blank
Mudzakir/dok

JAKARTA – Kasus pengaturan skor yang melanda sepak bola Indonesia membuat gempar publik. Namun, ternyata kasus itu dinilai masuk kategori kejahatan lunak. Sebab, sangat sulit melakukan pembuktian terhadap setiap dugaan pengaturan skor. Penilaian itu dikemukakan praktisi bidang hukum pidana, Mudzakir. Menurut dia, match fixing berbeda dari kasus suap dalam perkara korupsi. Karena itu, harus fokus kepada pencegahan lantaran berkaitan dengan moral pelaku. ”Pengaturan skor masalah moral. Publik juga sangat sulit membuktikan hasil pertandingan tersebut sudah diatur hanya karena skor pertandingan berakhir 2-1. Berbeda dari kasus suap seperti dalam perkara korupsi di mana penegak hukum bisa membuktikan kejahatan pelaku suap dengan data-data,” tegas Mudzakir.

Dia menilai agar Satuan Tugas Antimafia Sepak Bola melakukan pendekatan persuasif mulai dari pemain, manajer tim sampai perangkat pertandingan bila terbukti memanipulasi hasil pertandingan. Hukuman bersifat personal untuk para pelaku lebih efektif. Seperti memberikan sanksi dua tahun kepada pemain jika terbukti terlibat berbuat curang untuk menentukan hasil akhir pertandingan. Selain melarang pemain turun ke medan pertandingan, hukuman berupa denda dan organisasi sangat efektif untuk mengurangi risiko pengaturan skor.

”Kalau dua tahun pemain dilarang bermain sepak bola, mau makan apa? Saya kira hukuman-hukuman seperti itu sangat efektif,” jelas pakar hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini. Dia menambahkan, hukuman pidana untuk pelaku bukan solusi untuk mengatasi kecurangan di atas lapangan. Induk organisasi seperti PSSI di mata Mudzakir memiliki peranan penting dalam memberikan edukasi sekaligus sanksi bagi para pelaku match fixing. (rr)