blank
Para korban dugaan penipuan perekrutan karyawan BLUD Salatiga saat mendengarkan arahan Ketua DPRD Salatiga Teddy Sulistio saat audensi di Gedung DPRD Salatiga, Senin (13/5). Foto : Erna

SALATIGA – Puluhan orang mengaku sebagai korban perekrutan karyawan BLUD Salatiga blak-blakan mengungkap siapa-siapa para pihak menerima uang mereka dengan ‘iming-iming’ bisa bekerja sebagai karyawan BLUD RSUD Salatiga.

Termasuk, kuasa hukum para korban Bambang menyebut sejumlah kliennya ada yang diminta bertemu Anggota Dewan Pengawas Sri Mulyono di Ruang Direktur RSUD Salatiga. “Klien kami, ada yang diminta menghadap di ruang Direktur RSUD bertemu Pak Sri Mulyono. Selain itu, ada juga yang bertemu di rumahnya di Tegalrejo,” kata Bambang kepada para wartawan, Senin (13/5) di Gedung DPRD.

Ia mengungkapkan fakta, rata-rata klainnya mengalami kerugian berkisar Rp 100 juta satu orang. “Total kerugian untuk 15 orang klain kami lebih dari Rp 1 miliar. Karena tarif itu dipatok variatif untuk lulusan SMA dipatok Rp 75 juta, untuk D3 Rp 85 dan untuk S1 95 juta. Belum termasuk pengambilan  SK 1,8 juta, IP kurang bayar lagi. Total satu juta sekian,” ungkapnya.

Sedangkan, korban yang setor ke seorang bidan, istri dari PNS Pemkot Salatiga Haryono yakni Listyorini sebanyak 29 orang. “Kalau nanti muaranya yang setor ke Listyorini seorang Bidan di Susukan, Kabupaten Semarang ini  Perdata, ‘ya’ akan diupayakan Perdata,” pungkasnya.

Yang pasti, lanjutnya, ia bersama tim akan segera membuat laporan resmi ke aparat hukum. “Kami belum tahu, apakah ke Polda atau ke Polres. Jangan sampai setelah lapor mantul alias ditolak. Yang jelas, laporan dalam dua tiga hari kedepan,” paparnya.

Fakta lain yang diungkap para korban saat audiensi dengan Ketua DPRD Salatiga Teddy Sulistio di Gedung DPRD Salatiga, Senin (13/5) siang adanya seorang pegawai BLUD RSUD Salatiga bernama Didik Ardiles warga Surowangsan, Kauman Kidul, Salatiga bertindak dugaan seolah-olah sebagai perantara makelar jual beli jabatan ini.

Seperti diceritakan pasangan suami istri, SD (69) warga Tegalrejo, Salatiga. Salah satu korban yang terbilang kerugian paling besar ini mengisahkan seorang pegawai BLUD RSUD bernama Didik Ardiles  menawarkan bekerja di lingkungan RSUD.

“Didik ini kemudian mengantar saya dan suami ke rumah ibu Listyorini di Sruwen, Kabupaten Semarang tapi dia minta uang dulu Rp 2,5 juta. Dan dipertemukanlah dengan Listyorini oleh dia (List), dikatakan karena anak saya keduanya lulusan S1, sehingga ada tarifnya sendiri,” kata SD kepada Wawasan, Senin (13/5).

Dengan embel-embel bisa bekerja sebagai karyawan BLUD RSUD Salatiga, akhirnya Sunardi berani nyetor dengan beberapa kali tahapan. “Setelah ada omong-omong, jika lulusan S1 harus nyetor Rp 95 juta untuk bisa menjadi pegawai BLUD RSUD Salatiga. Dengan dua anak, tahapan pertama saya setor Rp 40 kita, kemudian mengajukan utang ke BRI dengan jaminan pensiun PNS setor kedua Rp 120 juta, yang ketiga setor Rp 10 juta, yang keempat supaya dua SK untuk anak saya keluar harus setor lagi Rp 3,6 + perantara si Didik minta lagi Rp 2,5, tapi baru saya setor Rp 1 juta. Jadi  Total Rp 174.600.000,” sebut SD.

Proses penyerahan itu, diakuinya sejak tahun 2018-2019. Dan semuanya ia setor ke Listyorini. Lain kisah dialami Sarmini (54) warga Sruwen. Ia menceritakan, saat itu mengantar anaknya bernama Gery Ardiantor ke Ruang Direktur RSUD Salatiga untuk bertema Listyorini dan Anggota Dewan Pengawas RSUD untuk nyetor pertama Rp 20 juta.

“Kedua, setor Rp 55 juta, ketiga Rp 3 juta katanya untuk BAN PT dan terakhir Rp 1,8 untuk total 78.800.000,” tuturnya.

Penyetoran itu, disebutkan Sarmini berlangsung sejak tahun 2013 hingga 2019 awal masih berlangsung. “Saya juga pernah diajak Bu List ini ke rumah Pak Mulyono di Tegalrejo katanya mau ngurus penerimaan

SK pegawai BLUD,” imbuhnya.

Langkah Hukum

Dengan semua kejadian ini, Ketua DPRD Teddy Sulistio mendukung penuh para korban melangkah ke proses hukum. Sebagai anggota DPRD yang dicurhati, ia meminta kuasa hukum agar tidak menjadikan kasus ini bergening karena secara pribadi dirinya akan memantau terus kasus tersebut.

“Masalah ini harus selesai dan saya menyarankan ke masalah hukum. Dan minta Polres harus turun tangan jika ada laporan masuk,” sebutnya.

Kepada Direktur RSUD Salatiga dr Pamudji, Teddy mengingatkan dan menantang apakah orang nomor satu dilingkungan RSUD Salatiga itu berani menindak karyawannya yang nakal.  “Kalau tidak berani jangan jadi komandan. Atau jangan-jangan anda dapat gandulan dari atas. Percayakan dengan proses hukum. Kota ini lama-lama menjadi ‘Republik Ketopra’,” tegasnya.

Terkait hal itu, Direktur RSUD dr Pamudji mengaku akan mengambil langkah tegas jika ada karyawannya menjual jabatan. “Mangga kalau mau ke ranah hukum. Termasuk adanya pihak-pihak melibatkan jajaranya termasuk Dewan Pengawas, selama ada bukti ada saksi, kalau bisa jangan terburu-buru karena kita negara hukum. Tidak masalah, kalah memang SOP ada karyawan saya yang terlibat saya akan minta Wali Kota diberhentikan,” tandasnya.

Terpisah, anggota Dewan Pengawas RSUD Salatiga Sri Mulyono yang disebut namanya memberikan bantahan. Ia mengaku tidak pernah menerima dana baik dari para korban maupun Bidan Listyorini.

Bahkan, adanya informasi para korban beberapa kali bertemu dengan dirinya baik di Ruang Direktur RSUD Salatiga maupun di kediaman pribadinya, Tegalrejo tidak pernah terjadi transaksi apa apa pun.

“Bahkan nama saya bisa dikatakan  dicatut Listyorini sebagai tameng, seolah-olah para korban pasti diterima larangan pada waktu bertemu di RM Balai Raos saya hanya memberikan arahan prosedur diterima sebagai karyawan BLUD RSUD. Seperti misalnya, kalau perawat syaratnya apa saja. Saya juga tidak menjanjikan SK,” ujar Sri Mulyono.

Ia pun menegaskan, tidak pernah terlibat atas jual beli jabatan dialami para korban. Semua bukti, disebutkannya mengarah kepada Listyorini. Ia mengaku, tak pernah menerima uang dari para korban dengan iming-iming bisa bekerja sebagai karyawan BLUD di RSUD Salatiga.

suara baru.id/Erna