blank
Erling Haaland

blank

Oleh Amir Machmud NS

PEMAIN bintang – agen- klub – nilai kontrak – transfer. Lima suku kata ini akrab menjadi representasi identitas dalam pusaran intrik industri sepak bola. “Manusia” seolah-olah hanya menjadi elemen kecil dari sebuah pergulatan bisnis besar. Dan, benarkah manusia sepak bola ibarat sekadar “faktor produksi” dalam profesionalisme kompetisi yang lebih beraksen budaya (pop) kapitalisme?

Anda boleh jadi hanya menikmati sepak bola dari sisi permainan yang menghibur, sebagai konsumen pragmatis. Anda mungkin tidak memedulikan tetek bengek di balik manajemen penatalaksanaan industri kompetisi yang berwatak mendiktekan opini tentang profesionalisme. Namun di sela itu, bisa jadi pula terkadang Anda terusik, ada apa ini ribut-ribut soal Paul Pogba, benarkah siap dijual atau tetap dipertahankan oleh manajemen Manchester United? Ada apa sebenarnya dengan Erling Burt Haaland, penyerang Salzburg yang sedang moncer itu, yang akhirnya lebih memilih berlabuh di Borussia Dortmund ketimbang bergabung dengan MU?

Pogba, Haaland, atau Zlatan Ibrahimovic yang setua apa pun tetap memikat AC Milan untuk mendatangkannya, juga Jadon Sancho yang memincut klub-klub besar, adalah sederet nama “manusia sepak bola” yang entah menjadi “pengendali pasar pemain” atau hanya “faktor produksi yang tak punya daya”. Nyatanya, pergerakan transfer, nilai jual, juga lika-liku proses kepindahan adalah bagian dari magnet industrial, dan itulah klimaks-klimaks exposure yang dibangun sebagai tren mediatika.

Pernah ada yang mengkritik, lalu lintas pergerakan pemain dari satu klub ke klub yang lain tak ubahnya “perbudakan moderen”. Pemain berada di tengah pusaran orientasi ekonomi yang menguntungkan sebuah sistem pasar industri, dengan elemen-elemen seperti agen, sponsor, organizer kompetisi, dan klub. Pada 2008, Sepp Blatter yang waktu itu Presiden FIFA, pernah menyindir betapa Cristiano Ronaldo lebih mirip sebagai “budak moderen”, lantaran tarik ulur rencana kepindahannya dari Manchester United ke Real Madrid.

Akan tetapi, sebagian tudingan itu termentahkan oleh realitas bahwa pemain pun bisa mengatur alur eksistensinya. Posisi tawar manusia-manusia seperti Lionel Messi, Ronaldo, bahkan Haaland cukup memperlihatkan bahwa kapasitas dan tanda tangan mereka mampu menepis intervensi kekuatan-kekuatan pengendali kapitalisme.

Kompetisi cenderung makin diwarnai oleh gambaran tentang jual-beli manusia, atau dalam bahasa yang lebih santun, “tawar-menawar kompetensi profesionalitas”. Dari sisi ini, makin langka kemampuan yang dijajakan sebagai daya tarik, makin mahal pula cara untuk mendapatkan manusia yang punya faktor pembeda itu. Hukum kapitalisme ini mirip dengan tawaran pertunjukan sirkus. Manajemen sirkus mencari dan mengandalkan manusia-manusia dengan kemampuan lebih. Performa kelangkaan itulah yang “dijual” sebagai pembeda.

Jadi, hakikatnya, lapangan sepak bola dengan pernak-pernik mediatikanya adalah pertunjukan “sirkus”; di dalamnya berlaku doktrin pasar tentang soccer-tainment. Maka tanpa sadar rasa kemanusiaan kita pun bisa menjadi begitu dekat dengan kehidupan Mohamed Salah, Sadio Mane, Roberto Firmino; juga sempat ikut prihatin dengan proses adaptasi Antoine Griezmann di Barcelona; atau ikut gemas kepada Mino Raiola, agen yang dinilai berperan di balik kegagalan Erling Haaland bergabung ke Old Trafford. Pun, kita turut sibuk membandingkan kualitas kejeniusan Juergen Klopp, Pep Guardiola, dan Jose Mourinho.

Aneka contoh narasi pergulatan rasa dan kedekatan itu, apa pula kalau bukan lantaran kemampuan pembentukan opini lewat arus setting mediatika? Dan, memang di balik ingar-bingar kompetisi liga-liga dunia, terdapat sisi gelap yang terkait dengan sumber pemain dan proses-proses kehadiran mereka. Dugaan arus “perdagangan anak” dari sejumlah negara Afrika dan Amerika Latin, misalnya, merupakan salah satu kecemasan tentang lorong gelap di antara kerlap cahaya industri sepak bola. Narasi “trafficking” itu tak jarang dipelesetkan sebagai perjuangan masyarakat miskin untuk mengubah nasib melalui sepak bola.

*  *  *

KEPINDAHAN Erling Haaland menjadi bukti contoh kesekian, betapa kuasa agen mampu menindih dan mengarahkan rasio pilihan. Logika argumentasinya tetaplah kekuatan uang sebagai “panglima” dalam tarik menarik kepentingan industrial. Dalam perspektif profesionalisme-kapitalisme sepak bola, “nilai kontrak” dan indikator iming-iming penguatnya adalah “wajah” yang berdaya kuasa sebagai identitas. Hanya sebagian di antara pusaran ekonomi itu yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan, ikatan sejarah, tautan hati, dan curahan rasa.

Tawar-menawar harga dengan segala konsekuensinya tak jarang menggambarkan, kebebasan pemain — yang seharusnya menjadi “seniman besar” yang berkuasa atas kehendak sendiri — akan terhegemoni oleh elemen-elemen dunia industri. Kuasa budaya pop acapkali menepikan independensi kehendak karena dominasi kalkulasi-kalkulasi ekonomi. Kasus kepindahan Mesut Oziel dari Real Madrid ke Arsenal, Philippe Coutinho dari Liverpool ke Barcelona, lalu ke Bayern Muenchen, Romelu Lukaku dari MU ke Inter Milan, juga Paul Pogba yang belum jelas akan ke mana, merupakan deret kisah mengenai bias dalam kehendak bebas manusia.

Dalam perjalanan Erling Haaland, kita belum bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dengan kariernya nanti. Bisa jadi pilihan ke Dortmund atas arahan si agen merupakan jalan yang pas, tetapi boleh jadi pula tidak seperti yang dia harapkan. Pada sisi lain, dia sudah membuka lebar jalan profesionalitas dari klub semenjana ke masa depan yang lebih menjanjikan.

Dan, bukankah itu bagian dari pusaran manuver, lika-liku yang menjadi kelaziman narasi industri sepak bola?

 

Amir Machmud NS, wartawan/kolumnis sepak bola, Ketua PWI Jateng