Oleh Amir Machmud NS

blankTIGA puluh tujuh tahun bergelut dengan media cetak membuat pergerakan pikiran dan fisik saya ke media digital sempat terkendalai oleh kondisi susah move on. Tetapi the show must go on. Layar kehidupan media dan dunia kewartawanan tak mungkin hanya tercencang oleh romantisme masa lalu. Seperti hidup yang harus tetap berjalan, media dan dunia kewartawanan juga bergerak terus dengan wajah dan segala dinamikanya.

Halaman koran sudah sejak lama banyak ditinggalkan. Sebagian generasi milenial bahkan kurang mengenal, hanya tahu sedikit, dan enggan pula menyimak. Pada sisi lain, belum
seluruh jiwa para loyalis surat kabar rela beralih sepenuhnya ke layar online. Bagi angkatan media cetak, koran masih dirasakan punya eksotika kultur literal yang tak tergantikan.

Hanya, sekali lagi, media bergerak dengan babak-babak baru kehidupannya, dan terus diperbarui.

Dari wilayah akademik, silabus pengajaran dunia jurnalistik dan kemediaan di kelas-kelas ilmu komunikasi di perguruan tinggi juga terus menerus harus beradaptasi dengan kecepatan mobilitas teknologi informasi. Ruang perkuliahan masih dimungkinkan mengkilas balik romantisme produksi konvensional surat kabar, karena jurnalisme tentu wajib mengajarkan jejak sejarahnya. Namun tantangan kurikulum yang bisa menjawab realitas perkembangan pergerakan praksis media jelas tak bisa lagi ditunda-tunda, harus selalu siap berdinamika. Ada realitas, “ilmu” seolah-olah tidak mampu “mengikuti” kecepatan perkembangan kebutuhan berkomunikasi. Disrupsi hadir begitu dahsyat, mencerabut pilar-pilar kemapanan informasi, komunikasi, dan teknologinya.

Ruh Jurnalistik

Yang tidak berubah dan tidak boleh berubah mungkin hanya ruh dan semangat kejurnalistikannya. Tesis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku klasik Elemen-elemen Jurnalisme, akan abadi tak terkondisikan oleh praksis teknologi media, bahwa “Tugas utama praktisi jurnalisme adalah memberitakan tentang kebenaran”.

Tujuan itulah yang tidak akan terpatahkan oleh seberapa kuat pun arah konvergensi media yang menandai pemaksimalan fungsionalisasi aneka peranti teknologi informasi. Apa pun medianya, dalam kredo nilai-nilai, tujuan itu memberi pencerahan tentang jurnalisme yang harus tetap hidup dan dihidupi. Justru teknologi medialah yang sejatinya hanya merupakan penyangga perawatan nilai-nilai itu.

Komunikasi massa sekarang mengetengahkan realitas paralelisasi kuda pacu: antara media arus utama dan yang dalam ranah media sosial. Perbedaannya hanya pada muatan, mekanisme produksi, dan tanggung jawabnya.

Media mainstream bermuatan produk jurnalistik dengan tanggung jawab institusional. Sementara itu, media sosial lebih bermuatan rumor, gosip, dan isu dengan kesimpulan-
kesimpulan yang berlatar tanggung jawab personal. Tujuan dua kuda pacu itu sesungguhnya sama, yakni mencoba membangun kepercayaan publik. Terasa pula fenomena ketidakpedulian mengenai bagaimana cara menjejalkan kepercayaan itu agar menjadi opini masyarakat.

Nilai setting dan framing akan terasa dari tujuan tersebut. Yang membedakan adalah mekanisme proses produksi informasinya. Media arus utama membangun kepercayaan publik melalui informasi yang akuntabel, dan akuntabilitas itu harus diraih dengan disiplin verifikasi. Sedangkan media sosial menginformasikan sesuatu tanpa melewati mekanisme pertanggungjawaban akuntabilitas. Dari postingan ke postingan lebih berpijak pada pemanfaatan kecepatan kekuatan jaringan dengan berbagai platform. Juga target untuk sejauh mana bisa menjadi influencer opini.

Kita sadari atau tidak, ketergopoh-gopohan migrasi cetak ke digital acap melalaikan ruh dan nilai-nilai tersebut. Kita seperti lebih disibukkan oleh strategi bisnis yang turbulens ketika mendapati pemasukan iklan yang berbeda skala, juga lika-liku relasi interaksi teknologis dengan google yang akan berpengaruh ke eksistensi survival menangguk kue iklan.

Efisiensi perusahaan untuk mengefektifkan sumberdaya manusia pengelola portal-portal berita juga menuntut strategi manajemen yang tepat untuk mengalkulasi sensitivitas
newsroom sekaligus kekuatan pilar bisnisnya. Adaptasi inilah yang harus dihadapi sebagai dunia baru jurnalistik dan media.

Dari kolaborasi — yang sebenarnya juga ber-esensi sama dengan prinsip-prinsip manajemen media cetak — itu, sikap ketat terhadap nilai-nilai jurnalisme tetap bisa diketengahkan. Setidak-tidaknya orang-orang newsroom tetap berkeniscayaan memilih apa saja yang layak tayang, dan mana saja yang tidak layak tayang dari pertimbangan-pertimbangan mekanisme verifikasi jurnalistik, kepentingan umum, dan fungsi ideal pers.

Karakter kebergegasan media online menuju pemostingan dibandingkan dunia cetak yang memiliki cukup rentang waktu menuju pracetak dan cetak, membutuhkan kematangan sikap berjurnalistik tersendiri. Kematangan yang harus terus menerus diasah itulah yang kita harapkan bakal memperkuat dunia digital media, dan menunjukkan karakter pembeda dari perilaku bermedia sosial.

Dengan kata lain, tanggung jawab moral-sosial tidak akan pernah berubah, dan harus dijaga agar tidak berubah, apa pun platform medianya.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah