blank
H Fakihuddin saat menjamas keris Kiai Cinthaka peninggalan Sunan Kudus. foto:Suarabaru.id

KUDUS – Sebilah keris yang dikenal dengan nama keris Kiai Cinthaka peninggalan Sunan Kudus, Kamis (15/8) kemarin  dijamas (dicuci) di kompleks Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus. Pusaka peninggalan Sunan Kudus tersebut dijamas dengan ritual yang secara turun temurun dilakukan selama beratus-ratus tahun.

Suasana tajug Masjid Menara Kudus, pagi itu terasa berbeda dari hari-hari biasanya. Kepulan asap kemenyan yang sengaja dibakar, membuat bangunan berbentuk pendapa kecil tersebut terasa sangat sakral.

Tak berapa lama, sejumlah rombongan kiai, sesepuh serta para pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus yang sedari pagi melakukan ziarah ke makam Sunan Kudus, datang ke lokasi tajug. Dengan membaca shalawat, seorang sesepuh kemudian mengambil sebuah kotak yang tersimpan  di atap tajug.

Ya, kotak yang terkunci dalam ruang penyimpanan di atap tajug tersebut, berisi keris Kiai Chintaka. Keris berlekuk sembilan tersebut merupakan keris peninggalan Kanjeng Sunan Kudus yang tentu sudah berusia ratusan tahun.

Keris Kiai Cinthaka yang diperkirakan berasal dari zaman Majapahit akhir, sedangkan bentuk atau tipe bilah kerisnya merupakan “Dapur Panimbal” yang memiliki makna kebijaksanaan dan kekuasaan.

Tak berapa lama kemudian, prosesi jamasan dilakukan oleh seorang sesepuh bernama H Fakihuddin. Fakihuddin dalam beberapa tahun terakhir ini bertugas sebagai penjamas  menggantikan peran KH Ahmad Bashir,  ulama besar Kudus yang meninggal beberapa tahun lalu.

Selanjutnya, keris disiram “banyu landa” (bahasa jawa) atau air rendaman merang ketan hitam hingga tiga kali.Kemudian, dibersihkan menggunakan air jeruk nipis dan kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di atas sekam ketan hitam oleh ahli penjamasan, KH Fakihuddin.  Selanjutnya, keris dikembalikan ke tempat semula dengan disaksikan sejumlah ulama setempat dengan diiringi bacaan shalawat.

Menurut Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan kudus, Nadjib Hasan, dalam ritual jamasan yang terpenting adalah bentuk pelestarian peninggalan Sunan Kudus. ”Ini merupakan bentuk pelestarian tradisi. Sebagai bentuk peninggalan, tentu wajib dijaga dan dilestarikan,” katanya.

Diakui Nadjib, jamasan pusaka peninggalan Sunan Kudus sudah dilakukan sejak lama bahkan beratus-ratus tahun lalu. Jamasan selalu dilakukan pada hari Senin atau Kamis pertama usai hari Tasyrik (tiga hari setelah Idul Adha). Dan ini juga dalam rangka menyambut Bulan Suro (Muharam) dimana di Menara Kudus terdapat tradisi Buka Luwur.

Mampu Padamkan Api

Penjamasan berikutnya, yakni dua mata tombak trisula yang berada di mihrab masjid Menara. Kedua pusaka tersebut juga ikut dijamas seperti keris Kiai Chintaka.

Disinggung mengenai keampuhan keris tersebut, konon menurut Nadjib, keris Kiai Chintaka tersebut dapat memadamkan api. Sebab, konon ceritanya keris tersebut pernah dipinjam untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di keraton Solo.

”Dulu, ceritanya keraton Solo mengirimkan semacam parfum yang disebut ‘kophok gajah’ sebagai bentuk ucapan terima kasih ke Sunan Kudus setiap tahunnya,” ujar Nadjib.

Menurut Nadjib, sebenarnya atas saran dari beberapa ahli pusaka, keris dan tombak Sunan Kudus diminta untuk tidak dijamas setiap tahun lantaran pertimbangan kondisi pusaka yang sudah mulai rapuh. Namun, lantaran ini merupakan tradisi, jamasan tetap dilakukan.

Yang unik dalam ritual tersebut, adalah menu hidangan yang disajikan adalah “jajan pasar” dan nasi opor ayam. Menurut Nadjib, jajan pasar merupakan simbol kerakyatan, sedangkan nasi opor ayam adalah menu kesukaan Sunan Kudus.

Suarabaru.id/Tm