blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

//… pada awalnya adalah kegembiraan// pada ujungnya adalah kegempitaan// pada pagi kita berpikir tentang bola// pada siang kita bersiap soal bola// pada petang kita bersua dengan bola// pada malam kita merenung tentang bola// pada dinihari bertamu di televisi kita// pada subuh terjaga mimpi-mimpi sepak bola// pada cinta ada bola// pada bola ada cinta…// (“Sajak Sepak Bola”)

TERLALU lama sepak bola meninggalkan manusia yang mengasihinya. Bukan lantaran jeda yang terjadwal rapi untuk putaran kompetisi demi kompetisi. Pandemi covid-19 menjauhkan secara frontal ingar bingar liga-liga dunia. Dan, kita pun “berpuasa” untuk sebuah perjalanan waktu yang tak jelas ujungnya: kapan harus mengakhiri lapar dan dahaga akan permainan yang menyedot girah dan membetot suksma ini.

“Begitu besar cinta, begitu singkat waktu, begitu besar kecewa, lalu tak ada hal selain menunggu pertandingan berikutnya, lalu bergembira lagi. Sepak bola adalah satu-satunya cinta yang tak bersyarat di dunia ini…”

Narasi reflektif yang melankolis itu disampaikan oleh Adriana, tokoh perempuan dalam novel Andrea Hirata, Sebelas Patriot yang melukiskan perbincangan intens di sebuah kafe di kompleks Stadion Santiago Bernabeu, Madrid.

Ya, Saudara-saudara, corona boleh jadi telah memorakporandakan sebagian mimpi kita tentang sepak bola. Kini seolah-olah acuh tak acuh apakah Liverpool tetap punya formulasi untuk mendapat trofi Liga Primer setelah 30 tahun menanti. Kita tak peduli apakah Juventus mampu meraih lagi scudetto di bawah tekanan pandemi. Kita persetankan, apakah Barcelona atau Real Marid yang berhak membawa pulang titel La Liga; juga semua kemungkinan tak terduga yang terusung dari liga-liga Eropa.

Manusia dan kemanusiaan lebih memahkota ketimbang risiko nyawa. Nurani jiwa, dan bukan hiruk-pikuk sepak bola yang diprioritaskan. Eksotika dan elemen-elemen ekspresi keindahan permainan telah terbanting oleh realitas kecemasan tentang kematian, tentang hidup dan kehidupan.

Siapa pun berhati besar untuk memilih: betapa sepak bola telah menjadi katarsis hidup dan menyimpan misteri yang menggugah rasa kepenasaran dari waktu ke waktu, hingga hari-hari ini ketika orang lebih berpikir tentang keamanan masa depan.

Kecemasan ditinggal pergi dalam keabadian oleh orang-orang tercinta jauh lebih penting ketimbang kegundahan karena menunggu jadwal liga yang tak tertuntaskan. Cinta terabadikan oleh ketersayatan rasa kemanusiaan, dan sepak bola masih punya jalan panjang di depan. Cinta terprasastikan oleh batas kematian, dan sepak bola masih memiliki formulasi waktu kapan yang tepat kembali digulirkan.

*   *   *

SEPAK bola membelajari kita tentang arti mencintai. Fans club di mana-mana membentuk ketidakteraturan dalam cinta, yang buta oleh kenyataan, yang buta oleh ruang waktu, yang menjadi brutal oleh kemenangan dan kekalahan.

Karena cinta buta dan libido sepak bola brutalkah, maka permainan — yang oleh antropolog Richard Giulianotti disebut sebagai “sihir global” — itu membentuk ikatan ekstrem dengan manusia-manusia pemujanya?

Ekspresi kasmaran itu termaujudkan dalam sisi-sisi pertautan yang indah. Jarak psikologis manusia direkatkan, jarak intelektualitas disatukan, jarak status sosial-politik-ekonomi didekatkan. Euro 2008 pernah mengusung tagline “Football without Frontier”, karena sejatinya permainan ini adalah milik semua umat manusia.

Terasa seperti saat-saat sekarang, betapa ruang keseharian yang dijauhkan dari sepak bola dalam “praksis kompetisi”, makin mengintensifkan cinta manusia, yang menderas “ideologi” itu dalam pemaknaan syahdu “mengaji”. Bulan-bulan “puasa sepak bola” bagai meresonansi sikap, bagaimana manusia membangun cinta karena membutuhkannya. Takkan lengkap keseharian kita tanpa sepak bola, takkan ada sepak bola tanpa cinta, dan karenanya manusia merawat nadi kehidupannya lewat permainan ajaib ini.

Sampai kapan kerinduan terobati? Ketika kita cukup punya keyakinan cinta tak terkotori oleh pandemi. Sampai kapan kita menemukan ruang untuk dipertemukan kembali? Ketika rindu disatukan oleh geliat rasa yang sama, ketika manusia tidak menciptakan noda perilaku yang mengundang virus bersimaharajelala.

Ungkapan sejuta rasa digambarkan oleh Andrea Hirata dalam novelnya dengan metafora yang eksotik, “Betapa ajaib sepak bola. Olahraga ini seperti memiliki seribu wajah yang ditatap oleh seribu wajah pula. Di beberapa tempat dia bermetamorfosis menjadi semacam agama baru…. Sampai di sini aku merasa bahwa sepak bola bukanlah sekadar dua puluh dua orang lelaki ganteng kurang kerjaan, berlari lintang pukang, bertumburan tak keruan, demi memperebutkan sebuah bola. Semua hal ada dalam sepak bola…”

Kerinduan dalam jeda tak berbatas waktu, serasa makin membuncahkan cinta kepada sepak bola. Ke mana pun mengejar, rasa-rasanya kita menemukan cinta yang tak bersyarat. Apa pun, kapan pun…

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng