blank
Iskak Wijaya

Oleh : Iskak Wijaya

Satu hari menjelang 17 Agustus 2019, bertempat di Telaga Sejuta Akar, Desa Bondo Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Yayasan Kartini Indonesia (YKI) bekerjasama dengan Yayasan Dharma Bakti Lestari menghelat acara “Diskusi Perumusan Nilai-Nilai Keutamaan Ratu Kalinyamat”. Salah satu alasan utama diselenggarakannya diskusi ini adalah: memahami sejarah masa lalu bukanlah untuk hidup di masa lalu, melainkan untuk merumuskan kembali berkehidupan di masa kini untuk menyiapkan hidup masa depan.

Empat ratus tujuh puluh tahunan yang lalu, di tahun-tahun antara 1549 hingga 1579, putri Retno Kencono yang kemudian dinobatkan sebagai Sang Ratu Kalinyamat, telah mengalami momen-momen antara misteri, tragedi, dan revolusi di zamannya. Ada getir, gundah, kecewa, marah, dan juga keyakinan, optimisme, harapan serta percaya diri dalam menguatkan sebuah periode kejayaan peradaban Jepara serta Nusantara bahkan mencakup nasib Asia.

Ada nilai-nilai, makna, kedalaman pengalaman, serta hal-hal yang dapat direnungkan dari seluruh ikhtiar Sang Ratu yang setidaknya dapat dijadikan cara untuk bercermin dan memandang kondisi kita hari ini dan nanti:

  1. Cinta Tanah Air – Jepara berada dalam puncak kejayaannya, namun pada saat yang sama Sang Ratu membuktikan tentang jalinan semangat kebangsaan melampaui batas-batas wilayah. ‘Nasionalisme’ Sang Ratu bukanlah nasionalisme yang sempit, melainkan bentuk spirit bangsa Timur dalam melakukan perlawanan atas kolonialisme yang telah merambah menjajah negeri atau koloni dari bangsa Eropa. Dua kali menyerbu ke Malaka menantang Portugis dengan pasukan armada tempur maritim membuktikan bahwa kekuatan dan nyali dari kerajaan Kalinyamat tidak bisa dipandang remeh dan lebih dari itu merupakan bukti ikatan senasib seperjuangan atas kepentingan pakta pertahanan regional di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara.
  2. Ketabahan dan Kepercayaan Diri – Figur Sang Ratu, sebagai manusia anak zamannya, berhasil mengubah nasib diri dan segenap rakyatnya: dari spiritualitas pribadi menjadi kesadaran sosial bersama, dari tragedi menjadi revolusi, dari penderitaan menjadi kejayaan, dari kepentingan lokal menjadi jejaring kekuatan kawasan regional / internasional.
  3. Kesetaraan Politik Perempuan – 300 tahun sebelum gagasan dan gerakan emansipasi RA Kartini, Ratu Kalinyamat justru menjadi figur kesetaraan politik-kekuasaan tanpa sekat dan penolakan. Sejak muda, Sang Ratu terlibat penuh sebagai duta dan diplomat kerajaan hingga mencapai tampuk kekuasaan tertinggi sebagai ratu. Pada diri Sang Ratu tampak begitu jelas, bahwa posisi dan peran perempuan Jawa bukan berada subordinasi di bawah kuasa patriarkhi lelaki.
  4. Spiritualitas – Laku ruhani Sang Ratu dalam menuntaskan dilema dan problem politik menunjukkan komitmen relijiusitas yang teguh. Bertapanya Sang Ratu bukan semata demi pembalasan dendam kesumat atas derita yang dialaminya, melainkan lebih tinggi dari itu, yaitu pencapaian tujuan yang lebih agung bagi lahir-berkembangnya peradaban sebuah bangsa. Dan itu menjadi cikal bakal bangkitnya kekuasaan baru di tanah Jawa yang masih terwujud hingga hari ini.
  5. Pluralitas – Sang Ratu membangun masjid dengan cita rasa keberagaman kultur antariman. Nuansa Hindu, Buddha, dan Islam dicampur menjadi tradisi seni arsitektur yang mengawali serta berpengaruh pada pewarisan gaya seni ukir Jepara. Paduan Jawa – China begitu kental mewarnai motif dan corak budaya, termasuk dalam busana dan desain lainnya. Keluasan pandangan dan wawasan maritim yang dibangun Sang Ratu, memengaruhi persilangan budaya. Jawa bukan sekadar suku dan pulau melainkan Jawa sebagai peradaban dan nalar kebudayaan.

Ratu Kalinyamat adalah figur perempuan yang menghadapi dan menantang zaman, melampaui budaya dan tradisi, berani melakoni takdirnya sebagai penguasa, dan menjadi simbol pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya, memerdekakan dirinya dan berusaha memerdekakan manusia yang ditindas manusia lainnya.

Semoga  perumusan nilai-nilai keutamaan Ratu  Kalinyamat ini terus berlanjut dalam diskusi publik dan akademis, sehingga ada kesepakatan kolektif dari masyarakat Jepara. Sebab       mereka yang tidak memahami sejarah akan melakukan kesalahan yang berulang-ulang. Mengapa? Karena seperti kata Cicero: “historiavitaemagistra” – sejarah adalah guru kehidupan.

Jayalah negeri dan bangsa ini. Merdeka jiwa raganya.

Bulungan, 17 Agustus 2019

Iskak  Wijaya  adalah budayawan dan aktivis Yayasan Kartini Indonesia