blank
Para penghuni Pesantren tunarungu “Abata”  Kelurahan Mungseng, Kecamatan /Kabupaten Temanggung mengikuti pelatihan membuat bros (benda perhiasan dekoratif)dari  Komunitas  Temanggung Bikin Karya . foto:Suarabaru.id/yon

TEMANGGUNG- Sebanyak 16 penyandang disabilitas tunarungu penghuni Pondok Pesantren tunarungu “Abata”  Kelurahan Mungseng, Kecamatan /Kabupaten Temanggung mengikuti pelatihan membuat bros (benda perhiasan dekoratif)  yang berbahan dasar  limbah  kain perca. Pelatihan tersebut dilakukan oleh crafter (pengrajin) yang tergabung dalam Komunitas Temanggung Bikin Karya (Tembikar).

“Kegiatan sosial ini dilakukan semata untuk memberikan keterampilan secara gratis kepada anak-anak berkebutuhan khusus di Ponpes Abata. Kami memandang anak-anak tersebut perlu mendapatkan keterampilan yang bisa menunjang kehidupan di masa depannya,” kata  Peni Diar , salah satu penggiat Komunitas Tembikar.
Peni mengatakan, kegiatan sosial tersebut juga dilakukan dalam rangka mengisi  bulan Ramadhan  dengan  memberikan pengetahuan sekaligus praktik keterampilan membuat bros.

Tidak dinyana kendati, mereka  berkebutuhan khusus namun anak-anak tersebut tidak  kalah dengan anak normal pada umumnya. Bahkan, hampir tidak ada yang menemui kesulitan, meskipun dalam pengantarnya perlu pendampingan para ustazah Abata yang sesekali menerjemahkan kalimat yang dimaksud dari para crafter .

“Mereka hebat-hebat sama sekali tidak ada kendala bahkan sangat antusias, satu bros bisa diselesaikan dalam waktu kurang lebih 30 menit. Hanya sesekali saja mereka bertanya kalau menemui kesulitan, ,”katanya,

Intan Herwindra dan Ena Kharisma crafter lain yang juga pengelola Bumi Crafting ini menambahkan,  pembuatan bros juga tidak memerlukan biaya banyak sebab bahan bakunya memanfaatkan kain perca atau limbah dari penjahit yang sudah tidak digunakan. Secara tidak langsung hal ini mengurangi sampah dengan memanfaatkannya menjadi sesuatu yang berdaya guna dan berdaya hasil. Kepala Pesantren Abata Temanggung Nur Sauminah mengapresiasi crafter dari Komunitas Tembikar yang telah menularkan ilmunya bagi para penghuni Ponpes Abata.

Menurutnya, para penghuni ponpes  dengan rentang usia 6 sampai 14 tahun sangat membutuhkan keterampilan. Hal itu untuk mendukung pendidikan di Abata yang berbasis kurikulum pesantren yang harus hafal Alquran juz 30, bisa membaca tulis Alquran, doa sehari-hari, termasuk melatih untuk berpuasa.
“Kami sangat senang sekali dan sangat berterima kasih, sebab anak-anak sangat butuh keterampilan, ini yang kami butuhkan karena di Indonesia itu belum begitu care dengan anak-anak disabilitas khususnya tuna rungu, harapan kami bisa mandiri,” ujarnya.

Suarabaru.id/yon