blank
Roberto Firmino

blank

Oleh Amir Machmud NS

TRIO “Firmansah”, inilah kreativitas otak-atik predikat ala fans Liverpool di Indonesia bagi kombinasi maut Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah. Lewat trisula ini The Reds membukukan produktivitas dengan gol demi gol dan assist yang menjadi kunci pembumian gegenpressing, filosofi permainan pelatih Juergen Klopp.

Ketiganya sama-sama produktif sebagai mesin gol, saling menopang untuk mengeksekusi dan mengumpan. Hebatnya lagi, kebergantungan Liverpool kepada trio maut ini tidak membuat sektor lain absen dalam kontribusi gol. Sumbangan gelandang bertahan Jordan Henderson, Alex Oxlade Chamberlain, Georginio Wijnaldum, dan bek tengah Virgil van Dijck merupakan bukti produktivitas tim yang merata.

Siapakah yang sebenarnya paling hebat di antara Firmino, Mane, dan Salah?

Klaim bahwa salah satu merupakan yang paling hebat rasanya sangat sulit, walaupun Mo Salah telah mendapat pengakuan sebagai yang terbaik versi Asosiasi Pemain Pro dua musim berturut-turut, 2017-2018 dan 2018-2019 sekaligus meraih Sepatu Emas sebagai top scorer. Bukti trio tersebut saling menopang terbaca dari realitas ini: ketika Salah buntu, Mane jadi kunci. Ketika Mane gagal menembus gawang lawan, Salah yang mengisi. Kalau dua-duanya mejan, ada Firmino yang jadi penentu.

Dalam beberapa momen, keberadaan Firmino sangat menentukan, termasuk peran sebagai perekat permainan, menyuplai assist bagi gol-gol Salah dan Mane. Padahal di lapis berikutnya Klopp juga masih punya “senjata rahasia” Divock Origi, Sherdan Xhaqiri, dan Takumi Minamino.

Akhir-akhir ini, chemistry telepati trio “Firmansah” banyak disorot lantaran Mo Salah yang dianggap “menyimpang” dengan terlampau unjuk ego. Banyak momen, dari seharusnya mengumpan kepada Mane atau Minamino yang siaga dalam posisi lebih bebas, malah memilih menembak sendiri yang akhirnya gagal berbuah gol. Kebiasaan Salah itu mewartakan ambisi persaingan menjadi pencetak gol terbanyak klub, namun nyatanya malah mengorbankan kepentingan tim secara keseluruhan.

Mane sudah lebih dulu mengeluhkan “kebiasaan” Mohamed Salah, bahkan pernah mengekspresikan kemarahannya dalam sebuah pertandingan. Para pandit bola yang menganalisis laga-laga di Liga Primer mengkritik Mo Salah, bahkan menyebut sikap bermain Sadio Mane dan Roberto Firmino lebih efektif untuk tim. Klopp sejauh ini membela Salah. Egoisme dianggap sebagai ekspresi jamak bagi seorang striker yang memang harus memperlihatkan konfidensi.

* *  *

TERLEPAS dari sorotan tersebut, Mohamed Salah tetaplah puzzle terpenting bagi pilar produktivitas Liverpool. Salah dan Mane sejauh ini masih berimbang dalam perbendaharaan gol, namun Salah punya keunggulan jumlah assist. Koleksi umpan yang terkonversi menjadi gol juga merupakan bukti Salah sejatinya bukan seorang yang egoistis.

Pada musim pertamanya di Liga Primer, pemain asal Mesir itu membukukan 44 gol dan 16 assist dari 52 penampilan di semua ajang, sementara musim lalu dia menyumbang 13 assist. Sedangkan Firmino, pahlawan pencetak gol tunggal dalam final Piala Dunia Antarklub, musim ini mengantungi delapan gol dan sembilan umpan menentukan.

Yang istimewa, Firmino sebagai seorang “pekerja” di lini penggempur Liverpool selalu mengetengakan sikap bermain yang “melayani”. Bahkan nyaris mengorbankan kesempatan untuk membikin gol sendiri. Pendekatan taktik pressing dan terus bergerak ala Juergen Klopp rupanya cocok dengan karakter Firmino yang bermain dengan penuh penyerahan untuk kolektivitas tim.

Bagi Alex Oxlade Chamberlain, Firmino selalu “mencari orang lain, bekerja untuk tim, dan keterampilannya berbicara sendiri”. Sedangkan kapten tim Jordan Henderson menyebut, beberapa hal yang dilakukan Firmino benar-benar gila”. Pemain asal Brazil yang pernah bermain untuk Hoffenheim di Bundesliga itu banyak dipuji sebagai “perekat yang bisa menghubungkan segalanya”. Gayanya dalam membangun permainan adalah salah satu yang terbaik di Liga Primer.

Jenis pemain yang suka memberi layanan ini merupakan salah satu karakter yang biasa ada dalam sepak bola. Kehidupan manusia sebagai sebuah “jagat besar” sering terefleksi di hadapan “jagat kecil” sepak bola. Ada oang-orang yang suka mementingkan diri sendiri, biasa berbagi, dan berpikir pragmatis untuk mendapat keuntungan sebesar dan secepat mungkin. Firmino merupakan jenis manusia yang berkarakter suka berbagi, dengan jalan pikiran ketika dia bisa memberi umpan untuk gol kawannya yang akan memberi kemenangan kepada klub, maka ujung-ujungnya dia bisa membahagiakan para penggemar.

Teknik pemain bernama asli Roberto Firmino Barbosa de Oliveira ini terbilang mumpuni. Ketika didatangkan di Anfield sejak 2015, dia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi pemain penting. Bersama Philippe Coutinho dia membentuk duo Brazil yang menjanjikan. Coutinho kemudian memilih menerima tawaran Barcelola, namun “kekosongan” itu malah membawa berkah ketika Firmino akhirnya “nyetel” dengan Mo Salah dan Sadio Mane.

Dengan sikap bermain yang melayani dan “merekatkan”, banyak pengamat yang berkesimpulan, Liverpool tidak perlu merasa cemas andai Salah dan Mane absen, karena The Anfield Gang punya Roberto Firmino.

Tak pelak lagi, dengan peran dan kotribusinya, musim ini Firmino menegaskan benar-benar telah menjadi legenda Liverpool…

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng