blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

TANYAKAN kepada Ernesto Valverde, nyali dan kesiapan seperti apa yang dibutuhkan untuk menangani Barcelona. Direkrut dari Athletic Bilbao sejak Juli 2017 untuk menggantikan Luis Enrique yang terbilang sukses, Valverde harus mengakhiri kebersamaan sejak 13 Januari lalu.

Kemunculan nama Valverde ketika itu memang mengejutkan, karena Barca selalu punya syarat khusus kualifikasi pelatih. Tak cukup bermodal kepintaran dan nama besar, tetapi juga penghayatan filosofi klub yang kental dengan gaya bermain bola pendek-posesif-menekan yang kemudian populer sebagai tiki-taka.

Barca adalah juga “entitas politik” lewat semboyan Mes Que Un Club (Bukan Sekadar Klub Sepak Bola). Slogan yang selalu menyemangati para cules (penggemar Barca) itu diperkenalkan oleh Narcis Serra, Presiden Barca pada 1967, sebagai wujud cinta kepada Barcelona yang menjadi simbol perlawanan masyarakat Catalunya terhadap kediktatoran Jenderal Franco pada dasawarsa pergolakan politik 1930-an.

Dalam praksis sepak bola, tiki-taka merupakan “nadi dalam darah” klub yang diracik sebagai filosofi taktikal oleh sang legenda, Johan Cruyff di Akademi La Masia, lalu disempurnakan oleh Pep Guardiola menjadi performa bermain yang elok merak ati. Apabila seorang pelatih Barca tidak cukup cakap untuk merawat dan mengembangkan taktik ini, pastilah klub Catalan itu akan kehilangan “ruh”. Enrique sempat memodifikasinya dengan kombinasi umpan direct ke para penyerang, yang terbukti bisa memberi treble La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions 2014-2015. Pendekatan bermain Enrique masih lebih cocok ketimbang pelatih sebelumnya, Gerardo Martino dan sekarang Ernesto Valverde yang cenderung pragmatis.

Valverde juga menghadapi kegagalan dalam proses regenerasi di sejumlah posisi. Arthur, Malcom, Ousmane Dembele, Carles Perez, Hiroki Abe, dan Ansu Fati belum berada dalam performa sepadan dengan starting eleven Barca. Valverde boleh dibilang belum mewariskan setelan pemain baru yang paten, kecuali Antoine Griezmann yang mulai padu dengan Lionel Messi dan Luis Suarez. Dia menganut skema dua gelandang bertahan dan satu pengatur serangan, berkebalikan dengan sistem Guardiola.

Ketika Suarez harus absen hingga akhir musim karena cedera, dengan beban kebergantungan yang makin bertambah untuk Messi, belum ada kombinasi baru yang menjanjikan di lini penyerang. Calon bintang muda Ansu Fati yang beberapa kali dicoba, dan menunjukkan potensi besar, tetap belum dilepas sebagai starter yang sepadan.

Memberi dua trofi La Liga untuk musim 2016-2017 dan 2017-2018, Valverde dipandang gagal mulai dari perempatfinal Liga Champions 2017-2018 dari AS Roma justru ketika Barcelona sangat difavoritkan, lalu kalah mengenaskan dari Liverpool di semifinal 2018-2019, gagal meraih Copa del Rey 2018-2019 di tangan Valencia, hingga kalah di semifinal Piala Super Spanyol 2-3 dari Atletico Madrid.

Kegembiraan fans Blaugrana setelah kepastian pemecatan itu menunjukkan komunitas Barca memang sudah tidak bisa bersabar lagi terhadap kinerja Valverde. Dia digantikan oleh asistennya, Quique Satien, yang sekaligus menutup spekulasi bahwa legenda Camp Nou, Xavi Hernandez-lah yang bakal meneruskan estafet kepelatihan. Xavi dianggap sebagai sosok yang kelak paling pas merawat filosofi Barca, namun konon dia tidak cocok dengan kepemimpinan Bartomeu, Presiden Barca yang sekarang.

*   *   *

WACANA tentang masa depan Valverde mulai diapungkan, ketika Messi — pemain yang paling berpengaruh ke manajemen — disebut-sebut “memasalahkan” taktik Valverde. Namun belakangan, Messi sendiri — diperkuat oleh Suarez — menyatakan masih memercayai sang pelatih. Untuk sementara posisi pelatih 55 tahun itu aman, sampai kemudian Barca ditumbangkan oleh Atletico Madrid di semifinal Piala Super Spanyol. Kesabaran manajemen pun habis, dan sikap itu rupanya merupakan representasi kehendak fans.

Nasib karier Valverde sejatinya sama dengan rata-rata pelatih di liga-liga Eropa. Ukuran bertahan atau ditendang terkadang tak bisa diperkirakan dari hasil-hasil yang dicapai, kecuali memang sebuah klub punya proyek membangun tim dengan visi tertentu, misalnya Manchester United tetap mempertahankan Ole Gunnar Solskjaer walaupun performa Setan Merah tidak stabil. Atau seorang pelatih punya sikap tersendiri, seperti Pep Guardiola yang mengatur kapan dia meninggalkan klub, tak peduli sedang di puncak sukses atau tidak.

Akankah Quique Satien menjadi reinkarnasi Tito Villanova (alm), yang sukses menukangi Lionel Messi cs sebagai asisten Guardiola?

Mengontrak Satien selama dua setengah musim tampaknya bukan tanpa pertimbangan kualifikasi. Pastilah dia dinilai “ada apa-apanya”. Tertutupnya spekulasi tentang Ronald Koeman dan Xavi Hernandez sempat membuka peluang baru, yakni menyiapkan perekrutan Mauricio Pochettino, eks Tottenham Hotspur yang belum menukangi tim mana pun sejak pemberhentiannya. Poch juga dikenal sebagai pelatih yang menggandrungi sepak bola atraktif.

Untuk klub yang “bukan sekadar klub”, pastilah arsiteknya juga “bukan sekadar pelatih”. Dia mesti memahami kultur Barca, menghayati tiki-taka sebagai “taktik”, “gaya”, sekaligus “budaya”. Sudah hampir dua musim ini kita bagai kehilangan pesona permainan yang melewati batas-batas teknik sepak bola. Boleh jadi memang karena ketidakcocokan gaya melatih dan filosofi pelatih Valverde. Bisa pula karena sejumlah pilar utama yang perlahan-lahan menghadapi realitas kendala usia.

Satien, yang mengaku sebagai penganut rezim sepak bola atraktif, sudah menjanjikan bakal mengembalikan tiki-taka sebagai performa Barca. Antusiasme sang pelatih untuk menukangi Messi cs, bagaimanapun menjadi harapan baru Azulgrana untuk hadir kembali dengan permainan yang tidak membosankan.

Los Cules memang telah menjadi sebuah kultur sepak bola yang tak tersamai. Kini, kewajiban peremajaan Barca sebagai sebuah komunitas yang “bukan sekadar klub”, dengan pesona keindahan permainannya, agaknya sudah saatnya dilakukan, siapa pun manajemen dan pelatihnya. Bisa oleh Quique Satien sekarang, bisa pula menanti eranya Xavi kelak.

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng