blank
AKSI DAMAI : Saat Polisi mengamankan aksi damai warga yang tergabung dalam FKMKW dalam menuntut status tanah menjadi hak milik. Foto : Wahono/

(Catatan Wahono)

 

BLORA – Tanah seluas  81.8350 hektar, berlokasi di tiga kelurahan, masing-masing Kelurahan Cepu, Ngelo dan Karangboyo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, menyimpan cerita cukup panjang.

Bagaimana asal mula, pemilik dan status tanah strategis tersebut? Wartawan suarabaru.id, Wahono, menurunkan tulisan dengan merunut tanah yang kini kembali hangat digugat warga.

Cepu adalah salah satu dari 16 kecamatan di Kabupaten Blora. Sebutan lain adalah kota minyak, kota kecamatan gandeng dengan provinsi Jawa Timur, hanya tersekat sungai Bengawan Solo.

Sejauh ini, nama Cepu lebih populer, dan bahkan sering juga menenggelamkan nama ibu kota kabupaten, Blora, Jawa Tengah.

Kepopulerannya semakin terkerek, setelah penemuan ladang minyak darat oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) di wilayah kerja pertambangan (WKP) minyak dan gas bumi (migas) di Blok Cepu.

Dari temuan perusahaan minyak Amerika tersebut, nilai tawar berbagai komoditi, terutama harga rumah dan tanah membumbung, ini multi player effeck yang luar biasa.

Saat hendak masuk Kota Kecamatan Cepu dari arah barat (Blora), di pintu masuk kota minyak itulah membentang tanah (kini) berstatus hak pakai milik Pemkab Blora berlokasi di kanan-kiri jalan nasional Blora-Cepu.

blank
USAHA : Tempat usaha ini, satu dari 843 bangunan yang menempati tanah hak pakai milik Pemkab Blora di pinggir jalan nasional Cepu-Blora. Foto : Wahono/

Milik Perhutani

Tampak rumah tinggal dan tempat usaha mulai yang sederhana, semi permanen serta permanen, berdiri di tanah tersebut. Belum lagi tujuh tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya.

Sebaliknya, dari arah timur (Bojonegoro atau Surabaya), terlihat jelas tanah dengan deretan bangunan rumah tinggal dan fasilitas umum berdiri di timur gapura pintu keluar kota miyak.

Tanah di kawasan Wonorejo, Tegalrejo (Kelurahan Cepu), Sarirejo (Kelurahan Ngelo), dan Jatirejo (Kelurahan Karangboyo), sejarahnya adalah tanah berstatus milik Perum Perhutani.

Di tanah tersebut awal 1980-an baru berdiri sekitar 220 rumah warga atau 900 jiwa. Jumlah hunian terus bertambah, termasuk fasilitas umum, berdiri tanpa dokumen kepemilikan yang sah.

“Saat ini sudah berdiri sekitar 843 bangunan rumah, dan tujuh tempat ibadah,” jelas Camat Cepu, Djoko Sulistiyono.

Bupati Blora, H Soemarno (1979-1989) waktu itu, berhasil melakukan pendekatan dengan Perhutani, lantas rencana penggusuran massal rumah warga  ditangguhkan, dan digagas adanya penggantian tanah (tukar guling).

Bupati H Seokardi Hardjoprawiro (1989-1999) melanjutkan ide seniornya, sehingga terjadi proses tukar menukar tanah. Tujuannya sama agar rumah warga jangan sampai dibongkar.

Selanjutnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau waktu itu masih bernama Pemda Blora, mengganti lahan hutan di tiga titik di tiga lokasi berbeda.

Pada 7 Oktober 1994, berdasar surat kesepakatan perjanjian tukar menukar Nomor 10/Perj.PM/1994 Pemda (Pemkab) mencarikan lokasi tanah pengganti seluas 81 hektar lebih di wilayah Kecamatan Ngawen, Blora dan Tunjungan.

blank
MENUNTUT : Saat warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Kawasan Wonorejo (FKMKW), turun ke jalan menuntut status tanah hak milik yang ditempatinya. Foto : Ist/

Tukar Guling

Pemda, ketika itu, tidak punya dana untuk membeli tanah pengganti. Lantas salah satu pengusaha beras Singgih Hartono melakukan kerjasama (MoU) dengan surat perjanjian.

Singgih Hartono, awalnya adalah perseorangan yang memodali lebih dulu tanah pengganti tersebut, bolehlah dikatakan sosok penting dalam proses tukar guling.

Sayangnya, belum sempat merampungkan proses pembelian tanah pengganti untuk Perum Perhutani, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) itu, pada awal 1992 usahanya bangkrut.

Demi mewujudkan surat perjanjian Nomor 10/Perj.PM/1994, Singgih Hartono menggandeng dua pengusaha dari Blora untuk gotongroyong menyongkong modal mengganti tanah di tiga wilayah kelurahan di Kecamatan Cepu itu.

“Akhirnya terwujud tanah pengganti untuk Perhutani, ketika itu berada di tiga lokasi terpisah,” beber Singgih Hartono.

Menurutnya, rumah hunian terus bertambah, berdiri susul menyusul di tanah terebut, bahkan pada 1994 sudah ada sekitar 400 lebih (1.500 jiwa), dan Pemkab telah meredam keserasahan warga dengan mengganti tanah di lokasi lain.

“Waktu itu Pemda (Pemkab) belum punya uang untuk membeli tanah pengganti, tapi niat saya terkendala lantaran usaha saya bangkrut,” jelasnya.

Lantas Singgih Hartono tidak patah arang, dia menggandeng Waloejo (almahurm) dan Suyanto (almahum) untuk patungan membeli tanah pengganti.

Upaya trio pengusaha kota sate itu berhasil, dengan perjanjian resmi tertulis bahwa pembagian tanah untuk Pemkab 65:35 untuk trio pengusaha tersebut.

“Semua perjanjian tertulis lengkap, jika tanah itu dijual bagi hasilnya 65 persen Pemkab, dan yang 35 persen kami,” tambah Singgih Hartono.

Tahun terus berganti, Pemkab sejak 1994 terus mendesak pemerintah pusat, Menteri Kehutanan dan Menteri Perkebunan, agar segera mengeluarkan SK tukar menukar tanah.

Ada banyak surat yang dibuat dan dikirim Pemkab ke pusat, namun  tidak ada penjelasan yang menyenangkan, ungkap Singgih Hartono lagi.

Dilepas Pusat

Seiring perjalan waktu, rumah hunian di tanah Wonorejo terus membengkak. Sejumlah tempat ibadah, dan faslitas umum juga terus merebak seperti tidak terkendali.

Merebaknya bangunan di tanah tersebut sempat membuat Singgih, Waloejo, Suyanto kian tidak tenang, sementara jawaban dari pusat tidak juga turun.

Hingga jabatan Bupati Blora H Soekardi Hardjoprawiro tinggal setahun (purna 1999), surat jawaban pusat juga belum ada kejelasan, tidak ada kepastian status.

Pemkab berusaha mengerem kegelisahan Singgih Hartono dan kawan-kawan, yakni kembali bersurat ke pusat terkait status tanah, dengan harapan turun surat keputusan pelepasan hak dari Perum Perhutani.

Ibarat hujan di musim kemarau yang menyejukkan, pusat (Menteri Kehutanan dan Menteri Perkebunan) menurunkan surat keputusan (SK) Nomor 410/Kpts-2/1999.

SK tersebut diteken pejabat pusat dan turun ke Blora sewaktu Bupati Soekardi Hardjoprawiro  akan purna tugas, isinya pusat telah melepas tanah tersebut.

Cerita soal tanah masih panjang. Sebab, meski keluar SK Nomor 410/Kpts-2/1999, trio pengusaha Blora yang sudah mengeluarkan modal untuk membeli tanah pengganti belum juga tergantikan dananya.

Penyebabnya, karena isi kas Pemkab (ketika itu) belum ada dana pengganti kompensasi atas tukar guling tanah yang diatasnya terus berdiri bangunan rumah.

Waktu terus berjalan, status tanah di pintu masuk Kota Kecamatan Cepu, tetap menggantung,sehingga jadi beban berat dan PR panjang Pemkab Blora.

Dari Bupati H. Soemarno (1979-1989), Bupati H. Soekardi Hardjoprawiro (1989-1999, Bupati H. Basuki Widodo (almarhum), Bupati RM Yudhi Sancoyo hingga Bupati H. Djoko Nugroho (saat ini), masalahnya belum juga tuntas.

Banyak pengusaha dan pemodal yang ditawari tanah di pintu masuk Kota Kecamatan Cepu. Sayangnya begitu melihat kondisi saat ini, mereka ngeper dan mundur teratur.

Alasannya, susah untuk dikembangkan karena sudah berdiri ratusan rumah warga, tempat ibadah, dan fasilitas umum.

Kembali pada teman kongsi Singgih Hartono, yakni Waloeyo dan Suyanto yang akhirnya meninggal dunia, sebelum tanah strategis seluas 81,8350 hektar bisa dinikmati.

Kini tinggal Singgih Hartono dan ahli waris teman kongsinya itu yang memiliki hak 35 persen tanah di tiga wilayah kelurahan tersebut.

Pernah ada pengusaha dari Samarinda (Kaltim) asli Blora, H. Suwignyo, berencana investasi di tanah yang kini bisa dikatakan bermasalah itu.

Proyeksinya mem-pulau-kan (mengumpulkan) rumah warga menjadi satu areal. Namun karena dirasa terlalu berat akhirnya mundur juga. Padahal pengusaha itu sudah membeli tanah 4,3 hektar di dekatnya.

Tuntut Hak Milik

Bupati Djoko Nugroho-Wabup H Abu Nafi (2010-2015), berusaha meluruskan benang ruwet masalah tanah yang kini untuk hunian dan fasilitas umum.

Alternatif yang dilontarkan, diawali dengan kesepakan trio pemilik non-Pemkab (Singgih dkk), dan model pendekatan kekeluargaan lainnya.

“Pada 2013, Pak Singgih, ahli waris Pak Waloejo dan Pak Yanto membuka diri, menyerahkan urusan tanah Wonorejo ke Pemkab,” kata Wabup Blora 2010-2015, H. Abu Nafi kala itu.

Kini PR panjang  tanah Wonorejo yang dihuni sekitar 2.000 jiwa, tempat tempat ibadah, dan fasilitas publik, telah menempuh perjalanan panjang (puluhan tahun), dengan prediksi nilai jualnya kini menjadi lebih tinggi.

Khabar terakhir, sudah ada kepastian kalau trio pengusaha Blora bersepakat atas pembagian lahan seluas 81,8350 hektar dengan mendapat 28 hektar (sisi utara belakang), dan sekitar 54 hektar menjadi milik Pemkab.

“Saya berjuang untuk urus sertifikat hak saya, tapi saat ini masih belum tuntas,” ungkap Singgih Hartono.

Paling terakhir, Warga yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Masyarakat Kawasan Wonorejo (FKMKW), Senin (11/3),  turun ke jalan berdemo menggelar aksi damai menuntut tanah milik Pemkab menjadi hak milik (SHM) mereka.

Maka perlu langkah penyelesaian yang bijaksana, terbuka dan kekeluargaan terhadap tanah yang kini di kawasan Jatirejo berdiri 315 rumah, Wonorejo 316 rumah, Tegalrejo 128 rumah, dan Sarirejo 84 rumah.

Wonorejo, sebab dari kawasan itu menyimpan cerita panjang dan perjuangan tanpa lelah para pejabat, para pihak dan elemen masyarakat lainnya. Wonorejo adalah monument tanpa tugu dari empat bupati pendahulu. (suarabru.id/Wahono)