blank
Sekretaris MUI Jateng Drs KH Multazam Achmad (kanan) saat menjelaskan konsep Islam Wasathiyah.

SEMARANG– Implementasi Islam wasathiyah (moderat) di era kekinian, semakin dibutuhkan untuk menumbuhkan kehidupan yang harmoni di tengah masyarakat. Misinya, menerapkan dakwah dengan menjauhi sikap radikal dan sekuler. Dalam bermuamalah  memosisikan di tengah dan mengembangkan semangat toleransi agar dapat merangkul semua elemen.

“Prinsip mengembangan toleransi inilah yang terus dikembangkan MUI Jateng, dalam membina, melindungi sekaligus merawat kebhinekaan di tengah masyarakat, agar terpelihara dengan baik,” tegas Sekretaris MUI Jawa Tengah Drs KH Multazam Achmad MA pada dialog interaktif program ‘Ulama Menyapa’ live di Studio TVKU, Senin (24/12/2018).

Dialog yang dipandu presenter Myra Azzahra, juga menampilkan narasumber sesepuh Masjid Agung Kauman Semarang (MAS), KH Azim Wasi’. Kiai Multazam mengajak agar semangat wasathiyah digelorakan dalam kehidupan bermasyarakat.  Sebab, nilai yang diukir bakal menjadi luar biasa dalam membingkai kebersamaan di tengah masyarakat yang plural.

Apalagi di tengah tahun politik 2019, yang ditandai berseliwerannya provokasi, agitasi, fitnah, ujaran kebencian lewat media solsial, yang sengaja digelontorkan pihak-pihak tertentu, bertujuan untuk memecah belah kekuatan umat. Untuk mencegah provokasi tersebut diperlukan kearifan, kebijakan dan kecerdasan masyarakat untuk tidak mudah teradu domba.

Termasuk MUI Jateng terus melindungi generasi muda agar tidak terjebak paham radikalisme-terorisme yang setiap saat berusaha menjemput mereka. Maka wahana pembinaan melalui tempat peribadatan dan lembaga pendidikan harus terus diintensifkan.

“Tirulah strategi dakwah Walisongo yang sukses mengembangkan Islam di Tanah Jawa lewat konsep wasathiyah. Tidak memberangus budaya lokal tetapi sebaliknya menggunakan budaya lokal sebagai sarana dakwah,” jelasnya.

Hal serupa disampaikan KH Azim Wasi’. Menurutnya, semangat toleransi sebagai hal terpenting dalam prinsip kehidupan bermuamalah. Sebagai contoh Nabi Musa As bersama Nabi Harun As, ketika diutus Allah SWT mengemban misi untuk menyadarkan Raja Fir’aun, seorang penguasa yang kafir sewenang-wenang, bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan, menyampaikannya dengan lemah lembut, tidak dengan gaya bahasa yang keras.

“Maka terasa aneh bila di tengah kita masih ada kelompok yang kebiasannya menyalahkan dan mengkafirkan sesama muslim dengan semangat amarah. Hal ini jauh dari sikap toleransi maupun persaudaraan. Ciri seperti ini jauh dari nilai-nilai wasathiyah,” tegasnya.

Menurut Kiai Azim Wasi’, MUI Jateng agar tidak jemu, terus menerus memahamkan masyarakat tentang ajaran Islam secara benar. Islam yang damai, kasih sayang dan rahmatan lil alamin. Tidak boleh diskriminatif, tidak boleh merasa benar sendiri. Beda ukuran celana saja dapat menjadi gesekan.

Melindungi nonmuslim itu, tegasnya, juga menjadi kewajiban seorang muslim. Nabi bersabda, menyakiti kafir dzimmi, nonmuslim yang tidak memusuhi Islam berarti melukai hati saya. “Itu kata Nabi, apalagi hingga menghilangkan nyawa orang  lain. Maka pelaku bom bunuh diri itu sebagai perbutan dosa besar,” tegasnya.(suarabaru.id/sl)