blank
Mira Permatasari
Oleh: Mira Permatasari
KONGRES Partai Demokrat diperkirakan akan digelar pada bulan Februari. Lebih cepat dari perkiraan awal publik di bulan Mei. Hal itu lumrah dan wajar, karena tahun 2020 ini, Indonesia memiliki hajat besar yaitu Pilkada serentak yang akan diselenggarakan di bulan Mei, tersebar di 270 daerah, yakni di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.
Tentunya, Partai Demokrat tidak mau ketinggalan hajat besar ini. Sama seperti partai-partai politik lainnya yang telah menyelenggarakan kongres dan munas, Partai Demokrat pun terlihat tengah bersiap-siap untuk memanaskan mesin politiknya.

Ada yang berbeda dari wajah Partai Demokrat saat ini. Dibandingkan dengan partai-partai politik lain yang dipimpin oleh wajah-wajah lama, nampaknya akan ada angin segar pada kepemimpinan tertinggi partai berlambang mercy ini. Agus Harimurti Yudhoyono atau yang akrab dipanggil AHY, digadang- digadang akan melanjutkan estafet kepemimpinan partai besutan SBY ini.

Bukan karena AHY adalah putra biologis SBY per se, maka estafet kepemimpinan partai seolah-olah akan diberikan begitu saja bagi AHY. Tentu, para tokoh Partai Demokrat tidak akan serta merta memberikan jalan tol bagi AHY, apabila hanya dengan alasan itu ia menjadi Ketua Umum.

Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana pada pertengahan tahun 2019 lalu, beberapa tokoh senior Partai Demokrat, salah satunya anggota Majelis Tinggi Partai, Max Sopacua begitu vokal mengusulkan nama AHY menjadi Ketua Umum.

Figur Potensial

Ia berpendapat bahwa AHY adalah figur potensial dan satu-satunya tokoh yang bisa menggantikan ayahnya, SBY. Bahkan ia tidak cemas sama sekali apabila Partai Demokrat disebut-sebut menjadi partai milik SBY. Menurut Max, anggapan itu akan sirna seketika begitu publik tahu bahwa seluruh kader memang benar-benar menginginkan AHY menjadi Ketua Umum.

Terlebih lagi, mengingat pekerjaan besar untuk hajat Pilkada serentak sudah menanti di ujung jalan. Jumlah pilkadanya pun tidaklah sedikit, dan akan menjadi pertarungan politik yang diperebutkan oleh partai-partai politik sebagai modal awal pemilu berikutnya. Untuk itu, persoalan siapa yang akan menjadi nahkoda di Partai Demokrat ini pun menjadi keputusan yang maha penting.

Pilihan Max Sopacua dan beberapa tokoh senior Partai Demokrat lainnya merupakan pilihan yang rasional. Dalam survei RTK yang dirilis ke publik dan digelar pada 21 April hingga 2 Mei 2018 lalu, satu-satunya kader Partai Demokrat yang selalu muncul adalah AHY.

Pada survei tersebut, bahkan elektabilitas AHY sebesar 24,8 persen berada di urutan ketiga, melampaui tokoh-tokoh partai politik lainnya selain Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meski tidak terpilih dalam pilpres sebagai kandidat capres maupun cawapres, namun elektabilitas ini adalah modal yang besar bagi AHY dan Partai Demokrat.

Elektabilitas ini pun ternyata masih terpelihara dengan baik meski saat ini Wakil Ketua Umum Partai Demokrat tidak berada dalam pemerintahan.

Dalam survei internal Partai Demokrat di penghujung akhir tahun 2019, elektabilitas AHY mencapai 17.6 persen, urutan kedua tertinggi setelah Prabowo Subianto, dan bahkan mengungguli tokoh-tokoh lainnya seperti Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Airlangga Hartarto, dan Puan Maharani yang saat ini sebagian besar diantaranya memegang posisi tertentu.

Ini adalah modal yang luar biasa bagi Partai Demokrat untuk menjaring suara dalam pemilu berikutnya. Bagaimanapun moderennya proses demokratisasi di negeri ini, masih tidak dapat dilepaskan sebuah partai politik dengan ketokohan.

Selain memiliki elektabilitas yang tinggi, AHY juga tidak memiliki beban masa lalu. Seperti layaknya kertas putih, rekam jejak politik AHY masih bersih. Sebelumnya, ia adalah mantan perwira militer yang berprestasi.

Karier militernya dulu moncer dan kerap diunggulkan untuk menjadi jenderal di masa depan. Namun dari semua kemapanannya itu, ia memilih jalur berbeda yang justru keluar dari zona nyamannya. Alih-alih bisa menjadi jenderal yang sudah menjadi keniscayaannya, AHY memilih untuk mengabdi di jalur politik.

Kontribusi Konkret

Tidak tanggung-tanggung, kontribusinya terhadap Partai Demokrat juga konkret. Meski masih terbilang baru berada dalam partai, AHY mampu menambah suara dalam pemilu legislatif (pileg) 2019 di luar dari captive market Partai Demokrat yang diprediksi berbagai survei nasional hanya berkisar di angka 3 – 4 persen.

Apalagi kondisinya waktu itu jauh dari ideal. SBY sebagai Ketua Umum yang seyogyanya berkampanye, ditimpa malang dengan jatuh sakitnya Ibu Ani. Meski kondisinya tak ideal, hampir dua kali lipat melampaui prediksi survey, Partai Demokrat berhasil mencapai 7.7 persen di bawah kepemimpinan AHY.

Menurut Litbang Kompas, dari perolehan suara tersebut, terdapat pemilih baru di angka 54 persen, dengan komposisi terbanyak di usia 18 – 32 tahun. Jumlah ini melampaui pemilih tradisional Demokrat yang hanya berkisar 46 persen.

Tidak prematur rasanya apabila banyak para pengamat yang menyebut hal ini sebagai AHY effect. Tentunya ini semua semakin menambah kepercayaan diri kader Demokrat untuk mampu mengembalikan kejayaan partainya di masa lalu.

Menjelang kongres nanti, tentu pilihan-pilihan atas siapa yang menjadi pemimpin di Partai Demokrat tetap terbuka. Namun, mengutip filsuf ternama Thomas Aquinas, “A man has free choice to the extent that he is rational.” Artinya, setiap orang bebas memiliki pilihan apapun, selama dirinya rasional. Untuk itu, sangatlah tidak berlebihan apabila AHY menjadi pilihan rasional dari Partai Demokrat saat ini.

(Mira Permatasari, pengamat politik)