blank
Hadi Priyanto

Oleh  : Hadi Priyanto

JEPARA (SUARABARU.ID) – Peristiwa  penertipan anak  jalanan yang mengenakan atribut layaknya punk di Jepara sempat mencuri  perhatian masyarakat. Padahal senyatanya  mereka tidak mengerti  ideologi punk. Apalagi menghayati  dan memperjuangkannya.

Mereka hanyalah adalah anak-anak  jalanan bergaya punk dengan   pakaian hitam, pakai  rantai, rambut mowhawk, atau potongan rambut ala feathercut, bertato, baju lusuh, anti kemapanan   dan biasanya suka nongkrong dilampu merah untuk  ngamen atau bahkan melakukan tindakan yang dianggap dapat meresahkan dan merugikan  warga.

Karena itu anak punk jalanan ini  tidak pernah menyuarakan ketidakadilan, persamaan  hak, penghargaan terhadap sesama,  perlawanan terhadap sistem pemerintahan dan politik yang korup yang menjadi  ciri gerakan  punk pada awal  kehadirannya pada dekade 80-an. Namun  komunitas anak jalanan ini benar-benar  menghayati ciri gerakan punk yang mengedepankan  solidaritas, toleransi  dan  kebebasaan.

Juga atribut yang dikenakan setiap hari. Mereka mungkin  beranggapan dengan pakaian dan sikap seperti itu telah  menjadi  seorang punker yang sebenarnya memiliki ideologi, do it  your  self atau lakukan yang menurut kamu harus lakukan.

Karena itu ketika gerakan punk merambah pada dunia  musik, lahirlah lagu dengan beat cepat  menghentak dan syairnya sarat dengan  kritik pada  ketimpangan dan ketidakadilan oleh kekuasaan. Bahkan perlawanan pada semua ketidakadilan.

Problematikanya muncul, ketika anak-anak merasa tidak mendapatkan tempat yang nyaman dirumahnya. Bisa  karena ketidak harmonisan hubungan kedua orang tua, sikap acuh,kekerasan dalam  rumah tangga,  persoalan ekonomi, atau  justru salah asuh.

Juga ketidakmampuan anak dalam menghadapi  perubahan yang terjadi disekelilingnya yang justru memunculkan    ketimpangan sosial yang terus terjadi. Lingkungan terdekat juga kemudian mengabaikan dan menolaknya hingga mereka  merasa terasing.

Karena itu dalam penelusuran empatik tidak ada penyebab  tunggal  yang menjadi penyebab merebaknya fenomena  anak jalanan. Namun ketahanan keluarga, yang maknanya adalah kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya keluarga dan sekaligus  persoalannya yang tidak  berjalan  baik, dapat menjadi  faktor penyebab utama larinya anak dari rumah.

Sebagai sebuah persaoalan sosial  penelusuran benang kusut anak   jalanan  harus dimulai dari hulu, pada lingkungan keluarga dan lingkungan sosial terdekat.  Bukan hanya  menilai atau bahkan menghakimi  saat mereka  berada di hilir. Demikian juga penyelesaiannya.

Rasanya sulit mengembalikan mereka yang telah lama  hidup dengan norma yang dibentuk dijalanan, dengan  operasi penertiban dan pembinaan singkat tanpa  mengurai benang  kusut  di hulu.

Keluarga  dan lingkungan  sosial terdekat termasuk didalamnya pemerintahan terdekat harus memberikan ruang yang nyaman  bagi anak-anak untuk mendapatkan hak-haknya sebagai mana diatur oleh undang-undang.

Dana  desa,  tidak boleh mengabaikan persoalan ini dan hanya fokus  pada pengembangan infrastruktur. Sebab prioritas pembangunan telah berubah, untuk lebih menempatkan pengembangan sumber daya manusia sebagai yang lebih utama. Termasuk perlindungan hak anak.

Betapapun  penertiban anak jalan dengan  atribut punk yang telah dilakukan oleh tim gabungan  harus kita apresiasi . Sebab bukan  saja   melibatkan banyak fihak seperti pemerintah kabupaten, Polres,  Kodim, Kejaksaaan, MUI,  ormas  keagamaan tetapi juga telah mencoba memahami  persoalan ini dari hulunya. Penertiban dan pembinaan  terpadu  ini dapat menumbuhkan sisa harapan dari anak jalanan jika dilakukan terpadu dan berkesinambungan.

Harapan kita,  kegiatan  penertiban ini  dapat menjadi  momentum  bagi pemerintah   disemua tingkatan, masyarakat dan keluarga untuk lebih memberikan perhatian pada persoalan perlindungan  anak. Apalagi Indonesia telah meratifikasi konvensi  hak anak PBB.

Dengan  demikian semakin   merebaknya   anak  jalanan dan banyaknya anak yang tidak mendapatkan perlindungan, dapat menjadi cermin kegagalan keluarga, masyarakat   dan bahkan pemerintah dalam memberikan hak-hak anak.

Sebab senyatanya, kasus 31 anak jalanan  ini bagaikan  fenomena gunung  es. Sebab realitasnya   ada ribuan anak yang gelisah menjalani  hidupnya.  Ada banyak anak berusia belasan tahun berada dijalanan setiap malam atau  berada didepan  panggung pentas- pentas  musik dan berjoget  tanpa ia sadar. Mereka memang tidak memakai atribut punk, karena itu  siapa yang mau  peduli kepada mereka ? (*)                  

Penulis  adalah Wartawan SuaraBaru.Id