blank
WAWANCARA: Para wartawan atau awak media saat menjalankan tugasnya, ketika mewawancarai Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo. Foto: dok/ilustrasi

Oleh: Febriati Dewi Evisya

DI tengah atmosfer penyebaran informasi oleh media massa kita dewasa ini, yang
seolah-olah begitu liberal, diam-diam menyembul pertanyaan, seperti apa
sebenarnya yang terjadi dengan praktik profesi wartawan. Apakah pekerjaan
mereka, dari hakikat kebebasan, benar-benar sudah dijamin oleh hukum?

Secara umum, kebebasan adalah keadaan ketika seseorang dapat melakukan semua
hal sesuai dengan kemauannya. Sedangkan berpendapat merupakan suatu
penyampaian argumen oleh seseorang yang memuat ungkapan rasa dan jiwa
emosional. Argumen itu bisa berupa kata-kata, gambar, atau video.

Dari terminologi pemaknaan itu, kebebasan pers dapar diartikan sebagai hak
yang dilindungi oleh hukum, berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang
dipublikasikan, seperti menyebarluaskan, pencetakan, dan penerbitkan surat
kabar, majalah, buku atau material lainnya, tanpa adanya campur tangan atau
perlakuan sensor dari pemerintah.

Dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
disebutkan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Ayat 2, terhadap pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, atau
pelarangan penyiaran.

Sedangkan Ayat 3 menegaskan, bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers
Nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi. Ayat 4, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,
wartawan mempunyai Hak Tolak.

Bahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan dalam Pasal 28F, setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.

Pada 2018, Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia hanya menduduki peringkat 124
dari 180 negara, dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2018 versi Repoters Without
Borders. IKP Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Timor Leste yang
menempati peringkat ke-93.

Peringkat itu menunjukkan, kebebasan pers di Indonesia masih buruk, termasuk
yang tergambar dari adanya kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, serta
inatensi penghalang-halangan terhadap pekerjaan profesional wartawan.

Ragam Kekerasan
Gelombang demonstrasi mahasiswa pada September 2019, dapat menjadi ilustrasi
tentang wajah demokrasi di Indonesia. Itulah tahun aksi massa. Mahasiswa dan
pelajar menolak sederet Rancangan Undang-Undang (RUU), dan terutama
kecenderungan pelemahan KPK dari pintu masuk perundang-undangan.

Demo pada 19 September 2019, menjadi aksi paling awal yang mengusung narasi
penolakan sederet RUU dan revisi UU KPK. Aksi tersebut menjadi sorotan utama
para wartawan Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, terdapat
11 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang aksi massa yang terjadi di
Jakarta dan Sulawesi.

Banyak ragam kekerasan yang dialami wartawan, mulai dari intimidasi,
perampasan alat kerja, hingga kekerasan fisik yang diduga dilancarkan oleh
aparat keamanan.

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, salah satu
penyebab kemandekan proses hukum kasus kekerasan adalah, karena aparat tidak
memahami Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Utamanya, yang kurang dipahami adalah Pasal 18 UU Pers, yang memuat ancaman
pidana bagi orang yang menghalangi kerja jurnalistik dengan pidana penjara
paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

Di samping itu, kesadaran para wartawan dan perusahaan media untuk melaporkan
kasus kekerasan yang mereka alami ke polisi, juga rendah. Akibatnya, banyak
kasus yang tidak memiliki peluang untuk diselesaikan melalui jalur hukum.

Seharusnya, jika memang kebebasan pers dijamin oleh undang-undang, maka
wartawan akan merasa terlindungi dalam bekerja, sesuai dengan hak dan
pekerjaan mereka untuk mencari, mengolah, dan memberitakan suatu peristiwa.

Namun apa yang terjadi dengan latar belakang aksi massa pada 2019 berbanding
terbalik dengan jaminan undang-undang tersebut.

Para wartawan seakan-akan dibatasi dan dihalangi haknya, dalam tugas
menyampaikan informasi. Ada pihak-pihak yang lewat sikap represif, menuntut
mereka tetap diam, dan memaksa wartawan menurut. Kondisi ini jelas
bertentangan dengan kalimat “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara”. Karena dalam praktiknya, mereka tidak mendapat jaminan ketika
menjalankan profesinya.

Bebas adalah kondisi ketika mereka bertindak, beragumen, berpendapat sesuai
dengan kemauan, dijamin keselamatanya. Dijamin adalah ketika mereka bebas
melakukan kegiatan sesuai dengan profesi mereka tanpa ancaman apa pun.

Dengan kondisi tersebut, di tengah lalu lalang informasi lewat media massa
kita dewasa ini, apakah hakikatnya kemerdekaan pers sudah terjamin sesuai
amanat undang-undang?

Febriati Dewi Evisya, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FBK (Unissula)