blank
MENGERING : Sudah sekitar dua bulan berjalan, Waduk Tempuran di Desa Tempuran, Kecamatan Blora, mengering dan mengalami krisis air sangat serius. Foto : Wahono

BLORA – Krisis air melanda Waduk Tempuran, waduk terbesar di Kabupaten Blora itu kondisinya semakin ngenes, dan tidak lagi bisa dimanfaatkan masyarakat secara maksimal untuk pengairan lahan pertanian serta kepentingan lainnya.

Kondisi itu terjadi sejak akhir  Juli 2018, dan pekan kedua September 2018 ini tampak semakin memprihatinkan, setok air baku tersisa kurang  dari 10 persen, dan hanya berfungsi untuk pembasahan dasar waduk.

“Air Waduk Tempuran sudah susut sejak akhir Juli 2018, dasar waduk tampak jelas mengering, ” kata Sutarji (48), warga yang rumahnya tidak jauh dari waduk eks Koloni Belanda itu.

Selain tidak bisa untuk mengairi lahan pertanian, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sudah sekitar dua bulan menghentikan kerja operasionalnya, sehingga fasilitas PDAM di waduk itu menganggur, tambahnya.

Komentar sama keluar dari Parjan (44), warga desa setempat menjelaskan waduk yang berlokasi sekitar 7,5 kilometer utara Kota Blora itu, sudah dua bulan mengalami krisis air.

“Saat ini, air waduk tinggal tersisa sedikit di blok barat, blok timur malah sudah mengering,” beber Parjan.

Pembasahan

Keringnya waduk yang kini jadi obyek wisata kuliner dan arena wisata permainan andalan di Blora, adalah dampak langsung kemarau panjang, dan sedimentasi (pendangkalan) parah di dasar waduk.

Pantauan di lokasi, waduk yang secara maksimal bisa menampung 2,092 juta meter kubik itu, airnya sangat minim, tanah dasar waduk terlihat jelas, mengering dan pecah-pecah.

Waduk seluas 70 hektar lebih, selain kini sisa air untuk fungsi pembasahan waduk, sebagian masih diambil petani dengan cara dipikul untuk mengoncori (menyirami) tanaman pertaniannya.

Giyono, salah satu Operatur Waduk Tempuran, menjelaskan selama ini waduk  itu jadi andalan masyarakat petani, olahraga dayung (PODSI)  serta Pemkab Blora sebagai air baku PDAM, namun kini airnya menipis.

“Saat ini air masih tersisa sedikit sekitar 10 persen, air itu hanya untuk fungsi pembasahan dasar waduk,” kata Giyono.

Menurutnya, jika setok air normal bisa mengairi lahan pertanian 249 liter perdetik dengan lahan irigasi sekitar 200 sampai 250 hektar, dan operasional PDAM Blora 30 liter perdetik.

Diberitakan sebelumnya, sudah sekitar dua bulan ini PDAM Blora hanya bisa melayani 1.000 sambungan dalam kota, dari total 3.812 pelanggan.

Sebagai konsekuensi tidak terlayani suplai air untuk 2.812 pelanggan, manajemen mulai September 2018 akan menyetop iuran rekening bulanan para pelanggan,  dan PDAM merugi sekitar Rp 200 juta perbulannya.(suarabaru.id/wahono)