blank
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdikbud Kota Magelang, Sahid, menyampaikan paparan di hadapan peserta kegiatan perumusan kebijakan penanganan anak putus sekolah, (Suarabaru.id/dok)

 

MAGELANG- Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Magelang menemukan  233 anak putus sekolah pada  tahun 2018. Sebagian besar anak yang putus sekolah pada  jenjang sekolah dasar (SD).

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdikbud Kota Magelang, Sahid menerangkan, perincian anak putus sekolah tersebut terdiri atas jenjang SD 130 anak, SMP 86 anak, SMA 9 anak, Taman Kanak-Kanak (TK) 2 anak, kejar paket 2 anak, dan tanpa keterangan 2 anak.

‘’Seluruhnya berjumlah 233 anak yang tercatat putus sekolah. Data ini kami dapat berdasarkan laporan tiap kelurahan di Kota Magelang,’’ ungkap Sahid, usai kegiatan perumusan kebijakan penanganan anak putus sekolah di Ruang Adipura Setda Kota Magelang, kemarin.

Kegiatan ini diikuti para kepala  sekolah SD dan SMP di Kota Magelang.

Sahid mengatakan, terjadinya anak yang putus sekolah  disebabkan karena sejumlah faktor. Antara lain rendahnya motivasi belajar, faktor ekonomi, pengaruh lingkungan dan berbagai faktor lainnya. ‘’Di Kota Magelang faktor yang paling besar karena motivasi belajar yang rendah,’’ terangnya.

Menurutnya, Pemkot Magelang sejauh ini melalui Disdikbud telah berupaya menekan angka anak putus sekolah dengan berbagai program kegiatan.

‘’Kita ada Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA), pemberian seragam gratis dan bantuan lainnya,’’ urainya.

Dengan adanya perumusan kebijakan penanganan anak  putus sekolah, lanjut Sahid, diharapkan dapat menghasilkan solusi terbaik. ‘’Makanya ini kita rumuskan bareng-bareng, dengan instansi terkait. Diharapkan ada solusi terbaik mengatasi angka putus sekolah di Kota Magelang,’’ ungkapnya.

Seksi Statistik Sosial, Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Magelang, Diana Larasati menambahkan,  secara umum, permasalahan anak putus sekolah di Kota Magelang disebabkan karena dua faktor.

‘’Yakni internal dan eksternal. Faktor internal bisa berupa motivasi, kompetensi dan psikologi. Sedangkan faktor eksternal antara lain orangtua (ekonomi dan perhatian) serta lingkungan (budaya, tempat tinggal, pergaulan dan sekolah,’’ tuturnya.

Dia menuturkan, perumusan kebijakan untuk penanganan anak putus sekolah ini sesuai dengan amanat Undang-Undang. Selain itu, dalam  Konvensi Hak Anak (KHA) ayat 28 disebutkan bahwa negara-negara peserta konvensi, termasuk Indonesia, bertanggung jawab membuat pendidikan dasar wajib dan tersedia cuma-cuma untuk semua anak.

‘’Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk memberikan pendidikan pada semua anak dengan  menandatangani Dakar Framework for Action on Education for  All. Dengan menandatangani kerangka tersebut, Indonesia menargetkan bahwa Wajar Pendidikan Dasar (Dikdas) bagi semua anak dapat dicapai pada tahun 2015,’’ ujarnya. (Suarabaru.id/dh)