blank
Dr. Ira Alia Maerani, SH.MH

Nyawa Setimpal Dengan Nyawa

Oleh:

Ira Alia Maerani  

MIRIS apabila membaca dan mendengar berita pembunuhan di media. Baik media elektronik, cetak maupun digital. Tidak habis pikir mengapa begitu mudahnya seorang penjahat merampas nyawa orang lain. Hanya karena dendam, hutang piutang, asmara, hasrat seksual maupun hasrat kepemilikan sesuatu barang.  Ada apa dengan sistem pemidanaan di Indonesia bagi para pembunuh? Apakah kurang memberikan efek jera? Sehingga kasus pembunuhan terjadi dan terjadi lagi. Dengan modus operandi yang dinilai kejam dan sadis.

Masih lekang dalam ingatan, seorang isteri berisinial AK yang santer menjadi pemberitaan media awal September 2019 lalu, yang diduga membunuh dan atau menyuruh membunuh suami dan anak tirinya. Bahkan ia dinilai tega menyuruh membakar jasad keduanya dalam mobil di tepi jalan di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam rangka menghilangkan barang bukti. Usut punya usut ternyata idenya ini terinspirasi dari kisah dalam sinetron. Mengejutkan…

Akhir September 2019 masih berlokasi di  Sukabumi, Jawa Barat, seorang bocah perempuan berusia 5 tahun meregang nyawa dicekik oleh ibu tiri dan kakak tirinya. Biadabnya, sang kakak tiri sebelumnya memperkosanya terlebih dahulu. Mayatnya kemudian dibuang di sungai di belakang rumah pelaku. Dalam kejadian ini kemudian terkuak perilaku seks menjijikkan inses antara ibu  dengan anak kandungnya. Bahkan setelah membunuh anak tirinya, ibu dan anak kandung laki-lakinya ini dikabarkan melakukan hubungan mesum di samping jenazah anak tirinya. Naudzubillah…

Medio 13 Agustus 2019, Banten gempar. Ditemukan satu keluarga menjadi korban pembunuhan. Peristiwa memilukan ini terjadi di Kampung Gegeneng, Desa Sukadalem, Kecamatan Waringin Kurung, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Ayah (Rustiandi) bersama seorang anaknya yang masih berusia 4 tahun tewas. Sementara isterinya (Siti Sa’diyah) kritis. Ia mengalami luka robek di mulut dan luka tusukan di punggungnya. Dalam proses penyidikan terungkap pembunuh yang berinisial S melakukan pembunuhan karena desakan ekonomi dengan mencuri Handphone (HP) milik korban dan dalam pengaruh minuman beralkohol.

Belum lama, tepatnya 17 Oktober 2019 di Karawang seorang SPG (Sales Promotion Girl) sebuah produk rokok yang kabarnya berprofesi ganda sebagai perempuan seks komersil (PSK) menghembuskan nafas di kamar hotel akibat dibunuh dengan cara dibekap bantal. Pelaku (RS) yang merupakan kenalannya di media sosial (medsos) merasa kecewa dengan pelayanan seks korban sehingga menghabisi nyawanya.

Media juga memberitakan nasib tragis yang dialami anak-anak tak berdosa. Korban pembunuhan orang tuanya. Pembunuhan diduga dipicu  ketidakharmonisan hubungan  orang tua mereka karena faktor perselingkuhan, faktor ekonomi, atau faktor lainnya. Apa dosa anak-anak sehingga menyebabkan mereka dianiaya, dijual hingga ada yang berakhir dengan kematian?

Sederet kejahatan (tindak pidana) terhadap nyawa yang berakibat kematian dengan modus yang sadis, kejam dan di luar rasa kemanusiaan ini membuat masyarakat berpikir. Sudah tepatkah jenis pidana yang diterapkan? Sudah sesuaikah dengan tujuan pemidanaan? Apakah pidana sudah memberikan efek jera terhadap pelaku dan siapapun? Apakah pidana yang diberikan pada pelaku sudah memberikan keadilan juga kepada korban dan masyarakat sebagai perwujudkan mengembalikan keseimbangan di masyarakat?

Kejahatan Terhadap Nyawa di KUHP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur beberapa pasal terkait kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal 338 hingga Pasal 350 KUHP. Pasal 338 KUHP mengatur kejahatan merampas nyawa orang lain dengan rencana dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun. Jika pembunuhan dilakukan dengan rencana dan berencana maka ancamannya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, maksimal 20 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Terhadap ibu yang melakukan pembunuhan pada saat anak  dilahirkan atau tidak lama berselang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun (Pasal 341 KUHP).  Ancaman maksimal 9 tahun pidana penjara dikenakan pada ibu yang dengan rencana membunuh anak yang dilahirkannya dengan maksud agar kelahirannya tidak diketahui (Pasal 342 KUHP).

