blank
Sebuah Arca Ganesa di temukan di lahan pertanian di kawasan wisata Dieng Wetan Kejajar Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Sebuah Arca Ganesa ditemukan di lahan pertanian di kawasan wisata Dieng Wetan Kejajar Wonosobo. Posisi tempat penemuan benda bersejarah tersebut berada di sebelah Selatan Masjid Desa Dieng Wetan.

Arca Ganesa ditemukan kali pertama oleh pekerja bangunan yang tengah menggali tanah untuk didirikan sebuah bangunan baru di tempat tersebut. Penemuan benda peninggalan masa lalu itu, lalu dilaporkan kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Dieng.

Peneliti Komunitas Cagar Budaya Banjarnegara Dhimas  Ferdhianto, Senin (30/12), mengatakan penemuan Arca Ganesa di Dieng Wetan, membuktikan masih banyak arca dan bangunan candi yang belum ditemukan di kawasan pegunungan Dieng.

Menurutnya, merujuk pada laporan Raffles di buku The History of Java, Dieng sebenarnya memiliki banyak sekali bekas bangunan candi. Disebutkan di buku tersebut, dalam beberapa menit saja kunjungan ke Dieng, beliau sudah mendapati lebih dari 400 candi.

“Itu artinya masih banyak situ sejarah lain yang belum ditemukan kembali di Dieng. Bangunan candi Prau sendiri jelas tergambar dalam buku Raffles karena ada sketsanya. Dimungkinkan ada bangunan-bangunan lain yang punya nilai sejarah penting,” jelasnya.

Sejak dulu banyak situs sejarah yang rusak dan hilang di Dieng. Bebatuan jenis andesit memiliki karakteristik unik dibandingkan bebatuan penyusunan candi di Magelang dan Klaten. Batu candi di Dieng lebih ringan sehingga mudah dipindahkan.

“Hal itu menyebabkan pencurian arca dan perjual-belian bebatuan candi maupun pemindahan batuan dari situs mudah dilakukan siapapun. Dieng juga beberapa kali tercatat mengalami bencana akibat aktivitas vulkanik,” terangnya.

Situs Terancam

blank
Beberapa pekerja bangunan tengah menggali tanah di lokasi penemuan benda bersejarah di sebelah Selatan masjid Dieng Wetan. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

Menurut Dhimas, di tahun 1900-2000-an masyarakat Dieng merasakan gempa hampir setiap hari. Hal itu memperburuk kondisi situs yang ada, beberapa yang menjadi korban adalah Kompleks Candi Parikesit, Nakula, Sadewa, Nalagareng dan Setyaki.

“Beberapa candi hancur setelah tanah sekitarnya longsor. Pertumbuhan penduduk dan izin pembebasan tanah yang dikeluarkan pada masa kolonial, membuat batu candi terpendam di sekitar Gunung Sipandu, Sikendil, Prau dan Pager Kandang,” katanya.

Perkembangan penduduk dan aksi Presiden Soeharto (saat itu) yang membagikan setifikat lahan kepada para pendatang yang ke Dieng, tambanhya, diikuti ada izin membuka lahan pertanian bagi warga setempat menyebabkan banyak situs terancam.

“Pendataan lahan yang dilakukan BPCB tahun 1980-an menemukan tanah milik Direktorat Kepurbakalaan banyak yang tumpang tindih kepemilikan sertifikatnya. Karena masyarakat Direktorat Kepurbakalaan sama-sama memiliki sertifikat atas tanah tersebut,” paparnya.

Karena tidak ada tindakan tegas pemerintah, tambahnya, warga setempat dan pendatang semakin gencar melakukan pembukaan lahan pertanian dan memukiman. Banyak sekali kompleks percandian yang terkubur di permukiman warga dan lahan pertanian.

“Contohnya Situs Watu Kelir, Kompleks Candi Magersari, Candi X, Candi U dan puluhan candi yang tergusur untuk pembangunan Jalan Lingkar Dieng. Saluran Air Gangsiran Aswatama juga telah tertutip talud  saat pengembangan Puskesmas 2 Batur,” terangnya.

Pihaknya berharap, peran pemerintah dan masyarakat setempat akan pelestarian benda cagar budaya di Dieng harus ditingkatkan. Jika tidak ada kesadaran bersama beberapa situs yang masih tersisa dikhawatirkan ke dapan juga akan hilang.

Muharno Zarka-wahyu