blank
PIDATO PILITIK: Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, saat menyampaikan pidato politiknya, beberapa waktu lalu. Foto: dok/antara

Oleh: Yuri Ardiana

blankDINAMIKA elektabilitas Partai Demokrat (PD), memang menarik untuk dicermati. Sebab, PD merupakan mantan partai penguasa yang pernah memperoleh suara tertinggi dalam sejarah kepemiluan Nasional pasca-reformasi. Pada Pemilu 2009, PD mendulang 20,4 persen suara Nasional, dimana rekor itu belum terpecahkan hingga saat ini, termasuk oleh partai penguasa sekarang sekali pun.

Kini, setelah tokoh utama PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak berada di pucuk kekuasaan negeri ini, PD mengalami penurunan elektabilitas dalam dua Pemilu terakhir. Pada 2014, PD masih bisa mempertahankan suaranya sebesar 10 persen. Sedangkan pada Pemilu 2019, dimana mesin politik PD saat itu tidak berjalan optimal, karena banyaknya kendala teknis maupun strategis, elektabilitas PD kembali menurun dan menyentuh 7,7 persen. Kabar baiknya, perolehan suara Nasional 7,7 persen itu masih bisa dikonversi oleh Fraksi Demokrat menjadi 9,7 persen kursi di parlemen Nasional.

Sebagai bekas partai penguasa, PD merupakan partai yang memiliki kemungkinan untuk bangkit kembali menjadi partai penguasa di negeri ini. Di Indonesia, hanya tiga partai Nasional yang pernah menjadi pemenang pemilu dan mendapatkan keistimewaan sebagai partai penguasa.

Ketiganya adalah Partai Golkar, PDIP dan Partai Demokrat. Selebihnya, partai-partai yang lain cenderung menjadi “partai penggembira”, termasuk PKB yang pada awal reformasi berhasil mengusung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI. Tetapi PKB tidak mampu memenangkan Pemilu dan mempertahankan pemerintahan Gus Dur setelah 1,5 tahun berkuasa.

Lalu bagaimana PD bisa bangkit mengembalikan kejayaannya? Setidaknya ada tiga syarat dasar, agar PD mampu bangkit menjadi pemenang dan mengembalikan kejayaan partainya.

Pembangkit Kekuatan
Pertama, PD harus bisa menemukan tokoh alternatif yang sepadan atau mampu menggantikan peran SBY sebagai simbol utama perjuangan partai. Dalam konteks ini, PD tidak bisa selamanya menggantungkan nasib pada kebesaran nama SBY. PD harus berinovasi untuk bertransformasi menjadi partai yang lebih kuat dan dinamis. Dalam konteks ini, peran dan restu SBY amat sangat penting dalam menentukan arah regenerasi kepemimpinan partai ini. Sebab, kepemimpinan yang efektif merupakan kunci keberlangsungan dan kebangkitan partai.

Saat ini baru nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dinilai layak menggantikan SBY. Nama AHY merupakan satu-satunya nama yang konsisten tampil di survey-survei kepemimpinan Nasional, yang merepresentasikan mesin politik PD. Artinya, memberikan kesempatan AHY untuk memimpin PD akan jauh lebih mudah mengkonversinya sebagai mesin pembangkit kekuatan PD yang belakangan melemah.

Hadirnya AHY sebagai figur pemimpin muda yang energik, dinamis, memiliki track record yang masih bersih, tidak memiliki beban politik masa lalu, dan memiliki integritas dalam berintegrasi, akan memudahkan PD bangkit kembali mengoptimalkan kekuatan jaringan, simpatisan dan para kadernya yang berasal dari kelompok tengah-moderat.

Kedua, PD akan bangkit menjadi partai yang lebih kuat, jika mampu memenangkan hati dan pikiran rakyat melalui penguasaan isu-isu kebijakan publik dan wacana politik. Karena itu, PD harus mempertegas posisi politiknya di hadapan pemerintah, dan tidak malu-malu untuk menyuarakan sikap kritisnya jika ada kebijakan dan sikap pemerintah yang perlu dikoreksi.

Untuk memenangkan pertarungan wacana, elemen kekuatan dan komunikator politik PD harus kuat, independen, dan tidak boleh membebek kepada wacana dan argumentasi yang diproduksi oleh partai lain. Hal ini bisa terus dioptimalkan, jika PD dikendalikan oleh kepemimpinan muda yang efektif dan dinamis.

Ketiga, PD akan bangkit menjadi partai penguasa jika mampu menghindari faksionalisme dan konflik internal partai, yang belakangan ini terjadi di sejumlah partai-partai politik lain. Pengendalian konflik internal tidak boleh dipandang sebelah mata, karena dampak konflik internal bisa menenggelamkan bahtera partai yang sesungguhnya. Pengalaman Partai Hanura pada Pemilu 2019 lalu, merupakan fakta politik yang tidak terbantahkan.

Mentor Politik
Untuk itu, PD harus memiliki kepemimpinan dengan kapasitas manajerial yang sangat baik, mampu meredam konflik, dan mengoptimalkan ragam perbedaan elemen-elemen di internal PD, sebagai penyangga kekuatan Demokrat di masa depan. Di sinilah, karakter AHY yang tegas, santun dan proporsional dalam menyikapi berbagai hal, berpotensi dioptimalkan untuk menjaga keutuhan dan soliditas PD.

Dengan bimbingan SBY sebagai mentor politiknya, kepemimpinan mendatang akan jauh lebih produktif untuk mengembangkan jaringan, bukan memberangus kebersamaan.

Keempat, kebangkitan PD akan jauh lebih mudah jika pilihan politik PD di Pilkada 2020 mendatang, lebih tepat dan lebih banyak menang di berbagai ajang kontestasi politik lokal. Jika pilihan-pilihan politik itu tepat, jaringan kekuatan di daerah akan lebih memudahkan PD untuk menutup kebutuhan logistik di tingkat Nasional.

Dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014, pada Pemilu 2019 sebenarnya PD hanya kehilangan tujuh kursi saja. Jika pada Pilkada 2020 PD menang di banyak daerah, jejaring politik lokal itu bisa mengembalikan atau bahkan melipatgandakan perolehan suara pada Pemilu 2024 mendatang.

Keempat syarat kebangkitan PD itu merupakan sebuah idealitas, sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh kepemimpinan PD di masa mendatang. Ketua Umum DPP PD SBY, yang juga pendiri PD, telah berhasil meletakkan fondasi yang kuat bagi tegaknya mesin politik PD.

Jika partai ini dikelola dengan baik, PD merupakan salah satu partai yang sangat berpotensi bertransformasi kembali menjadi partai besar dan kembali memenangkan kontestasi Pemilu-pemilu mendatang.

(Yuri Ardiana merupakan pemerhati sosial-politik alumni FISIP Universitas Padjajaran, Bandung)