Pidana penjara maksimal 4 tahun diancamkan pada perempuan yang menggugurkan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk  mematikan atau menggugurkan kandungannya (Pasal 346 KUHP).  Ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun pada pelaku pengguguran kandungan jika proses pengguguran kandungan tanpa sepengetahuan perempuan yang hamil tersebut (Pasal 347 Ayat (1)). Jika peristiwa ini menyebabkan perempuan itu meninggal dunia maka ancamannya adalah 15 tahun pidana penjara. (Pasal 347 Ayat (2)).

Tindakan menolong orang lain untuk melakukan bunuh diri, menyarankan untuk bunuh diri juga merupakan kejahatan jika ia sampai melakukan tindakan bunuh diri tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 345 KUHP.

Jika diperhatikan pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa ini diancam dengan sanksi pidana yang cukup berat. Seperti pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, maksimal 20 tahun penjara. Selain itu, Pasal 350 KUHP juga mengatur pencabutan hak seperti  hak memegang jabatan; hak memasuki Angkatan Bersenjata (TNI); hak memilih dan dipilih dalam pemilu; dan seterusnya sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) No. 1-5 KUHP.

Namun ancaman sanksi pidana yang dinilai cukup berat ini mengapa tidak kunjung memberikan efek jera bagi pelaku? Berita tentang pembunuhan dengan berbagai modus operandi yang kejam dan sadis kerap hadir di hadapan pembaca. Adakah studi perbandingan di negara lain yang bisa dijadikan rujukan dengan penerapan jenis pidana tertentu sehingga berhak mendapat julukan negara-negara yang tidak dirasuki oleh kejahatan (nations not obsessed with crime)?

Rekonstruksi Pidana

Berangkat dari sebuah penelitian perbandingan hukum (comparative law research) melalui data sekunder di beberapa negara akhirnya menghasilkan sebuah temuan bahwa negara Arab Saudi menjadi salah satu negara yang mendapat julukan negara-negara yang tidak dirasuki oleh kejahatan (nations not obsessed with crime) dikarenakan menerapkan Hukum Islam. Arab Saudi menjadi negara dengan tingkat kejahatan sangat rendah di dunia. Efektifitas penerapan Hukum Pidana Islam membentuk masyarakat Arab Saudi menjadi non-criminal society.

Profesor Sam S. Souryal, seorang ilmuwan Amerika Serikat, guru besar di Sam Houston State University, Houston, Texas, Amerika Serikat, yang semula termasuk kelompok yang skeptis dengan penerapan syariat Islam di Arab Saudi setelah melakukan penelitian secara langsung ke negara ini, pada akhirnya justru melihat peran besar syariat Islam dalam membentuk non-criminal society di negara ini.

Terhadap kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) dalam Hukum Pidana Islam terdapat wajib qishash didalamnya. Tegasnya sanksi pidana dan dilakukan di depan khalayak publik, memiliki dampak efek menjerakan. Baik kepada pelaku maupun masyarakat umum. Arab Saudi menerapkan hukuman pancung terhadap putusan qishash. Wajib qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh ini diatur dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah: 178. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).

Hukum qishash di dalam hal pembunuhan telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai hifzh an-nafs (menjaga jiwa), sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. Al Baqarah: 179. Sehingga berdampak pada keamanan setiap jiwa yang berada dalam naungan Hukum Islam. Siapapun tidak boleh secara serampangan membunuh orang lain. Karena ada konsekuensi hukuman qishash bagi si pelaku pembunuhan. Nyawa setimpal dengan nyawa. Pelaksanaan hukum qishash yang dilakukan di depan khalayak umum ini memberikan efek jera kepada siapapun. Namun yang patut diketahui adalah kerasnya sanksi pidana dalam hukum pidana Islam sangat jarang dijatuhkan karena ketatnya hukum pembuktian yang melindungi hak-hak manusia. Di samping itu terdapat aspek pengampunan bagi si pelaku kejahatan dari hukuman (azab) di akherat.

Studi perbandingan hukum di negara Arab Saudi yang kemudian menjadikan negara tersebut menjadi negara dengan tingkat kejahatan terendah di dunia nampaknya bisa dijadikan sebagai dasar pembangunan dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Sehingga tercapai perlindungan hukum dan keberlangsungan hidup terhadap seluruh warga negara Indonesia dari “monster” yang membahayakan terhadap keselamatan jiwa (nyawa). (Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang)

Suarabaru.id