blank
Prof Rofiq mengupas berbagai hal menyangkut produk halal bersama Wakil Direktur Bidang 2 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI Jateng, Drs Ir H Mohammad Iman MBA

SEMARANG – Pasca terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai amanat dari UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) diharapkan tidak meninggalkan peran LPPOM MUI. Meskipun nantinya akan ada badan lain, banyak hal baik yang bisa diambil dan diterapkan dari lembaga yang sudah ada lebih dulu tersebut.

“Karena UU sudah lahir, diharapkan badan yang baru nanti tidak meninggalkan yang sudah ada. Yang lama dan sudah bagus, mulai dari biaya sampai jaminan waktu dalam proses sertifikasi halal seharusnya tetap digunakan. Dan apa-apa yang bagus di badan yang baru nanti, bisa dipadukan dengan yang lama dan sudah berjalan dengan bagus juga,’’ kata Prof Dr KH Ahmad Rofiq MA, direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng dalam dialog interaktif “Ulama Menyapa” yang disiarkan live oleh TVKU, Senin (10/12) pukul 09.00-10.00.

Dalam dialog bertema “Implementasi Jaminan Produk Halal di Jawa Tengah” yang dipandu host Myra Azzahra tersebut, Prof Rofiq mengupas berbagai hal menyangkut produk halal bersama Wakil Direktur Bidang 2 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI Jateng, Drs Ir H Mohammad Iman MBA.

Prof Rofiq berharap, ketika urusan sertifikasi halal ini sudah diambil alih pemerintah, maka menjadi kewajiban pemerintah juga untuk terus melakukan sosialisasi, baik kepada produsen maupun konsumen. Sebaiknya, LPPOM yang sudah ada di setiap provinsi juga terus dilibatkan, agar badan yang baru nanti tidak bekerja dari nol lagi.

Pihaknya juga mengusulkan, tetap ada pencantuman tulisan “Halal” yang selama ini sudah banyak dikenal masyarakat dalam sertifikasi halal, selain gambar Burung Garuda yang direncanakan pemerintah setelah UU JPH efektif berlaku.

Konsumen Peduli

Dalam dialog selama satu jam tersebut, salah satu pemirsa, Indah (warga Semarang), menanyakan melalui telepon terkait banyak produk dari luar negeri, termasuk makanan yang masuk ke Indonesia, dengan mencantumkan label halal dari negara setempat. “Apakah ini memang halal, atau bagaimana?”

Menanggapi pertanyaan tersebut, Wakil Direktur Bidang 2 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI Jateng, Drs Ir H Mohammad Iman MBA meminta konsumen untuk peduli dan aktif dalam menyikapi halal-haram sebuah produk. Dia menyarankan, jika ragu, ada salah satu cara yang bisa dilakukan, yakni konsumen mengecek ke website www.halalmui.org. “Cek ada produknya atau tidak. Kalau ada, yakin saja itu halal,” tandas Iman.

Prof Rofiq menambahkan, produk luar yang masuk ke Indonesia harus ada serfitikat halal dan diaudit LPPOM. “Dalam kaitan ini, LPPOM Jateng juga sering dilibatkan,” kata Wakil Ketua Umum MUI Jateng ini.

Masih terkait konsumen, baik Rofiq maupun Iman menyarankan agar peduli terhadap kehalalan sebuah produk. “Konsumen, khususnya orang Jawa sering pakewuh ketika tanya halal atau haram. Padahal konsumen dilindungi oleh UU. Yang punya warung juga jangan marah kalau ditanya, karena itu hak konsumen,” kata Rofiq.

Iman menambahkan, pihaknya selalu meminta masyarakat untuk lebih hati-hati, terutama pada produk yang mengandung babi. Dia mencontohkan, sebuah alat untuk menjernihkan air bisa berbahan batu bara, batok kelapa, atau tulang hewan. Yang dikhawatikan kalau berasal dari tulang babi, berarti airnya haram.

Meski demikian, kesadaran konsumen masih lebih besar dibandingkan produsen. Sebab produsen sifatnya volunteer (suka rela). Karena itu, cara pandang produsen juga harus diubah. Ketegasan konsumen juga bisa memengaruhi cara pandang produsen akan arti pentingnya sertifikat halal.

Pihaknya intens bekerja sama dengan instansi terkait, seperti Dinas Peternakan, Dinas Koperasi dan UKM, serta Kementerian Agama, baik dalam sosialisasi maupun pelatihan terkait jaminan halal. Misalnya ada fasilitasi dana untuk UKM. Tapi uang tidak diberikan langsung pada UKM, melainkan ke LPPOM untuk memproses sertifikat halal produk pelaku usaha kecil-menengah tersebut.

“Kami terus sosialisasikan pada masyarakat untuk gerakan sadar halal. Ada image, halal itu yang penting bukan babi. Ini yang harus diluruskan. Soal halal-haram itu bukan hanya bahan, tapi produk dan proses produksinya juga,’’ paparnya.

Prof Rofiq mengakui, hingga saat ini sanksi terkait sertifikasi halal masih bersifat administrasi. Namun setelah UU Jaminan Produk Halal efektif berlaku, ada sanksi pidana atas pelanggaran tersebut. Diperkirakan, jika tidak segera dibuat aturan turunan atas UU Jaminan Produk Halal tersebut, maka lima tahun kemudian, yakni Oktober 2019, UU tersebut bisa diberlakukan.(suarabaru.id/sl)