blank

Oleh Amir Machmud NS

blankMASIH “sempatkah” orang-orang media berpikir dan mengimplementasikan sikap kenegarawanan dalam kebijakan newsroom-nya?

Sikap itu, yang dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tertafsirkan sebagai tanggung jawab sosial media, terutama di era informasi bebas seperti sekarang, menjadi terasa sangat penting untuk memoderatori aneka “diskusi publik” yang menyeruak dalam ruang pemberitaan media.

Diskusi publik itu acapkali mewujud dalam perdebatan-perdebatan dan pembentukan opini. Ada yang memang di-setting lewat mata acara talk show televisi dan polemik di media cetak dan online, yang didorong blow up di media sosial. Ada pula yang mengapung di ruang pemberitaan lantaran kepintaran sejumlah tokoh untuk mempengaruhi ketertarikan media yang kemudian mengangkat pernyataan-pernyatannya ke dalam pemberitaan. Dan, kloplah tujuan para tokoh itu untuk membentuk opini publik dengan memanfaatkan ruang media.

Wartawan dan media seringkali tidak mempertimbangkan visi esensi positioning-nya sebagai moderator, namun lebih pada realitas ketertarikan lantaran aspek sensasi materi yang muncul. Atau malah sensasi itu sengaja diciptakan atas nama kepentingan tiras atau rating, bahkan dengan tujuan orientasi finansial berbasis advertorial atau berbentuk “berita terarah”.

Dalam kondisi demikian, tanggung jawab sosial yang terekspresikan sebagai sikap bijak negarawan bisa saja diabaikan. Masyarakat seolah-olah hanya secara “given” disodori informasi, dipersilakan begitu saja untuk menerima, mencerna, menafsiri, menyerap, dan kemudian menyimpulkan isi berita tertentu.

Dari fungsi memberi informasi, atau kontrol sosial seperti amanat Undang-Undang Pers, tentu oke-oke saja. Tetapi bagaimana dengan peran pers untuk memberi pendidikan?

Fungsi edukasi ini punya nilai yang membutuhkan komitmen sikap dan penafsiran tersendiri. Ada tujuan mulia berupa kemaslahatan bersama. Tanggung jawab sosial mengemban pilihan protagonis dan antagonistik tentang baik – buruk, peduli – tidak peduli, empati – antipati, dan dikotomi-dikotomi yang menawarkan simpang sikap kepada wartawan dan newsroom media: akan memilih yang mana?

Banalitas Sikap

Dalam praksis, banalitas menjauhi sikap kenegarawanan media sangat terasa terutama dalam berbagai hajatan politik. Pemilu Presiden 2014, 2019, dan Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017 mengetengahkan fenomena tersebut. Sebagai dinamika amatan perkembangan praktik berjurnalistik dan bermedia, kita mendapatkan “ilmu baru” untuk dicarikan antitesis baru, sekaligus bentuk bias yang terisyaratkan akan selalu aktual dalam setiap perhelatan politik.

Lalu akankah media terus menerus kehilangan pertimbangan dan kendali akal sehat?

Pertama, memilih sikap politik merupakan sebuah keniscayaan bagi media-media. Apalagi jika pemilik modal punya afiliasi politik-ekonomi tertentu. Umumnya, pilihan sikap itu akan diatasnamakan pada tujuan kepentingan bersama, siapa pun calon yang meraka usung. Akan tetapi, pilihan sikap tersebut bisa saja berubah drastis dalam masa-masa kontestasi politik berikutnya, juga atas nama pertimbangan kepentingan politik-ekonomi.

Kedua, perusahaan media sekarang ini rata-rata menghadapi masalah kehidupan (kesehatan). Tak sedikit yang bergulat dengan problem cash flow dan kesulitan potensi investasi. Bagaimana berpikir tentang idealisme pemberitaan manakala mereka lebih diribetkan mengurus jaminan kelangsungan masa depan perusahaan, konsistensi gaji wartawan, belum lagi pada upaya-upaya untuk mengumpulkan keuntungan?

Ketiga, seiring dengan perkembangan platform teknologi media, idealisme wartawan juga terus bergulat mencari bentuk. Mereka harus berselancar untuk eksis dan survive sebagai kebutuhan dasar manusia bersama keluarganya, dan pada sisi lain dituntut untuk menegakkan idealisme membela kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan hati dan komitmen seperti apa mereka harus mengarungi situasi tersebut?

Keempat, jalan tengah seperti apa yang bisa diapungkan? Apakah membiarkan pergeseran jalan antara realitas kondisi sulit kehidupan perusahaan media dengan bersikap permisif terhadap pilihan menabrak idealisme kewartawanan? Atau membiarkan tuntutan kuat idealisme tanpa melihat kondisi-kondisi nyata yang menggerus masa depan kehidupan media?

Kelima, seperti apa kira-kira bentuk sikap kenegarawanan yang mewujud dalam positioning praktik profesi wartawan dan media, sehingga betul-betul bisa menjadi moderator di tengah lalu lalang kepentingan politik-ekonomi? Atau bagaimana seharusnya menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, “Masih sempatkah orang-orang media berpikir dan mengimplementasikan sikap kenegarawannya?”

Waktu, dan ikhtiar-ikhtiar peduli terhadap perkembangan peran medialah yang akan menentukan seperti apa bentangan jalan di depan. Bagi pembangunan dan pendidikan demokrasi, wartawan dan media harus tetap eksis dan survive. Karena peran dan fungsi nyata media untuk menuju kesejahteraan hidup bersama, maka problem survivalitas yang sekarang dihadapi adalah juga merupakan masalah kita bersama, masalah media dan para stakeholder-nya.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah