blank
MENGHASILKAN: Pohon siwalan usia produktif seperti inilah yang bisa menjadi sumber penghasilan petani, karena bisa menghasilkan buah, nira, dan lontar (daun) yang laku dijual.(Djamal A Garhan)

REMBANG -Siwalan, atau bahasa latinnya disebut Borassus Flabellifer, merupakan tanaman langka, karena hanya bisa tumbuh di daerah tertentu yang memiliki iklim kering dengan curah hujan rata-rata 63-117 hari/tahun.

Kabupaten Rembang yang terletak di bagian timur wilayah provinsi Jateng, menjadi daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman siwalan. Pasalnya, sesuai hasil eksplorasi, diketahui bahwa jenis tanah utama di daerah itu adalah mediteran merah kuning (30%), grumosol/vertisol (30%), regosol (10%), mediteran merah kuning gromosol dan regosol (10%), mediteran kuning merah dan grumosol (6%), andosol (10%), dan andosol merah coklat (4%).

Lebih lagi dengan memperhatikan potensi kesediaan areal yang masih terbuka, ditambah dengan rendahnya curah hujan, menggugah pemkab untuk berperan aktif dalam pengembangan kawasan berbasis kegiatan agribisnis dan agroindustri komoditas perkebunan.

Salah satu cara yang kini telah dilakukan pemkab Rembang, menurut Kepala Dinas Pertanian Rembang Suratmin, adalah dengan pengembangan tanaman siwalan. Pertimbangannya, bila ditinjau dari aspek teknis agronomis, tanaman siwalan mempunyai kesesuaian hidup di sebagian besar wilayahnya yang memiliki udara cukup panas.

Sedang ditinjau dari aspek sosio ekonomis, tanaman siwalan pada kenyataannya telah memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat/petani. Kontribusi itu diperoleh melalui penjualan produk buah siwalan, nira (legen), maupun hasil pengolahan nira berbentuk gula semut. Tak cuma itu, daun siwalan yang oleh masyarakat Rembang menyebutnya dengan nama lontar bisa diolah menjadi barang kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi.

Total areal tanaman siwalan di Kabupaten Rembang kurang lebih 565 hektare yang tersebar di Kecamatan Sulang, Kaliori, Rembang, dan Sumber. Padahal, dari hasil inventarisasi potensi perkebunan menunjukkan bahwa tanah yang bisa ditanami siwalan seluas 3.100 hektare. Berarti masih ada sisa tanah seluas 2.539 hektare yang belum dimanfaatkan.

Seperti di Kecamatan Bulu, Gunem, Pamotan, Sedan, Sale, Pancur, Lasem, Sluke, Kragan, dan Sarang, jumlah tanaman siwalan masih relatif kecil. Hal ini karena masyarakat di daerah tersebut masih mengandalkan tanaman padi, meski kenyataannya kurang menguntungkan.

Selain itu, pengembangan komoditas siwalan masih dihadapkan pada masalah pengelolaan usaha tani yang cenderung subsisten, dengan tingkat produksi yang masih terbatas serta nilai jual produksi yang berfluktuasi. Hal ini bisa dilihat dari pemikiran petani yang menempatkan pada keberadaan tanaman siwalan sebagai tanaman sampingan, walaupun telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani.

Karena itulah, pengembangan tanaman perkebunan, khususnya siwalan mulai difokuskan pada kawasan sentra produksi siwalan, yaitu di daerah penghasil siwalan melalui upaya peningkatan produksi. Selain itu dilakukan perbaikan pengolahan hasil sampai dengan distribusi yang berbasis pola pengembangan agribisnis dan agoindustri sebagai implementasi Konsep Pengembangan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN).

Disebutkan, sekarang ini jumlah petani siwalan ada 2.964 orang. Dari jumlah tersebut, setiap orangnya rata-rata memiliki areal tanaman 0,19 hektare atau sekitar 23 batang.

Sesuai hasil pendataan, produksi buah siwalan di daerahnya sebanyak 1.292.800 gelondong, dan produksi nira sebanyak 13.672.100 liter/tahun. Produksi gula siwalan (gula semut) 996.300 kilogram/tahun, dengan asumsi rata-rata rendemen gula 20%. Sedang produksi daun lontar sebanyak 16.796 lembar/tahun.(suarabaru.id/Djamal A Garhan)