blank

Oleh MG Westri Kekalih Susilowati

blankIndonesia, dengan jumlah penduduk dan potensi ekonomi yang besar akan selalu menarik minat investor. Dengan kondisi tersebut, Indonesia dapat dipastikan dapat mewujudkan cita-cita menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke empat di dunia. Sayangnya, dalam  Indeks Kepercayaan Bisnis 2019 ditemukan bahwa sebagian besar investor asing khawatir tentang korupsi.

Berinvestasi di Indonesia

Pemerintah membutuhkan berbagai sumber pembiayaan karena memiliki keterbatasan fiskal. Salah satu sumber pembiayaan yang sangat diharapkan untuk menggerakkan pembangunan adalah investasi swasta, baik PMA, PMDN maupun investasi lainnya. Persoalannya, investasi adalah keputusan rasional investor.

Dengan asumsi investor memiliki orientasi pada keuntungan, investasi akan dilakukan jika menguntungkan, dan sebaliknya. Maka, dalam memilih destinasi investasi, juga akan mempertimbangkan hal tersebut. Jika suatu wilayah atau negara dianggap memiliki iklim investasi yang kondusif, investor akan mengarahkan investasinya ke wilayah atau negara tersebut.

Iklim investasi tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, atau lebih khusus mengenai finansial saja, namun bersifat multidimensi. KPPOD dalam melakukan pemeringkatan daya tarik investasi tahun 2004 dan beberapa tahun sesudahnya menggunakan lima faktor yang membentuk iklim investasi, yakni kelembagaan, sosial politik, ekonomi, tenaga kerja dan produktivitas, serta infrastruktur fisik.

Dalam tata-kelola ekonomi daerah, beberapa hal penting yang terkait dengan iklim investasi antara lain   akses lahan, infrastruktur, perijinan, perda, biaya transaksi, kapasitas dan integritas kepala daerah, interaksi pemerintas dengan pengusaha, PPUS, serta keamanan dan penyelesaian konflik. Berinvestasi di Indonesia masih dinilai berisiko, rumit dan tidak kompetitif, regulasi tidak terprediksi. inkonsisten, dan saling bertentangan.

Investasi dan Korupsi

Indeks keyakinan Bisinis menunjukkan bahwa pada dasarnya investor (khususnya investor asing) masih yakin akan iklim investasi di Indonesia, namun masalah korupsi menjadi salah satu tantangan terbesar terkait dengan perbaikan iklim investasi di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh SurveWorld Economic Forum menempatkan korupsi pada posisi pertama sebagai penghambat investasi di Indonesia. Kamar Dagang Inggris yang menyusun indeks keyakinan bisnis sejak tahun 2012 menemukan bahwa persepsi investor terhadap korupsi di Indonesia memburuk selama setahun terakhir.

Indeks Kepercayaan Bisnis 2019 menemukan bahwa 51 persen investor asing khawatir tentang korupsi, dibandingkan dengan 43 persen pada 2018 dan 49 persen pada 2017. Meskipun kondisi di Indonesia membaik dengan skor persepsi korupsi sebesar 32 pada tahun 2012 menjadi 38dari 100 poin pada tahun 2019, korupsi masih menjadi salah satu faktor yang disinyalir menyebabkan tidak ada satu pun bisnis yang relokasi ke Indonesia pada tahun 2019 (worldbank,2019). Korupsi dianggap sebagai faktor penghambat investasi karena menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian hukum, inefisiensi dalam alokasi sumberdaya, ketimpangan dalam distribusi ekonomi, serta persaingan usaha yang tidak sehat.

Keterkaitan antara iklim investasi dengan korupsi tercermin pada pola pergerakan antara iklim investasi yang tercermin pada indeks kemudahan berbisnis (IKB) dengan pergerakan indeks persepsi korupsi (IPK). Untuk kasus di Indonesia berdasar data deret berkala menunjukkan bahwa semakin tinggi IPK semakin tinggi pula IKBnya.

Sementara itu, secara cross section dengan membandingkan IPK dan IKB beberapa negara, terbukti bahwa negara dengan IPK tertinggi juga merupakan negara-negara dengan IKB terbaik. Beberapa negara tersebut antara lain New Zealand, Denmark, Singapura, Hongkong dan Swedia. Negara-negara tersebut menempati urutan tertinggi baik mengenai kemudahan usaha maupun persepsi korupsi.

Persoalannya, fenomena yang ada di negeri ini adalah terdapat banyak politisi yang merupakan pengusaha. Adanya dua peran dengan konflik kepentingan berada pada satu orang yang sama menyebabkan batas kewenengan antara penguasa dan pengusaha menjadi kabur. Kepentingan politik dapat ditumpangi kepentingan bisnis.

Mahalnya “Kursi Dewan”

Jer basuki mawa beya. Pepatah jawa yang berarti segala sesuatu membutuhkan biaya. Demikian juga untuk menjadi anggota dewan yang terhormat. Konon, untuk menjadi calon anggota dewan membutuhkan biaya  Rp 1 miliar-Rp 2 miliar untuk DPR RI, Rp 500 juta-Rp 1 miliar untuk DPRD Provinsi dan Rp 250 juta-Rp 300 juta untuk DPRD Kabupaten/Kota. Itu adalah kisaran biaya minimal, dalam kenyataannya dapat mencapai Rp5 miliar (Kompas, 08/2019).

Jika beruntung kursi diperoleh, para anggota dewan ini juga dibebani kewajiban iuran partai, yang konon mencapai tidak kurang dari >40% gaji anggota legislatif karena keuangan parpol di Indonesia tidak pernah mandiri (tirto.id, 2018). Begitu mahalnya harga satu kursi dewan, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.

Idealnya, politikus memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara keutuhan NKRI. (UU nomor 2/2008). Ketika politikus adalah pengusaha, masih mampukah mereka menyuarakan kepentingan rakyat jika “harga kursi dewan” begitu mahalnya. Sebab, sebagai pengusaha, seseorang akan mengambil keputusan yang didasarkan pada pertimbangan keuntungan. Hitungan bisnisnya, bagaimana dan kapan balik modal?

Tidak ada yang salah selama dilakukan dengan cara yang benar, menjalankan bisnis secara efisien. Persoalan muncul ketika pengusaha yang sekaligus politikus menempuh jalan pintas yang melanggar peradapan. Suap dan gratifikasi akan menjadi pilihan untuk memuluskan bisnisnya.

Untuk menekan tingkat penyuapan dan kolusi dalam rangka memperbaiki iklim investasi, pemerintah telah melakukan langkah-langkah, di antaranya adalah mengembangkan proses aplikasi bisnis secara online. Bertitiktolak dari PP nomor 24 tahun 2018, online single submission (OSS) untuk memulai bisnis mulai diterapkan. namun, dalam hal pemberantasan korupsi yang utama tetap masalah integritas. Integritas seseorang dapat menjadi rapuh ketika seseorang dihadapkan pada konflik kepentingan.

Kaburnya batas penguasa-pengusaha yang memungkinkan terjadinya kong kalikong  antara bohir (Pengusaha) dan politikus (anggota Dewan) sehingga terjadi korupsi, gratifikasi dan suap. Maka, selain mengembangkan sistem yang mampu menekan timbulnya suap dan gratifikasi seperti OSS, penguatan integritas politikus (terutama yang berlatar belakang pengusaha) harus dilakukan. Ingat bahwa, korupsi menghambat investasi yang berarti korupsi adalah  ancaman ekonomi bangsa.MG Westri Kekalih Susilowati, Fakutas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang