blank

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc., M.E

Berbicara tentang menjalankan ibadah, umat Islam memiliki antusiasme yang sangat luar biasa. Diantara semangat luar biasa ini adalah antusias untuk mendatangi masjid, menjalankan ibadah umroh dan haji.

Beragam ibadah dijalankan dengan penuh semangat, masjid-masjid kita tak pernah sepi peminat, bahkan ketika ada anjuran untuk memindah ibadah ke rumah, masjid tetap ramai dikunjungi.

Akan tetapi, di saat yang sama, ketika kita melihat kondisi umat Islam terkait urusan muamalah, atau bagaimana interaksi mereka dengan sesama,  kita masih saja  menemukan pemandangan yang bertolak belakang dengan semangat ibadah umat Islam.

Masih sering kita mendengar perselisihan yang timbul karena amanah yang diciderai. Tipu muslihat dilakukan seorang muslim kepada sesamanya demi keuntungan duniawi bukan lagi fenomena langka.

Belum lagi perampasan hak-hak masyarakat miskin demi keuntungan dirinya sendiri dan masih banyak lagi cerita memprihatinkan lainnya yang memicu murka Allah.

Pernahkah kita bertanya, kelak saat berhadapan dengan Allah, saat kita diminta mempertanggungjawabkan umur yang kita pinjam, atas dasar apa Allah akan menghisab diri kita.

Apakah Allah akan menghitung secara teliti salat kita dan seberapa sering kita berjalan ke masjid. Kemudian memaafkan kecerobohan kita dalam bermuamalah kepada sesama?. Atau sebaliknya, Allah akan menghisab perilaku sosial kita habis-habisan, menghitung amanah yang kita tunaikan  dan memaafkan kecerobohan kita dalam beribadah kepada-Nya

*****

Suatu hari, Sayyidina Ali duduk bersama Rasulullah SAW, kemudian datang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah tentang apakah yang paling ringan dan paling berat dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab: “Yang paling ringan adalah membaca syahadat. Dan yang paling berat adalah amanat. Sesungguhnya orang yang tidak amanat, Allah tidak menerima salat, puasa dan zakatnya” (HR. Bazzar).

Jadi kelak, “kebersihan tangan”, kesucian mulut karena tak pernah memakan yang bukan hak kita dan menjaga hak-hak sesama adalah hal yang akan dihisab oleh Allah habis-habisan. Inilah kenapa seorang Muhammad Al-Ghazali, ulama kenamaan dari Mesir mengatakan bahwa ibadah yang disyariatkan dan dikategorikan sebagai pilar agama Islam bukanlah ritual kosong yang hampa nilai.

Senada, Al-Buthy juga menyatakan bahwa parameter penghitungan amal manusia bukanlah banyaknya ibadah, tetapi bagaimana muamalah kita dengan sesama (baca: kesalihan sosial). Dalam hal ini Al-Buthy menyatakan bahwa banyak sekali ayat yang memicu murka Allah dan ketika ditelaah penyebabnya adalah tidak adanya tolong-menolong antar sesama, amanah yang diterlantarkan dan juga masalah moral.

Hari ini, di bulan Ramadan, banyak di antara kita yang mempunyai antusis tinggi dalam beribadah, seperti salat wajib dan juga Tarawih. Kita juga mengetahui bahwa rasa lapar imbas puasa adalah cara Allah mendidik kita untuk merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita yang kekurangan.

Tetapi, apakah cukup hanya sekedar merasakan saja?. Tidak, buktinya adalah ada ibadah lanjutan yang harus juga ditunaikan. Yaitu zakat yang salah satu fungsi sosialnya adalah membiasakan diri untuk mau berbagi rejeki yang kita miliki kepada sesama.

Kondisi hari ini menjadi ujian nyata kualitas ibadah kita. Apakah kita akan mengulurkan tangan kepada sesama yang terdampak pandemi?. Atau kita masih sibuk dan memperdebatkan ibadah-ibadah yang berorientasi pada kesalihan individu semata.

Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME. Ketua Komite Syari’ah RSI Sultan Hadlirin Jepara.