blank
Pemandian Mangli pada masa lalu, alami, bening, sejuk di bawah rindang pohon beringin. Foto: Wonosobo Jadul

Oleh Widiyartono R.

blankKEMBALI pada kisah Wonosobo masa lalu. Masa kanak-kanak tahun 70-an, masa paling bahagia bagi mereka yang lahir tahun 60-an, dan menikmati masa remaja tahun 80-an. Maka ada yang menyebut mereka yang mengalami masa remaja tahun 80-an adalah generasi paling bahagia. Mengapa tidak? Mereka mengenal telepon onthel tetapi juga masih dan ponsel pintar. Mereka menulis dengan pinsil, lalu kenal mesin ketik, dan kini masih bisa bekerja dengan komputer.

Nah, kebahagiaan anak-anak yang lahir tahun 60-an, khususnya anak-anak Wonosobo, itulah yang menjadi bagian lanjutan cerita kita. Dalam tulisan sebelumnya, saya ceritakan bagaimana anak-anak dulu menciptakan permainan, alat permainan, dan tempat bermainnya sendiri. Mereka anak-anak yang penuh kreativitas dan kecerdasan yang sangat genuine.

BACA JUGA : Anak-Anak Wonosobo Dulu Suka Berjemur, Ini Ceritanya…

Wonosobo pada masa lalu memang dikenal sebagai kota dingin yang dikeliling gunung dan pegunungan. Tetapi yang mesti dipahami, soal air bersih sangatlah memprihatinkan. Memang sudah ada leiding atau ledheng atau sekarang air dari PDAM. Tetapi tidak semua rumah punya jaringannya, dan mengalirnya pun tidak jelas. Sering mampetnya.

Maka untuk urusan mandi, cuci, dan keperluan BAB ya tidak banyak yang melakukannya di rumah. Meski di kota, tak banyak pula yang punya jamban di rumah. Maka, sungai-sungai yang mengalir di dalam kota Wonosobo menjadi tempat BAB yang paling nyaman. Saya juga punya spot-spot khusus untuk itu di daerah Jalan Bhayangkara, karena di sana dua sisi di kiri dan kanan jalan ada aliran sungai. Setidaknya ada empat spot untuk berhajat….. hahahahahahaha.

Pemandian Alam Mangli

Seperti saya sebut di muka, masalah air bersih merupakan salah satu persoalan Wonosobo pada masa lalu. Maka anak-anak pun punya cara sendiri untuk bersenang-senang, bermandi-mandi suka ria. Mereka punya banyak tempat untuk melampiaskan kebahagiaan dengan ciblon atau jeguran.

Mangli, sebuah telaga kecil dengan mata air yang sangat besar, merupakan salah satu tempat favorit. Mangli ada pemandian alam yang sangat indah, mereka yang datang ke sana untuk berenang bisa menikmati suasana berenang di dalam telaga. Pinggiran kolam besar itu adalah bebatuan, hanya sedikit ada bangunan dari semen dan bangunan kayu untuk ganti pakaian.

Hanya saja untuk mandi di sini memang harus bayar, seingat saya tarifnya lima rupiah. Sebuah harga yang cukup tinggi bagi anak-anak pada masa itu. Tetapi karena pelajaran olahraga juga mewajibkan renang, maka sesekali bersama-sama teman sekolah mandi bersama di sana. Setelah itu, jajan krupuk mi di warung yang ada di depan pemandian Mangli.

Mangli adalah salah satu kenangan terindah pada masa kecil, meski saya tidak bisa berenang. Tetapi bagi saya, kini Mangli adalah kekecewaan terbesar, karena tempat itu bukan lagi milik publik, setelah dikuasai perusahaan air kemasan, yang kemudian menggantinya dengan kolam renang di depan pemandian alam asri Mangli. Kok bisa-bisanya dulu pemda melepas aset itu. Bukankan UUD 45 menyebut ”bumiair, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sekarang untuk kemakmuran siapa?

BACA JUGA Kebahagiaan Anak-Anak Wonosobo di Bulan Puasa

Ada sebuah kenangan tak terlupakan di Mangli, saat ujian praktik olahraga semasa SMA tahun 81. Saya yang tidak bisa berenang dikumpulkan dengan beberapa teman lain, kemudian syaratnya yang penting loncat ke air. Kebetulan di samping saya seorang teman perempuan. Begitu loncat di kedalaman air yang cuma sekitar satu setengah meter, teman perempuan itu tampak panik dan nyaris tenggelam. Tiba-tiba dia mendekap tubuh saya, kemudian dia bisa berdiri. Tetapi penuh rasa malu.

Sebuah keindahan yang tidak mungkin dijumpai anak-anak sekarang. Apalagi teman-teman perempuan sekarang kalau berenang, pakaiannya yang lebih rapat. Waktu itu masih…… yaaaaa. (Ehhhh, bulan puasa nggak boleh keterusan).

Semagung – Caranggantung

Tempat mandi suka-ria selain Mangli adalah aliran Sungai Semagung. Anak-anak berkumpul, kemudian berangkat bersama-sama, jalan kaki menuju Semagung. Persis sebelum jembatan, belok kanan lalu turun ke aliran sungai. Airnya bening, sehingga dasar sungainya kelihatan. Bermandianlah kami suka-ria sambil berenang-renangan.

blank
Aliran Sungai Semagung di daerah Wilayu kini jadi atrasi wisata tubing yang dikelola oleh Desa Wilayu. Foto: FB Wilayu Selomerto Wonosobo

Berbagai permainan pun diciptakan. Misalnya tangan yang menepuh air bisa menimbulkan bunyi seperti suara kendang. Kami pun main bersama-sama bagaikan rampak kendang tepukan air.

Aliran Sungai Semagung ini menuju arah selatan, dan bagi anak-anak, pencarian spot mandi pun terus dilakukan.

Maka, ditemukanlah aliran yang masih satu jalur dengan Semagung ini namanya Caranggantung. Sebuah nama yang romantis. Airnya memang tidak sebening Semagung, sudah mulai kecoklatan. Tetapi, di mana pun anak-anak pasti senang. Aliran sungainya juga lebih deras, dan banyak batu besar berwarna hitam di tengahnya.

Kalau sekarang, pasti kita menyebutnya sebuah spot yang instgramable. Kalau tahun 70-an sudah ada ponsel dan medsos, pastilah kegiatan kami mewarnai beranda FB dan instagram…. hahahahaha.

Yang menarik, jalan menuju Caranggantung ini melewat mata air bening dengan debit sangat besar bernama Tempurung. Anak-anak juga bisa mandi di kolam kecil bening di sana. Tetapi kemudian tergeser karena di situ dibangun pompa untuk menaikkan air, guna memenuhi kebutuhan air bersih warga kota wonosobo.

 

Kalianget

Pemandian Kalianget sudah sangat dikenal sejak dulu kala. Airnya tidak sekadar hangat, tetapi bahkan panas. Apalagi bila kita mandi di kamar-kamar yang tersedia, dengan bath tub untuk berendam. Airnya yang mengandung belerang bisa membangu menyembuhkan penyakit kulit.

Memang kalau yang di kamar mesti bayar. Dan, kami anak-anak mana mungkin bisa bayar. Apalagi kalau di kamar tidak bisa bersenang-senang sesua hati karena sempit. Maka pilihannya adalah tempat berendam di luar berupa kolam, dan digunakan secara massal serta gratis. Inilah pilihan kami.

Nikmat benar, air tidak sepanas yang di dalam kamar. Benar-benar hangat, dan kami menikmati berendam di sana, berenang-renang kecil.  Lagi-lagi, bersyukur untuk Wonosobo yang limpah air, termasuk air hangat ini. Meskipun waktu itu, tidak semua warganya bisa menikmati air bersih.

Kamar Bola

Namanya unik, kamar bola. Yang tentu pada masa kecil kami tidak pernah memikiran asal-usul nama itu.  Kamar bola ada suatu spot aliran sungai did alam kota yang berada persis di samping Taman Kartini. Nah, Taman Kartini ini juga punya cerita tersendiri, yang suatu saat akan kutulis.

blank
Bupati Wonosobo, Eko Purnomo bersama Dirut PT ICON+, Erwin Hidayat Abdullah dan Kepala Diskominfo, Eko Suryantoro berada di area Ides Cafe di Taman Kartini.. Di depan Taman Kartini ini dulu ada kamar bola. Foto: Muharno Zarka

Taman Kartini kini sudah berubah, sebelumnya di sana dibangun Gedung Sasana Bhakti, kemudian menjadi kantor Dinas Pariwisata, dan sekarang menjadi spot menarik, dan dipasangi wifi gratis.

Taman Kartini dulu juga disebut Kebon Rojo. Tetapi nama kamar bola yang saya masih meraba-raba. Apakah di situ dulu ada gedung besar untuk berdansa orang-orang Belanda? Karena saya menduga kamar bola merupakan terjemahan dari ball room, ruang atau aula besar yang biasanya digunakan untuk lantai dansa dan pesta-pesta. Mungkin karena itu, maka tempat tersebut bernama kamar bola.

Tetapi tempat anak-anak bermain bukan ruang dansa itu. Di samping Taman Kartini ada aliran sungai, dan tepat di sana ada sebuah gerojogan (sepeti sebuah pintu air yang menjadi gerojogan).

Nah di gerojogan inilah, surga bagi kami semua. Anak-anak yang punya keberanian biasa terjung dari atas, lalu byuuuuurrrrrr. Kamar bola adalah tempat mandi paling fafvorit bagi anak-anak (laki-laki) Wonosobo kala itu. Tempatnya tidak luas, tetapi entahlah, ini bisa menjadi tempat favorit.

Wonosobo memang dingin, tetapi pagi, siang (kalau liburan), sore kami jeguran di situ tidak mengenal rasa dingin.

Bahkan, ketika seorang Pak Lik saya dari Jakarta datang ke Wonosobo, dia mengajakku mandi di kamar bola, pagi-pagi subuh. Tentu dingin sekali waktu itu. Tetapi demi nostalgia Pak Lik, aku ikuti saja. Dan, dia begitu gembiranya mandi di kamar bola. Kalau umur aku dan Pak Lik selisih sekitar 15 tahunan, artinya, pada tahun 50-an semasa Pak Lik amsih anak-anak sudah menjadi Kamar Bola sebagai tempat yang sangat favorit. Sampai-sampai ketika dia sudah hidup di Jakarta dan punya keluarga di sana, saat pulang ke Wonosobo masih pingin mengenang mandi di kamar bola.

Dan, beruntungnya aku, setelah mandi di kamar bola pagi-pagi, lalu ditarktir makan gudeg yang buka sejak subuh di depan Toko Urip, di seberang stanplat (terminal) bus yang sekarang jadi Taman Plasa.

Ya, masa lalu itu indah. Masa lalu adalah cermin-cermin yang tak pernah bohong.

Widiyartono R, wartawan SUARABARU.ID, kelahiran Wonosobo.