blank
Almarhum Imam Suroso atau yang dulu dikenal dengan ebutan Mbah Roso. Foto: Ist

Oleh Masruri

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun

SEMALAM, begitu  mendengar infomasi bahwa  Mas Imam Suroso  meninggal karena Corrona, untuk memastikan kebenaran dari informasi tersebut, saya mencoba menghubungi kedua nomor WhatsApps-nya. Terdengar nada sambung namun tak ada yang mengangkat.

Saya lalu menghubungi orang-orang dekatnya dan hasilnya sama. Mungkin mereka sedang sibuk, pikir saya. Karena kebuntuan informasi, saya lalu mencari informasi lewat dunia maya. Dan saya menyimpulkan bahwa berita meninggalkan anggota Dewan dari Komisi IX itu  valid, dan bukan hoaks.

Pertama kali saya bertemu Mas Imam di Padepokan Senggoro Pati saat saya mewawancarai  Bos Edi untuk penulisan disebuah harian terbitan Jawa-Tengah.

Kesan awal saat bertemu Mas Imam, orangnya tenang, cenderung pendiam, bicara seperlunya, dan terkesan hati-hati.

Pertemanan pertama itu berlanjut. Dia yang saat itu masih aktif sebagai anggota Polri dan berdinas di Polwil – Pati, lain hari tanpa memberi kabar sebelumnya, tiba-tiba mendatangi kediaman saya. Saat saya tanya naik apa? Dijawab,”Naik omprengan umum, mas..” Jawabnya sambil menyerahkan bingkisan.

Pertemuan di rumah itu lebih banyak membahas keilmuan (metafisika). Mas Imam mengaku ingin belajar ilmu yang berbasic agama (hikmah), sebaliknya, saya juga mengutarakan tertarik “barter” ilmu berbasic budaya Jawa. Ini saya lakukan karena sebagai penulis (kolom) saya perlu masukan dari banyak narasumber.

Tiga tahun kemudian, ketika saya mulai menulis buku, komunikasi dengan Mas Imam semakin intens, karena untuk melayani pesanan naskah dari penerbit,  penulis perlu masukan dari banyak narasumber yang terbuka membeberkan keilmuannya.

Kami berdua punya kepentingan sama. Saya perlu refrensi untuk menulis dan Mas Imam perlu bertemu dengan banyak pihak untuk menambah refrensi keilmuannya. Karena itu, kami berdua sering jalan bersama. Dan untuk itu  Mas Imam pilih menyetir sendiri, dan hanya sesekali mengajak sopir.

Ketika buku-buku saya terbit, untuk buku yang isinya berkaitan spesialisasinya, lebih praktisnya Mas Imam saya jadikan narasumber. Dan untuk itu tidak ada hitung-hitungan komersial, murni pertemanan.

Satu hal yang saya kagumi dari adik saya kelas waktu SMA itu sikap breh-wehnya. Saat dia masih belum mapan, dan ketika sudah memiliki “kerajaan bisnis” yang menghasilkan pundi-pundi besar, sikapnya tidak berubah!

Misalnya, setiap jalan, Mas Imam suka memberi kejutan pada tukang parkir dengan memberi uang dengan nilai yang lumayan. Bahkan saat ke rumah, anak-anak tetangga yang biasa main di sekitar rumah juga dibagi-bagi uang. Begitu halnya ketika saya punya acara yang bersifat sosial, cukup dengan SMS pun langsung dibantu.

Berburu Ilmu

Suatu pengalaman yang sulit saya lupakan saat berjalan dengan Mas Imam adalah saat kami berdua berada di luar kota. Saat itu belum ada ATM. Bekal uang dalam bentuk rupiah sudah habis, dan tinggal yang dollar. Karena kelamaan disimpan dalam dompet, saat dibuka tampak lecek dan pada bagian lipatan tengahnya  ada warna hitam lunturan kain hitam bagian dalam dompet, dan ketika dibelanjakan ditolak.

Ketika hal itu disampaikan, saya lalu menyanggupi untuk “menyulap” dollar itu menjadi bersih dan mulus. Mas Imam setuju. Saya lalu ke apotek, membeli obat kimia dan cotton but. Pelan-pelan tinta itu saya gosok lembut hingga lunturan warna hitam itu hilang.

Saya lalu ke ruang loundry hotel pinjam setrika, dan beberapa lembar uang dollar itu kembali bersih dan tampak mulus, dan saat saya serahkan, oleh Mas Imam lembaran dollar itu dibagi dua.

Mas Imam ini termasuk teman yang ingat masa lalu. Disela kesibukannya, kami masih berkomunikasi melalui WhatsApp. Bahkan setiap bulan masih aktif membantu komunitas sosialku. Selamat jalan, Mas!

Masruri, sahabat allmarhum Imam Suroso.