blank
Terlihat sejumlah pancang bambu yang merupakan batas calon lokasi reklamasi. Gambar ini diambil di kawasan Pantai Rembang, pagi tadi..(Foto:Djamal AG)

REMBANG – Sejumlah titik di Pantai Kabupaten Rembang, direklamasi oleh warga setempat secara bertahap selama bertahun-tahun. Akibatnya ekosistem di kawasan pantai jadi rusak dan berubah menjadi deretan rumah penduduk, akibat adanya reklamasi yang sembarangan ini.

Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun laut menggunakan sampah dan pasir. Untuk menahan gelombang, sekeliling tanah hasil reklamasi diberi tanggul batu. Setelah itu baru warga membangun rumah di atas tumpukan sampah dan tanah yang sudah mengeras.

Dari pantauan suarabaru.id, Sabtu (16/3) ada beberapa titik pantai yang menjadi sasaran reklamasi warga, yakni di sepanjang wilayah Kaliori, Rembang, dan Lasem. Tetapi paling banyak ada di kawasan Kota Rembang, bahkan hingga kini kegiatan reklamasi yang dilakukan warga masih terus berlanjut.

Dari keterangan warga, untuk mereklamasi pantai seukuran 9 meter x 9 meter, jika dikerjakan secara tradisional oleh dua orang, bisa rampung dalam waktu enam bulan sampai delapan bulan.

“Biayanya juga tidak terlalu mahal, kurang lebih Rp 10 juta sampai Rp 15 juta, karena pasir dan sampah diperoleh secara gratis. Namun jika sudah jadi dan dijual, tanah hasil reklamasi itu bisa laku serendah-rendahnya Rp 70 juta,” ujar seorang warga.

Itu sebabnya, ada warga yang mengambil peluang tersebut untuk mencari keuntungan. Mereka terus mengapling pantai untuk direklamasi, kemudian dijual. Kegiatan seperti itu sudah berlangsung cukup lama, meski sering menjadi bahan pergunjingan orang.

Berbahaya

Asisten II Sekda Rembang, Abdulah Zawawi mengatakan bahwa reklamasi menggunakan sampah dan membangun rumah di atasnya dinilai cukup membahayakan. Sebab sewaktu-waktu rumah bisa roboh jika tanahnya amblas.

Bahaya lainnya adalah terjadinya kerusakan ekosistem di kawasan pantai, karena terjadi kerusakan lingkungan akibat reklamasi. “Maka warga harus berhenti melakukan tindakan apa saja yang bisa merusak lingkungan, termasuk berhenti melakukan reklamasi pantai,” sarannya.

Abdulah Zawawi menambahkan, kegiatan reklamasi untuk permukiman penduduk diakui telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Alhasil, reklamasi telah mengubah garis pantai lebih menjorok ke laut, dibanding puluhan tahun lalu.

Dan di atas lahan hasil timbunan sampah dan pasir tersebut, rumah-rumah permanen tampak padat berdiri. Rumah-rumah yang ditempati warga di kawasan tepi pantai saat ini, awalnya merupakan perairan yang berbatasan dengan bibir pantai.

Ditanya soal kelegalan tanah hasil reklamasi tersebut, Abdulah Zawawi mengatakan, karena tidak dilengkapi dengan perizinan, maka kegiatan reklamasi dipastikan liar. Bahkan sudah ada peraturan daerah (perda) yang melarang adanya kegiatan reklamasi pantai.

Pejabat itu menambahkan, tanah hasil reklamasi warga statusnya ilegal, sehingga tidak boleh disertifikatkan menjadi hak milik. “Namun kenyataannya, sekarang ini banyak tanah hasil reklamasi yang bersertifikat. Itu salah siapa? Saya tidak tahu,” ucapnya.

suarabaru.id/Djamal AG