blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

“SEBAGIAN orang percaya sepak bola adalah persoalan hidup dan mati. Bagi saya, lebih penting dari itu…”

Bagi penggemar Liverpool atau Liverpudlian, kalimat itu pastilah dihapal seakrab semboyan “You’ll Never Walk Alone” yang biasa dinyanyikan di sudut-sudut Stadion Anfield.

Bill Shankly, manajer asal Skotlandia yang memimpin The Reds pada 1959-1974 dikenal sebagai tokoh peletak fondasi karakter klub Merseyside Merah itu lewat pernyataan-pernyataan yang menggugah, melecut, dan menjadi legenda.

Empat dasawarsa kemudian, Juergen Klopp, pelatih dengan kultur taktik gegenpressing yang dianggap menyatu dengan “watak Liverpool”, membuat statemen “sangat bijak”, bahwa banyak hal yang lebih penting dalam hidup, dan sepak bola hanya sebuah permainan.

Sikap Shankly dan Klopp dipisahkan oleh konteks kondisi dalam memaknai watak gentleman. Pada masa Shankly, yang kemudian menjadi kultur Liverpool, dibutuhkan unjuk konfidensi antara lain dengan menyebut bahwa Liverpool adalah tim terbaik di Merseyside, dan tim terbaik kedua adalah cadangan Liverpool.

Meletakkan “sepak bola lebih dari sekadar hidup dan mati”, Shankly menanamkan sikap bangga sebagai “komunitas tersendiri” yang belakangan menjadikan klub Anfield itu sebagai salah satu kekuatan tradisi di Liga Inggris.

Pada masa Klopp, Liverpool mengejar kembalinya kejayaan yang sirna selama 30 tahun. Manajer-manajer sebelumnya gagal untuk menuntaskan finis dengan tofi Liga Primer, walaupun mencatat suskes di level Eropa. Klopp juga masih “nyaris”, dengan hanya selisih satu poin di belakang Manchester City pada musim lalu. Dan, kini, ketika Jordan Henderson dkk memimpin 25 poin atas City di peringkat kedua klasemen, musibah virus Corona menghentikan laju mereka.

Kompetisi ditunda, dan Football Association (FA) bahkan baru saja memutuskan untuk memperpanjang penangguhan hingga 30 April.

Sebelum keputusan FA untuk menuntaskan kompetisi, pernyataan Juergen Klopp yang “legawa” menerima apa pun, sejatinya juga memperlihatkan watak gentleman karena menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, termasuk sepak bola, padahal peluang The Reds tinggal seurat untuk meraih gelar juara.

Wacana tentang rasa keadilan berkembang selama sepekan terakhir menunggu sikap FA. Seperti apa formulasi rasa keadilan di Liga Primer di tengah ketidakpastian kondisi aktivitas manusia akibat pandemi virus Corona?

*   *   *

BAGI Liverpool sebagai pemuncak klasemen, andai kompetisi terpaksa dihentikan, tentulah keadilan itu diwujudkan dengan memberi gelar juara otomatis musim 2019-2020 ini, meskipun mereka masih menyisakan sembilan laga. Keunggulan 25 poin atas peringkat kedua Manchester City merupakan logika praktis bahwa penahbisan gelar hanya menunggu waktu. Pun, dalam kalkulasi angka, bukankah dengan dua kemenangan lagi Liverpool sudah mengunci gelar?

Bagi sebagian klub lain, jalan pikiran itu bisa berbeda. Wakil Chairman West Ham United Karen Brady menyuarakan penolakan. “Yang paling adil, Liga Primer musim ini dinyatakan tidak berlaku,” tegasnya.

Simak pula argumen Paul Merson, eks Arsenal yang kini menjadi pandit sepak bola. Kata dia, sangat tidak enak apabila Liverpool langsung dinyatakan juara, karena secara matematis belum mendapatkannya.

“Jika saya bermain snooker dengan pasangan saya besok, dan saya membutuhkan 25 snooker untuk menang, dia berkata bahwa pertandingan telah selesai, tidak ada gunanya lagi bermain. Selanjutnya satu atau dua minggu ke depan saya akan mengatakan, seharusnya saya bisa memenangkan itu…”

Alan Shearer, legenda Blackburn Rovers dan Newcastle United menambahkan, andai kompetisi dihentikan, tidak sepatutnya ada klub yang dinyatakan juara. “Memang ini kejam bagi Liverpool, tetapi apabila Anda tidak bisa menuntaskan jadwal yang ada, maka Anda tidak bisa memberikan titel juara atau mendegradasi siapa pun,” ungkapnya, yang diamini oleh mantan kapten Arsenal dan tim nasional Inggris, Tony Adams.

