blank
SELESAIKAN PESANAN: Rehani, seorang perajin lampion tengah menyelesaikan pesanan lampion menjelang perayaan Imlek 2571/2020, di Jalan Arifin Ruko Widuran, Solo, Kamis (16/1). (suarabaru.id/lbc)

SOLO (SUARABARU.ID) – Perayaan Imlek atau tahun baru bagi warga Tionghoa terasa hambar jika tanpa ada pernik-pernik untuk memeriahkan. Salah satu ornamen ikonik yang paling diburu saat perayaan Imlek yakni lampion berwarna merah.

Bak sayur tanpa garam, tentu hambar rasanya. Pun perayaan imlek tanpa kehadiran lampion berwarna merah, tentu kurang meriah.

Bagi warga Tionghoa, lampion-lampion tersebut dipasang di sepanjang jalan, pelataran rumah dan kelenteng agar memberikan kesan yang meriah dan indah selama perayaan tahun baru Imlek tersebut.

blank

Menilik sejarah, dalam bahasa mandarin, lampion dikenal dengan sebutan dēng lóng atau dēng cǎi yang diperkirakan berasal dari masa 1800 tahun yang lalu, yaitu masa Dinasti Han Barat.

Lampion merupakan gabungan dari seni lukis, hiasan gunting kertas, origami, sulaman, yang mengunakan bahan bambu, kayu, rotan, batang gandum, tanduk hewan, bahan logam, dan sutera.

Lampion yang terbuat dari bahan ringan melambangkan bahwa pribadi yang rendah hati dan ringan dalam membantu orang lain, senantiasa dapat memudahkan jalan untuk menggapai puncak dari tujuan kehidupan dengan adanya respons sosial yang baik.

Doa-doa terbaik akan secara ikhlas diucapkan oleh orang-orang tercinta. Warna merah dari lampion dijadikan sebagai simbol keberuntungan dan menghindarkan dari hal-hal tidak baik dalam menjalani hidup di tahun-tahun yang akan datang.

blank

Namun di Indonesia, para perajin masih menggunakan kertas, rotan, logam untuk bahan dasar pembuatan lampion. Sebagian menggantikan kertas dengan kain puring yang ringan.

Masa Panen

Bagi perajin lampion, masa perayaan tahun baru bagi warga Tionghoa tersebut merupakan masa panen. Permintaan akan lampion melonjak tajam dibanding hari-hari biasanya.

Rehani (70) salah seorang perajin lampion mengatakan, puncak permintaan lampion yang dibuat bersama tujuh rekannya pada H-3 perayaan Imlek 2571/2020.

“Permintaan terbanyak untuk saat ini hanya dari Kota Solo dan sekitarnya. Kalau dari luar kota, kami tidak menyanggupi, karena permintaan dari Solo sudah cukup banyak,” terang Rehani sembari merangkai lampion setengah jadi.

“Sehari paling banyak bisa menyelesaikan 50 buah lampion. Saat ini permintaan melonjak 50 persen dari hari-hari biasanya,” sambungnya.

blank

Di kerajinan lampion milik A Hanif Marimba di Jalan Arifin Ruko Widuran, Solo ini, menyediakan beragam ukuran lampion dari diameter 20 cm hingga ukuran 60 cm, tergantung pesanan. Harganya pun bervarisasi, dari harga Rp25 ribu hingga Rp75 ribu.

“Paling banyak dipesan untuk diameter 30 cm dan 35 cm. Terkadang kami melayani pesanan lampion khusus berukuran besar,” ucap Rehani.

Membuat satu buah lampion berukuran 20 cm, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit, dari merangkai rangka besar, lalu bahan dasar rotan, pemasangan kain puring, hingga proses finishing.

“Untuk bahan baku, sampai saat ini tidak ada masalah, artinya tersedia terus menerus. Selain permintaan pada Imlek, permintaan yang melonjak pada perayaan HUT Kemerdekaan RI dan Lebaran,” tuturnya.

Saat perayaan HUT Kemerdekaan RI, lampion yang dipesan rerata berwarna merah putih, sementara saat hari besar uman Islam, lampion yang dipesan berwarna hijau.

LBC