blank
H Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jaya Nusa). (Foto : dok)

Oleh H Idham Cholid

TANYALAH ke ‘Mbah Google’, apa arti Plat? Jawaban utama sebagaimana disuguhkan wikipedia adalah Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) atau sering disebut Plat Nomor.

Lalu, apa makna Plat Hijau dalam kontestasi Pilkada Wonosobo?

Sebagaimana kita baca di media, para kiai menggelar “Halaqah Ikhtiar dan Langkah Plat Hijau dari NU untuk Wonosobo 2020 yang Berkah dan Bermartabat” (Suara Baru.id, 2/1).

Plat Hijau dimaksud adalah “sayap politik” Kiai-Kiai NU. Dan memang pertemuan itu sendiri secara jelas mencantumkan: dari NU untuk Wonosobo.

Saya tidak mengetahui secara pasti, bagaimana proses lahirnya Plat Hijau dan apa agenda utama yang akan diperjuangkannya.

Saya hanya membaca dari pemberitaan yang ada, khususnya berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh tokoh yang hadir dalam halaqah tersebut, juga rekomendasi yang dihasilkannya.

Beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi menurut saya adalah tentang NU itu sendiri. Pertama-tama, yang harus diperjelas, apakah ormas NU Wonosobo harus terlibat langsung dalam kontestasi politik Pilkada?

Terlibat langsung dalam arti mengusung calon sendiri sangatlah jelas NU tidak akan bisa melakukannya, karena NU bukan parpol. Pencalonan hanya bisa dilakukan NU secara independen, tentu dengan syarat yang telah ditentukan menurut UU Pemilu.

blank
Beberapa Kiai mengikuti “Halaqah Ikhtiar dan Langkah Plat Hijau dari NU untuk Wonosobo 2020 yang Berkah dan Bermartabat” di Hotel Surya Asia. (Foto : dok)

Saham Politik

Namun sekadar meramaikan dan menyibukkan diri dalam hiruk pikuk politik itu memang tak dilarang. Siapa yang akan melarang orang berkumpul berbicara tentang politik?

Tentu, jika para kiai berkumpul menggelar halaqah, tidak sekadar bertemu tanpa ada kejelasan yang dituju. Sudah sangat jelas, tujuannya adalah mengusung calon yang layak diajukan. Dan sebagaimana yang direkomendasikan, ada 11 nama kader NU yang muncul.

Pertanyaannya, kenapa belakangan muncul 11 nama, sementara sebelum itu sudah ada tiga kiai yang secara khusus mengajukan hanya satu nama?

Sebagaimana diketahui 3 kiai NU, yakni KH Abdul Khalim Alh (Rois Syuri’ah PCNU), KH Nurhidayatullah (Ketua Dewan Syuro DPC PKB) dan KH Achmad Chaedar Idris (Musytasar PCNU), Senin (23/12/2019), telah mengajukan Abdul Arif untuk menjadi calon bupati Wonosobo 2020-2024.

Mungkin publik akan bertanya, ada apa sebenarnya? Sementara penilaian tertuju pada lemahnya komunikasi politik antara partai dengan para kiai. Partai yang dimaksud adalah PKB dan PPP yang di dalamnya para kiai itu bernaung.

Selain itu, tidak ada partai yang menempatkan para kiai pada posisi yang penting. Sebagian para kiai merasa, suaranya hanya diperlukan pada saat-saat tertentu saja.

Saat Pemilu mereka harus berkampanye, tapi setelah itu dibiarkan tanpa perhatian. Sampai pada penentuan calon juga tak dilibatkan.

Sehingga para kiai yang merasa mempunyai saham politik karena mempunyai basis suara harus juga bergerak sendiri, terlebih ketika ada sebagian kiai yang lain telah dianggap berjalan sendiri mengajukan calon tanpa melakukan komunikasi yang baik dengan kiai-kiai yang lain.

blank
Tiga kiai NU mengajukan nama Abdul Arif sebagai calon bupati Wonosobo 2020-2024. (Foto : dok)

Politik Kolektif

Mungkin masing-masing mempunyai dalil, inilah hak politik. Jika itu dasarnya, maka sebaiknya harus dirumuskan hak politik kolektif yang bisa mengakomodasi kepentingan besar para kiai.

Mungkin dengan cara PKB dan PPP secara bersama-sama menggelar pertemuan khusus dengan para kiai. Bila perlu seluruh partai menggelar pertemuan secara bersama-sama.

Apa yang tak mungkin dilakukan? Toh hampir seluruh ketua dan pengurus parpol yang ada di Wonosobo adalah nahdliyin, kader NU.

Tentu, para kiai yang dilibatkan juga jangan hanya kiai yang menonjol di permukaan saja, tapi juga kiai-kiai yang tidak mengemuka perlu diikut-sertakan. Ya setidaknya memberikan kabar juga memohon doa restu mereka.

Memang tak mudah mewujudkan kebersamaan. Selain agendanya harus jelas, yang terpenting adalah kesadaran untuk menanggalkan egoisme politik. Ini berlaku untuk semua, tidak hanya para politisi namun juga para kiai itu sendiri.

Jika masing-masing bergerak sendiri, sangatlah mungkin itu terjadi. Dalil politik yang paling lumrah: Siapa melakukan apa, bagaimana dan mendapatkan apa? Tentu bukanlah itu etika politik yang hendak dibangun para kiai kita.

Sehingga kalau bicara plat, ibarat TNKB, tidak sekadar plat nomor yang didapatkan tapi harus juga legal dan halal. Apa gunanya plat nomor bodhong?

Saat ini tentu tak sekadar plat yang harus dibicarakan. Lebih dari itu, kita perlu platform kebersamaan!

H Idham Cholid, kader NU, mantan Ketua Dewan Tanfidz DPC PKB Wonosobo. Kini Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jaya Nusa)