Bahkan legenda Liverpool John Barnes dan Jamie Redknapp pun enggan trofi juara diberikan secara cuma-cuma kepada almamater mereka. Menurut Barnes, penundaan Euro 2020 ke 2021 menjadi kunci yang membuka kesempatan liga-liga domestik menuntaskan kompetisinya, karena menjadi cukup punya rentang waktu.

FA sempat dihadapkan pada dilema. Pada satu sisi, semua tahu realitas Liverpool yang unggul jauh dan tampil fantastis. Pada sisi lain FA harus mempertimbangkan klub-klub yang terancam degradasi dan yang berpeluang promosi dari Divisi Championship. Juga suara klub-klub lain, dengan aneka kepentingan, yang berpendapat bahwa kompetisi belum selesai.

Bagaimana pula dengan Uni Sepak Bola Eropa (EUFA)?

Presiden UEFA Aleksander Ceferin tidak merestui gelar juara liga-liga domestik dihadiahkan kepada klub yang saat ini memimpin klasemen sementara tanpa seluruh pertandingan diselesaikan. Dengan pengunduran Euro ke 2021, UEFA menargetkan kompetisi liga-liga dapat berakhir pada 30 Juni.

*   *   *

PASTILKAH Juergen Klopp berada di tengah dilematika sejarah. Sudah 30 tahun The Reds belum pernah lagi juara Liga Inggris. Bahkan belum sekalipun meraih trofi di era Liga Primer. Musim ini merupakan pencapaian fantastik mereka, setelah pada periode lalu gagal hanya dengan selisih satu poin dari Manchester City.

Dengan keunggulan 25 poin atas rival utama itu, betapa kejam apabila sejarah tidak berpihak kepada The Anfield Gang. Perjalanan hebat anak-anak Klopp dihentikan oleh “nasib waktu” akibat bencana pandemi Corona.

Trofi liga menjadi satu-satunya yang diharapkan. Di luar fantastika performa di ajang liga, Mohamed Salah dkk terhenti dalam kompetisi yang lain. Mereka gagal di babak kelima Piala FA dari Chelsea, menyusul kehilangan gelar Liga Champions setelah kalah dari Atletico Madrid di babak 16 besar.

Kerinduan dan rasa kepenasaran akan gelar liga tergambar dari sikap penggawa The Reds, bahwa “angan-angan treble boleh melayang asalkan bukan gelar Liga Primer”. Trofi itu menjadi simbol mengembalikan kedigdayaan Liverpool pada dasawarsa 1980-an.

Posisi psikologis Liverpool dan Klopp saat ini memang menyakitkan. Penantian selama tiga dekade dengan serangkaian suksesi pelatih — setelah terakhir kali juara pada 1990 di bawah Kenny Dalglish –, baru menemukan “chemistry kultural” dengan kehadiran Juergen Klopp. Dalam hitung mundur tercatat nama-nama Brendan Rodgers, Dalglish, Roy Hodgson, Rafael Benitez, Gerard Houllier, Roy Evans, dan Graeme Souness yang meneruskan pekerjaan tiga legenda Anfield: Joe Fagan, Bob Paisley, dan Bill Shankly.

Di luar trofi liga yang belum kembali ke lemari perbendaharaan piala di Stadion Anfield, Gerard Houllier tercatat sebagai manajer yang sukses memberi “treble winner mini” kepada Michael Owen dkk pada 2001 lewat gelar Piala FA, Piala Carling, Piala UEFA, dan Piala Super Eropa. Pelatih asal Prancis itu belum berhasil di kancah liga, sama dengan Benitez yang sukses di Liga Champions, atau Rodgers yang berkategori “nyaris”.

Maka ketika “pecah telur” 30 tahun sudah di depan mata, sementara atmosfer pandemi mengadang masyarakat dunia, Klopp pun seperti dihadapkan pada “nasib waktu”.

Namun simaklah sikap manajer asal Jerman itu, yang melihat kepentingan lebih besar dari sekadar gelar sepak bola. “Itu hanya sepak bola, hanya sebuah permainan. Masih banyak hal penting lainnya dalam hidup. Jadi cobalah tetap tenang dan menikmatinya,” tutur Klopp dalam sebuah acara popcast JD Sports, “In the Duffle Bag”.

Dengan pemikiran itu, Klopp telah memenangi nurani kemanusiaan. Kini dia tinggal menaklukkan sejumlah laga di jadwal tunda, dan semesta Merseyside bahkan langit Inggris akan kembali dikuasai oleh Liverpool…

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng