuk Tuhan. Penjelasannya sulit, pelan-pelan disampaikan. Mencegah kerusakan didahulukan dari pada maslahat,” kata dia.

Sitras Anjilin juga mengemukakan betapa tidak mudah memberikan pemahaman kepada warga desa untuk disiplin dalam menghadapi pandemi, meski tetap mengerjakan pertanian untuk penghidupan sehari-hari dan menghidupi nilai-nilai sosial budaya desa.

Terlebih, pademi virus itu dipandangnya bakal melahirkan cara hidup baru, termasuk berupa bangunan nilai budaya baru. Oleh karena pandemi, sejumlah identitas tradisi budaya warga desa berupa berkumpul dan bersalaman, harus dihindari karena menjadi sebagian penyebab utama penularan virus.

Berbagai kerumitan dihadapi Sitras dalam menyuarakan kepada warga desa agar waspada pandemi, juga ditegaskan Gus Yusuf dengan keadaan disaksikan warga desa ketika ada tetangga meninggal dunia –meskipun bukan atau belum tentu karena virus– di mana proses pemakaman harus sesuai protokol penanganan COVID-19. Warga desa terkesan baru sadar pandemi COVID-19 ketika di antara mereka sudah tersentuh.

Sebagaimana para santri akhirnya mampu melepas ego mudik karena sadar akan bahaya dan dampak luas virus, begitu pula dengan Sitras menyikapi pandemi dengan intuisi terjadinya perubahan tradisi berkesenian dan kebudayaan yang ingin dinikmatinya pascapandemi.

Saling terhubung

Pademi COVID-19 antara lain membuat orang berusaha tetap saling terhubung. Mereka yang terutama kalangan manusia modern, memanfaatkan kemajuan teknologi informatika. Hal demikian dengan mudah diraih kalangan warga perkotaan dan mereka yang telah mengakrabi teknologi modern dan jagat digital.

Berbagai kesempatan perjumpaan secara virtual dalam beragam platform nyaris menjadi peristiwa lazim, termasuk dalam konten yang tidak lepas dari nuansa tradisi budaya masyarakat selama ini.

Performa “Eksterior Halalbihalal” dengan berbagai properti pementasan disajikan secara digital dilakukan seniman Magelang, Nabila Rifany, dengan dukungan sejumlah seniman lainnya di Studio Mendut Kabupaten Magelang, beberapa waktu lalu. Performa itu untuk menyuarakan tentang jarak budaya yang seakan tak pernah terbersit dalam menyikapi pandemi COVID-19.

Hal terkait dengan jagat virtual yang mengemuka saat pandemi ini, tentu saja harus bisa dimaklumi jika menjadikan gagap sebagian besar warga desa atau kalangan generasi tua yang tidak melek teknologi digital.

Pegiat budaya Yogyakarta Toto Rahardjo pun terkesan merasakan hal itu ketika kesulitan menghadirkan narasumber dari kalangan petani desa dan gunung di Komunitas Lima Gunung untuk acara berbagi pengalaman serta informasi melalui kanal “IG Live”-nya supaya publik lebih luas beroleh kelengkapan narasi batin desa dan pertanian di tengah pandemi.

“Saya menikmati perubahan. Pandemi ini fase hidup, sekarang fase bumi, zaman. Tradisi yang ada harus diubah dengan cepat. Ini kesempatan berubah dan menikmati perubahan. Karena zamannya sekarang untuk anak-anak muda, kita (orang tua, red.) numpang saja,” ucap Sitras.

Sitras meneruskan kepemimpinan pedepokan berbasis petani Gunung Merapi, didirikan pada 1937 oleh bapaknya, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990), di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan berbagai tradisi seni-budaya sesuai kalender Jawa yang hingga saat ini terus dihidupi.

Bakal lahirnya kehidupan normal baru sebagai dampak pandemi COVID-19 dikemukakan sejumlah kalangan, termasuk Presiden Joko Widodo, sebagai suatu keniscayaan.

Tentu saja kehidupan normal baru itu belum terlihat jelas wujudnya karena saat ini dunia, pemerintah, berbagai kalangan dan elemen, atau bahkan semua orang masih menempuh jalan berliku dengan berbagai blundernya dalam mengatasi penyebaran COVID-19 dan tantangan dampak pandemi.

Proses manusia harus menempuh kegetiran atas serangan virus dan harapan mencapai kehidupan normal baru itu, seakan ditemukan Ketua DPR Puan Maharani dalam warisan penyair sufi, Jalaluddin Rumi (1207-1273).

Karya pujangga dunia yang lahir di Afghanistan dan meninggal di Turki itu, “Pukulan dari Langit”, dibacakan Puan dalam acara “Doa Kebangsaan dan Kemanusiaan” melalui video konferensi dan disiarkan langsung melalui televisi pada Kamis (14/5), antara lain diikuti Presiden Jokowi, Wapres K.H. Ma’ruf Amin, para pemuka lintas agama, serta pejabat tinggi negara lainnya.

“Cepatlah lepaskan lehermu dari rantai emas, yaitu dunia ini, dan terimalah tamparan dari ‘Rabb’ (Rabi atau Tuhan, red.). Para nabi telah menerima pukulan seperti itu di leher mereka, karenanya kepala mereka tegak,” demikian satu di antara tujuh bait karya pujangga itu, yang menyiratkan keharusan manusia melepas ego untuk menghadapi tantangan agar mencapai kehidupan baru.

Dari Istana Merdeka Jakarta pada Jumat (15/5), Presiden menegaskan bahwa hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah. Upaya penanganan terhadap pandemi virus dan pencegahan penyebarannya terus ditempuh.

Badan PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa COVID-19 tetap berpotensi tinggal di tengah masyarakat.

Oleh karenanya, masyarakat harus tetap optimistis, produktif, aman, dan nyaman, terutama melalui kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

“Artinya kita harus berdampingan hidup dengan COVID-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan COVID-19,” katanya.

Menghadapi pandemi memang butuh kekuatan setiap pribadi manusia dan daya hidup komunalnya dalam meruntuhkan konsepsi individu tentang diri sendiri.

Mereka yang tak memahaminya atau mungkin berkepala batu dengan tak bersiasat budaya terhadap tradisi lama ketika masa pandemi, justru riskan jatuh diterjang badai COVID-19.

Yang mesti dikerjakan manusia untuk berdamai dengan pandemi, barangkali memang meruntuhkan ego lalu meniti secara teliti dengan disiplin protokol kesehatan.

Supaya pendaran kehidupan normal baru yang tampak saat virus berkobar itu sungguh-sungguh menjadi cahaya yang bisa digapai pascapandemi.*

Ant/Muha

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini