blank

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME.

blankBeberapa waktu yang lalu seorang sahabat mengungkap keluh kesahnya terkait Covid-19 yang hingga hari ini belum juga usai. Mungkin karena saking bingungnya, dia sempat “menggugat” doa dan harapan yang banyak dilangitkan sebelum Ramadan menjelang.

Apalagi jika bukan rangkaian “Ramadan tiba, Covid-19 reda”. Ini fenomena yang dialami oleh teman saya, bisa jadi juga dialami oleh kebanyakan kita yang berasumsi bahwa Allah tidak lagi mendengar doa kita. Lebih parahnya lagi,   Allah meninggalkan kita sendiri dalam “pertempuran” ini.

Kita semua sepakat bahwa Covid-19 adalah musibah yang diturunkan Allah. Musibah berfungsi untuk menguji kualitas keimanan kita. Memang betul jika iman adalah urusan hati, tetapi iman juga harus punya dampak pada perilaku lahiriah kita. Dan iman terhadap ketetapan Allah, baik ataupun buruk, merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip beragama kita. Lalu apa hubungannya dengan Covid-19?.

Sebelum menjawab, kita akan bersama menengok kembali cerita tentang Nabi Ibrahim AS  yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya dari ayat 51 – 73. Tapi kali ini kita hanya akan fokus dengan cerita ketika beliau dibakar oleh seorang raja bernama Numrudz, atau tepatnya pada ayat 69. Allah berfirman : “Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!”.

Dalam bukunya Al-Tafsir Al-Munir, Dr. Wahbah Zuhaily menuliskan sebuah dialog menarik, yang terjadi antara Malaikat Jibril dan Nabi Ibrahim AS. Tepatnya saat Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api. Cerita ini diriwayatkan oleh Sahabat Ubay bin Ka’ab RA. Disebutkan bahwa Jibril bertanya dan menawarkan bantuan kepada Nabi Ibrahim.

Tetapi Nabi Ibrahim menjawab: “Jika kepadamu (bantuanmu) aku tidak butuh”. Kalimat ini terucap karena rasa percaya kepada Allah yang begitu tinggi, dan Nabi Ibrahim tahu betul kepada siapa dia harus memohon. Hingga akhirnya, saat Jibril meminta Nabi Ibrahim untuk memohon kepada Allah, Nabi IBrahim berkata: “Aku tak perlu meminta kepada Allah yang melihat kondisiku”.

Syaikh Ali Gooma, seorang ulama kenamaan asal Mesir menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim berkata: “Aku tidak pernah merasakan kenikmatan hidup seperti ketika aku dibakar selama 40 hari”. Ya, bagi Nabi Ibrahim api yang membakar adalah kenikmatan tiada tara. Meski para penonton dan yang membakar punya pendapat yang berbeda.

Bila boleh dianalogikan, kisah api yang membakar mirip dengan musibah yang kita alami saat ini. Tapi mungkin cara menyikapinya yang berbeda. Nabi Ibrahim merubah persepsinya terhadap musibah sehingga merasakan kenyamanan dan kenikmatan tiada tara.

Bayangkan, selama 40 hari dalam balutan api. Sementara kita, masih belum bisa beradaptasi dengan musibah yang menimpa. Dan malah mengeluh bahkan protes saat musibah tak kunjung reda.

Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim).

Apapun yang digariskan oleh Allah adalah baik dan membawa kebaikan bagi kita. Jika masih terasa belum nyaman dengan yang diberikan, mungkin kita perlu merubah persepsi kita terhadap musibah yang mendera. Karenanya, jika hingga hari ini musibah ini belum juga diangkat, bisa jadi itu isyarat dari Allah agar kita terbiasa dengan “Living The New Normal”. Tentunya dengan tanpa mengabaikan protokol yang diwajibkan. 

Penulis adalah Ketua Komite Syari’ah RSI Sultan Hadlirin Jepara