blank

ADA pertanyaan yang sulit  dijawab soal “Tapa Pendhem” atau laku batin “dikubur hidup-hidup”. Saat saya tanya Pak Kiai, dijawab: Jika pelakunya  itu muslim dan otaknya masih normal, maka dia tetap punya kewajiban salat.

Sementara pihak lain mengatakan, laku tapa pendhem itu meniru ibadahnya Sunan Kalijaga. Ketika mereka ditanya dasarnya dari apa? Dijawab, pernah nonton adegan Kanjeng Sunan dikubur hidup-hidup dalam film Sunan Kalijaga.

Ada juga yang mengatakan, tapa pendhem yang tampak dalam film itu belum tentu adegan yang sesungguhnya. Bisa jadi itu hanya tutur-tinular yang hakikatnya adalah ajaran untuk “sembunyi pada alam yang terang, mengubur ego, tawaduk, ikhlas, dsb.

Ada pendapat, kisah tapa pendhem yang kemudian difilmkan itu kisah metafora atau perumpamaan yang kemudian oleh kalangan awam dimaknai mentah-mentah, dan kita perlu memahami makna kisah yang ambigu’ dari para wali sanga, dan jika diambil garis besarnya, ada beberapa objek yang utama untuk dipahami.

Konsep Laku

Misalnya: Buah atau woh, (wohing hati), kolang-kaling (hati yang terbolak-balik), tongkat – saka– tiang – tiang agama. Jaga Kali – menjaga wudhu dan shalat. Makna  mengubah kolang-kaling menjadi emas. Buah kolang-kaling digambarkan, yang oleh Sunan Kalijaga cukup  disentuh dengan tongkat lalu menjadi emas, hingga takjublah kemudian Si Lokajaya.

Sebagian ada yang berpendapat, yang berkaitan dengan  tapa pendhem itu memang nyata dan tidak bisa diungkapkan kepada awam, karena ada hal yang terkadang seseorang itu perlu melakukan konsep laku nyeleneh seperti tapa pendem (secara nyata) untuk mendapatkan suatu keyakinan adanya kekuasaan Tuhan. Dan dalam proses pencarian itu seseorang bisa saja mengalami tahapan yang menurutnya perlu dilakukan.

Baca Juga: RAHASIA UANG BALIK: DIBELANJAKAN BISA KEMBALI

Berkaitan dengan fatwa haram – karena meninggalkan salat secara sengaja – kiranya perlu merujuk kepada masalah hukum atau fiqih. Padahal, untuk urusan Fiqih itu para ulama bisa berbeda pedapat. Dan dalam perbedaan pendapat itu, perlu saling menghormati. Termasuk jika ada yang melakukan tapa pendem secara riil.

Untuk melakoni tapa pendem, diperlukan keinginan yang benar-benar total. Dan datangnya keinginan itu biasanya di saat seseorang merasa dalam penderitaan, rasa sakit dan takut dan dia tidak lagi bisa melihat ada orang yang bisa dimintai pertolongan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Dengan kata lain, tapa pendem adalah lakunya orang yang benar-benar sudah menemui kebuntuan dalam segala hal, sehingga otaknya benar-benar sudah ditarik ke dengkul, tak lagi pakai logika, namun pakai “otak percaya”.

‘Tapa Ngalong’

Misalnya, pada tahun 80-an, di wilayah pesisir Pati, ada pelaku tapa pendhem. Setelah berlangsung satu minggu, karena pertimbangan keselamatan, oleh aparat lalu dibongkar.  Dan menurut dokter Puskesmas yang memeriksa kesehatannya, dinyatakan tak ada masalah.

Hanya, yang menjadi pertanyaan itu, saat pelaku tapa pendhem itu ditanya tujuan dari laku batin yang dijalaninya, ia menjawab agar dikaruniai kesejahteraan.

Yang membuat orang “takjub” ketika ditanya dengan siapa dia berguru ilmu pesugihan itu, dia menunjuk nama seseorang, yang setelah ditelusuri adalah nelayan tua yang kehidupannya jauh dari kesan sejahtera.

Di saat seseorang kepepet atau terdesak dan nyaris mati akal, maka akal atau logika tak lagi difungsikan. Orang hanya menuruti kata hati  apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya. Baginya tidak penting apakah tindakan yang lakukan itu benar atau salah menurut akal sehat.

Di Jawa, bentuk tapa lain masih banyak. Ada tapa ngalong, dengan posisi kepala di bawah, ada tapa kungkum yang diyakini dapat mengaktifkan unsur air dalam diri, hingga pelakunya lebih tenang, mata hati terbuka, tumbuh sikap tawakal atau berserah diri. Tapa kungkum ini banyak dilakukan para calon raja zaman dulu.

Dalam sebuah kisah, Sunan Kalijaga juga pernah memejang ajian “Kumara Geni” penangkal jin setan kepada Ki Ageng Sebayu dan Ki Gede Pekalongan. Diawali laku tapa ngalong (kepala di bawah) sambil membaca mantra: Allahumma doa bali sumpah waliyullah, anamuka badan ya Rasulullah. Allahumma ya bali, ya bali, ya bali, sakudung ingsun.”

Di India para kaum Sadhur melakukan posisi serupa untuk bermeditasi, dan mereka bisa melakukannya dalam waktu yang lama. Posisi ‘’tapa ngalong’’ atau bersujud lama ini baik untuk melatih konsentrasi (daya cipta).