blank
Seorang pegawai Pemprov Jateng, saat melakukan penempelan stiker antikorupsi. Foto: dok/jatengprov.go.id

Oleh: Amir Machmud NS

blank

BAHASA stiker lebih membuat takut para pejabat publik ketimbang penandatanganan sebuah pakta integritas?

Belum lama ini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan, para kepala dinas di lingkungan pemerintah provinsi, dan ratusan kepala sekolah merasa ketakutan ketika diharuskan menempel stiker “Nek Aku Korupsi Ora Slamet” di mobil dinas mereka.

Ide itu diperkenalkan dan dilaksanakan Ganjar dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember lalu. Pro-kontra wajar muncul. Bukankah gagasan itu hakikatnya adalah dekonstruksi dari seremoni penandatanganan pakta integritas yang selama ini menjadi tradisi birokrasi dalam pengangkatan pejabat?

Apakah getar tradisi pakta integritas itu terasa makin tidak teruji? Realitasnya, ketika dengan sepenuh seremoni pernyataan komitmen keamanahan itu ditandatangani, seriuh itu pula penangkapan para tokoh yang diduga melakukan korupsi masih terus terjadi. Seolah-olah menjadi satu dan lain hal: tidak ada persambungan antara simbolisasi komitmen dengan ketidakmampuan daya tahan menghadapi godaan korupsi.

Stiker ala Ganjar, kalau dibahasakan sebagai narasi simbolik, bukankah sebenarnya juga merupakan bentuk lain seremoni? Hanya, bedanya, cara untuk mengajak dengan menyentuh hati mereka yang menempelkanlah yang terasa lebih sederhana dan kasual.

Cara itu mudah diingat sebagai semacam “sumpah” yang sehari-hari mengingatkan, dan lebih mendekat ke urat malu karena terpublikasi sebagai “sikap”. Secara sosial, kontrol publik bisa dihadirkan untuk mengawal pejabat pengguna mobil-mobil yang ditempeli sumpah antikorupsi itu.

Narasi ringkas dalam stiker itu diharapkan menjadi semacam “mantera” yang menebar pengawasan, menghadirkan rasa takut untuk menyimpang dan menyalahgunakan kekuasaan. Kalau melakukan korupsi, hidupnya tidak akan selamat. Ya karena bisa terjerat hukum, ya karena aura “daya magis” sumpah yang disampaikan dalam stiker tersebut. Selebihnya, pesan terkuat adalah dorongan berkembangnya atmosfer preventif, berupa perasaan malu untuk melakukan korupsi karena merasa diawasi oleh masyarakat, keluarga, lingkungan kerja, dan hati nuraninya sendiri.

Terobosan Kasual
Komunikasi publik dan kontrol internal di lingkungan Pemprov Jateng dengan terobosan kasual itu, bagaimanapun membumikan pesan yang terasa lebih verbal. Tersirat kehendak untuk memecah kebuntuan dengan cara tertentu, sebagai ungkapan mencari alternatif pesan peringatan ketimbang pakta integritas yang seremonik. Jadi, di balik itu terdapat ikhtiar transformasi nilai-nilai.

Mereka yang tidak sepakat mungkin akan melihat cara-cara semacam itu hanya sekadar jargon usang. Simbolisasi dengan model apa pun tergantung pada manusia-manusianya. Akan tetapi, pada sisi yang lebih jauh, ini adalah ikhtiar terobosan untuk meyakinkan aparatur pemerintahan sekaligus menunjukkan komitmen sikap antikorupsi kepada publik, menyerahkan pula gereget pengawasan kepada masyarakat. Selebihnya, dibutuhkan evaluasi untuk melihat sejauhmana pengaruh gerakan penempelan stiker yang digambarkan mampu menebar urat takut itu.

“Ora slamet”, dalam penarasian komitmen, menjadi pengucapan sumpah yang sehari-hari dipakai dalam interaksi janji masyarakat. Bungkus bahasanya bisa menjadi misalnya “potong leher saya”, “potong tangan saya”, “siap ketabrak mobil”, “gelem kithing drijiku”, “wani njegur sumur”, dan semacamnya untuk meyakinkan penjaminan sebuah janji. Tak jarang pula, substansi sumpah keseharian itu dipelesetkan lewat reduksi kata-kata yang menunjukkan bahwa “janji akan tinggal janji”, semisal dengan ucapan “saya siap ketabrak semut”, atau “potong kuku jari saya”.

Fenomena reduksi itu, dalam konsep terobosan penempelan striker, bakal terlawan dengan persaksian publik. Ada nuansa kontrol yang mendorong munculnya efek malu dan efek jera. Bahasa sederhananya, ketika masyarakat sudah membaca ikrar tersebut, efeknya bakal lebih kuat bergema sebagai fungsi pengawasan ketimbang memperbanyak dokumen pakta integritas yang ditandatangani lalu disimpan di lemari arsip.

Gaya komunikasi memang bisa beraneka. Di antara produk-produk kreativitas ekspresi komitmen, muaranya adalah bagaimana secara efektif menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk menuju ke sebuah perubahan atau kondisi tertentu. Ada diksi, narasi, dan kemasan pesan untuk dicerna, dihayati, dan dipancarkan sebagai sikap.

Stiker ala Ganjar Pranowo itu memuat kehendak untuk berkontribusi membangun kultur sikap antikorupsi. Bukankah ini bagian dari ikhtiar preventif yang berbahasa pesan mendorong munculnya efek takut, lalu ketakutan itulah yang diharapkan menjaga jangan sampai para pemegang amanah kekuasaan bakal “ora slamet” karena melakukan korupsi.

Dengan kalimat lain, ketika sudah berani menempelkan stiker tersebut, pertanggungjawaban “slamet” atau “ora slamet,” tak cukup hanya di dunia…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah