blank
Suasana diskusi para seniman Tegal di warung “Si Oz” Kalibuntu, Kota Tegal. Foto: Istimewa

TEGAL – Setelah muncul karya puisi aliran baru Wangsi (Wangsalan Puisi), awal tahun 2020, Komunitas Sastrawan Tegalan kembali melahirkan genre baru dalam kemasan estetika puisi pendek Tegalan yang dinamai Kur 267. Hal tersebut dikatakan penulis buku dan kritikus, Muarif Esage, Kamis malam (2/1).

Menurut Muarif, lahirnya aliran baru tersebut bermula dari diskusi perihal haiku dan haiku Tegalan yang pernah ditulis Lanang Setiawan dalam buku Jalan Sutra 228 Haiku Tegalan dan Haiku Tegalan Autobiografi Lanang Setiawan. Perbincangan malam itu sampai pada pemakaian kata hai pada karya Lanang.

“Di tengah-tengah perbincangan antara Lanang Setiawan, Dwi Ery Santoso, Mohammad Ayyub, Suroso Benan, dan saya, menyoal kata haiku yang digunakan Lanang diganti dengan diksi Tegalan yang lebih membumi daripada kata haiku, genre puisi pendek yang berasal dari Jepang,” terang Muarif.

Lebih lanjut dia menuturkan, dari pembincangan  yang cukup sengit antara Lanang Setiawan dan Dwi Ery Santoso, lahirlah Kur 267. Landasan estetika menjadi pembahasan untuk memberi sebuah pertanggungjawaban. Lantas, apa makna sesungguhnya dari Kur 267?

“Kata kur secaras etimologi berasal dari bahasa Tegalan. Kata pendek ini berarti hanya, cuma, atau satu-satunya. Dalam bahasa Tegalan, kata kur memiliki padanan kata dengan mung dan gel. Sementara kata kur ini dimaknai sebagai puisi pendek bahasa Tegalan untuk menggantikan kata haiki dalam tradisi sasra di Jepang. Puisi pendek genre baru dalam Puisi Tegalan yang dinamai Kur 267 terdiri atas tiga larik atau baris,” tandasnya.

Sementara itu Lanang Setiawan menjelaskan, cara tuang untuk membuat Kur 267, pada larik pertama, terdiri atas dua suku kata, larik kedua terdiri atas enam suku kata, dan larik ketiga terdiri dari tujuh suku kata.

“Penamaan 267 (loro-nem-pitu) memang berasal dari jumlah suku kata untuk setiap larik dalam karya sastra “Kur”…” terang Lanang.

Lebih jauh, Dwi Ery Santoso memapaskan, 267 tersebut lebih dimaknai sebagai penanda “Hari Kelahiran Sastra Tegalan” yang diperingati setiap tanggal 26 November. Adapun angka “7” dalam bahasa Tegalan dibaca pitu, dimaknai sebagai pitulungan.

“Dalam konsep yang lebih luas, tanggal 26 adalah pitulungan bagi kelangsungan masa depan bahasa Tegalan yang terpinggirkan untuk kemudian diperjuangkan dalam gerakan Sastra Tegalan,” kata Dwi Ery Santoso, yang kondang dengan sebutan Presiden Penyair Tegalan.

Lebih lanjut dia mencontohkan genre baru Kur 267 yang ditulis oleh Lanang Setiawan, Dwi Ery Santoso, dan Mohammad Ayyub. “Kur 267” karya Lanang Setiawan berjudul “Pegat”: /Berem/Pegatan ben taun/Nyangga isin por nemen//. “Kur 267” berjudul “Apes” karya Dwi Ery Santoso://Riya/Swarga dadi wurung/Mbangkana apes nemen//. Sedang “Kur 267” berjudul “Masakha” karya Mohammad Ayyub://Nyah-nyoh/Gursi ngongkon amal/Mlarat jiprat masakha//.

*-trs