blank
Anggota Komisi IV DPR-RI, Drs Hamid Noor Yasin.
JAKARTA (SUARABARU.ID) – Anggota Komisi IV DPR-RI, Drs Hamid Noor Yasin MM, menyatakan, bantuan pemerintah kepada para petani kopi di Tanah Air, masih bersifat normatif, minim jumlah dan rawan terhadap tindak penyimpangan. Meskipun komoditas kopi, kini dinilai prospektif, seiring meningkatnya konsumsi kopi oleh masyarakat dunia.

Hamid Noor Yasin, wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) IV Jateng (Wonogiri, Karanganyar dna Sragen) ini, menyatakan, Tahun 2020 Kementan menyiapkan dana Rp 3,96 triliun lewat skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk para petani kopi, dengan bunga 6 persen tanpa agunan. Ini dimaksudkan untuk mendukung kiat peningkatan produksi kopi nasional, dalam rangka menyongsong meningkatnya konsumsi kopi oleh masyarakat di dalam negeri maupun di berbagai negara.

Menyikapi hal tersebut, Hamid yang Anggota Fraksi PKS DPR-RI, ini menilai bantuan sebesar itu secara angka masih sangat normatif, dengan berbagai alasan yang bisa dibuat sebagai argumen. Namun, tandasnya, perlu ditekankan bagaimana mekanisme penyalurannya. Sejauh mana moral hazard dapat di tekan, baik itu pada tingkat petugas pembuat rekomendasi, petugas penyaluran hingga petani atau kelompok tani penerima.

blank
Anggota Komisi IV DPR-RI, Drs Hamid Noor Yasin MM (bercaping), saat bertemu muka dengan pengurus Kelompok Tani untuk melakukan sarasehan.
Kegagalan Program
Selama ini, tandas Hamid, banyak kegagalan program dipengaruhi oleh proses pelaksanaan, mulai dari rekomendasi yang tidak tepat sasaran, petugas penyaluran dan penyimpangan bantuan yang dilakukan oleh petani itu sendiri. Yang dimaksud rekomendasi tidak tepat sasaran, selama ini terjadi pada bantuan-bantuan jenis lain.
”Yang paling banyak menerima akses, adalah petani yang dekat dengan pejabat saja, baik daerah maupun pusat. Ironisnya, banyak petani yang tidak memiliki kedekatan dengan akses bantuan, tapi mereka punya potensi pengembangan yang sangat besar,” tegas Hamid Noor Yasin.

Untuk petugas penyalur, tambah Hamid, terkadang ditemukan persoalan terkait kejar target, sehingga penyaluran dilakukan secara serampangan, tidak berkualitas, tidak tepat sasaran kepada petani yang mestinya mendapatkan bantuan program. ”Yang paling miris adalah terjadinya korupsi pada anggaran penyaluran, walau ini jarang terjadi namun itu sangat memalukan,” ujarnya.

Tindak penyimpangan di petani pun juga terjadi, dalam bentuk penyalahgunaan bantuan. Yakni, bantuan anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan uhaha pertanian kopi, tapi malah digunakan untuk keperluan lain. Tragsinya lagi, bantuan pemerintah selama ini, yang menikmati hanya Ketua Kelompok Tani atau pimpinan kelompok saja.  Sedangkan anggota kelompok yang sangat banyak jumlahnya, malah tidak dapat menerima bantuan dari pemerintah.

blank
Biji kopi yang ranum cukup umur, akan menghasilkan produk kopi berkualitas.


Ekspor Menurun
Data dari BPS menyebutkan, ekspor kopi Tahun 2015-2019 menurun dari 499,6 ribu ton menjadi 359,05 ribu ton. Nilai ekspornya turun jadi Rp 883 ribu USD dari semula Rp1,18 juta USD. Menjamurnya kedai kopi di dalam negeri, mestinya ini menjadi peluang yang dapat dimanfaatkan oleh petani kopi untuk menaikkan produksinya.

Kata Hamid, memang saat ini menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk mengembangkan kualitas kopi. Yang itu dapat dimulai dari seleksi bibit unggulnya, teknologi budidayanya, teknologi pasca-panennya termasuk pemasarannya. Masifnya komoditas di Tanah Air selama ini, karena fokus pada produk unggulan yang dikonsumsi rutin dalam jumlah besar oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Stimulus bantuan pemerintah yang relatif masif untuk komoditas pangan, banyak dilakukan pada produk beras, komoditas perikanan, perternakan sapi, produk garam, gula dan beberapa komoditas hortikultura lainnya. Mestinya, pemerintah harus lebih konsen untuk memberi bantuan kepada petani yang berkecimpung di komoditas kopi.

Meningkatkan Kualitas
”Saya sangat mendukung untuk membantu meningkatkan kualitas dan perlindungan biji kopi terutama melalui mesin dan teknologi, transfer teknologi kepada petani, yang hasil akhirnya diterima konsumen,” tegas Hamid Noor Yasin.

blank
Bagi penikmat minuman kopi, akan menemukan kelezatan khas yang diperoleh dari ngopi.


Menurut Hamid, ada tiga masalah besar yang dihadapi petani di Indonesia. Yakni menyangkut persoalan kualitas, modal dan produksi, serta pemenuhan pasar. Soal kualitas, belakangan ini muncul sertifikasi yang cendeurng memberatkan petani kopi. Pada hal, perkebunan kopi di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat.

Berdasarkan data terbaru dari GAEKI (Gabungan Eksportir Kopi Indonesia), areal dan produksi kopi rakyat (smallholders coffee) mencapai 95 persen, sedangkan selebihnya adalah kopi perkebunan besar (estates coffee). Ironisnya, produksi kopi rakyat diproses dengan rendah teknologi, sehingga tidak mampu menguasai pasar.

Masih Stagnan
Persoalan modal dan produksi kopi, saat ini cenderung masih stagnan, belum ada inovasi baru yang dikembangkan. Selain itu, sering terjadi perebutan bahan baku antara perusahaan lokal dan eksportir asing. Produksi kopi saat ini, mencapai sekitar 650 ribu ton, dan sepertiganya untuk kebutuhan di dalam negeri. Permintaan kopi Arabika, jauh lebih besar dibandingkan kopi Robusta. Demikian pula dari segi harga, kopi Arabika jauh lebih mahal dari kopi Robusta.

Menurut Hamid, diversifikasi tanaman kopi untuk saat ini tidaklah mudah. Pasalnya, tanaman kopi Arabika hanya sesuai untuk dataran tinggi di atas + 600 Meter dari permukaan laut (dpl). Hingga saat ini belum ada pengembangan dan penelitian kopi Arabika di dataran rendah. Petani kopi, dalam setahun hanya panen sekali. Beaya produksi kopi untuk setiap satu ton, mencapai sekitar Rp 6 juta-Rp 7 juta. Bantuan pemerintah melalui KUR, diharapkan mampu menggenjot produksi kopi nasional, dengan syarat sesuai prosedur dan peruntukannya tanpa ada penyelewengan.

blank
Pengolahan biji kopi yang lepas petik dari kebun, harus dilakukan secara cermat. Ini demi memperoleh olahan kopi yang berkualitas.


Persoalan pemenuhan pasar, ini erat kaitannya dengan negara produsen dunia. Ada 75 negara dimana tiap negara memiliki varietas kopi yang berbeda dalam rasa dan aroma. Negara-negara produsen kopi sedang gencar melakukan penanaman kopi dengan tujuan komersial, untuk memenuhi permintaan pasar dunia.

Konsumsi Dunia
Kementerian Perdagangan merilis laporan, konsumsi kopi dunia pada Tahun 2018, mencapai sebesar 9,7 juta ton. Tren konsumsi dunia selama lima tahun terakhir, memiliki peningkatan dengan rata-rata 2,1 persen per tahun. Di Indonesia, produk kopi Arabika dan Robusta di tiap daerah yang menjadi sentra kopi, mampu menghasilkan produk kopi yang khas.

Selama ini, dunia Internasional telah mengenal kopi terbaik dari Indonesia lewat produk Kopi Jawa, Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Sidikalang, Kopi Lintong, Kopi Wamena dan Kopi Luwak. ”Ini menjadi brand yang memberikan nilai unggulan bagi produk kopi Indonesia di pasar dunia,” tegas Hamid Noor Yasin.

Bambang Pur